Neonatal Cholestasis
Bayi
kuning merupakan hal yang umum pada minggu 1 atau 2 setelah kelahiran dan
biasanya akan berkurang dengan sendirinya. Bayi yang kuning hingga 2-3 minggu
setelah kelahiran memerlukan evaluasi lebih jauh. Neonatal Cholestasis
didefinisikan sebagai gangguan aliran empedu yang mengakibatkan akumulasi
substansi empedu (bilirubin, asam empedu, dan kolesterol) pada darah dan
jaringan ekstra hepatik. Manifestasi klinisnya diakibatkan oleh
hiperbilirubinemia yang terkonjugasi dan sebaiknya dibedakan dari
hiperbilirubinemia tak terkonjugasi yang biasanya ringan. Insiden neonatal
cholestasis diperkirakan 1 : 2.500. Penyebab paling umum neonatal cholestasis
adalah atresia bilier dan hepatitis neonatal idiopatik (Venigalla and Gourley,
2004)
Proses
normal produksi empedu melibatkan 2
proses utama, uptake asam empedu oleh sel hati dari darah dan
ekskresi asam empedu ke kanalikuli bilier. Pengambilan asam empedu dari darah
merupakan proses aktif di membran sinusoid sel hati. Na taurocholate cotransporting polypeptide (NTCP) dan organic anion transporting proteins (OATP)
merupakan 2 reseptor utama yang terlibat dalam pengambilan asam empedu
terkonjugasi oleh sel hati. Reseptor-reseptor ini juga bertanggungjawab
terhadap transport anion lain seperti obat dan toksin melalui membran sel-sel
hati.
Pada
bayi yang baru lahir sistem empedu baik secara struktural maupun fungsional
masih belum matang sehingga lebih rentan untuk terjadinya kolestasis. Pada
hepatitis dan sepsis, terdapat down
regulation NTCP dan OATP yang menyebabkan penurunan produksi empedu dan
kolestasis (Venigalla and Gourley, 2004).
Etiologi
kolestasis bermacam-macam, dan secara garis besar dapat dirangkum sebagaimana
dalam tabel berikut (Moyer, et. al.,2004):
Neonatal
Cholestasis dapat diklasifikasikan menjadi intrahepatik dan ekstrahepatik.
Hepatitis neonatal idiopatik merupakan contoh penyebab intrahepatik dan atresia
bilier dan choledochal cyst merupakan contoh penyebab ekstrahepatik (Venigalla
and Gourley, 2004)
Konsekuensi
kolestasis adalah retensi komponen empedu. Bilirubin menyebabkan jaundice,
kolesterol terdeposit di lipatan kulit dan tendon dan juga di membran sel hati,
ginjal, dan eritrosit. Pruritus diperkirakan diakibatkan oleh endorfin yang
tertinggal dan garam empedu. Ketiadaan empedu di saluran pencernaan menyebabkan
tinja yang berlemak dan malabsorpsi (Silbernagl, 2000).
Selain
itu biasanya terdapat gejala koagulopati sebagai akibat dari defisiensi faktor
penjendalan darah atau vitamin K.
Pemeriksaan fisik, selain jaundice, biasanya juga terdapat
hepatosplenomegali. Pemeriksaan fisik lain dapat menunjukkan adanya gangguan
pertumbuhan.
Pemeriksaan
yang dibutuhkan untuk kolestasis adalah:
1.
Pemeriksaan awal: Riwayat,
pemeriksaan fisik, warna tinja, serum bilirubin, AST, ALT, Alkaline
Phosphatase, GGT, albumin, prothtrombin time, glukosa darah
2.
Deteksi kondisi untuk perawatan
segera: CBC, kultur bakteri, T4 TSH, urinalisis
3.
Pemeriksaan pembeda intra-ekstra
hepatik: USG, heptobiliary scintigraphy,
liver biopsy, Duodenal Aspirate Analysis.
Manajemen
kolestasis biasanya suportif dan tidak menghilangkan penyebab utama penyakit.
Tujuan utamanya adalah untuk mencegah komplikasi dari kolestasis kronik.
Manajemen kolestasis dapat dilihat pada tabel berikut (Venigalla and Gourley,
2004).
No comments:
Post a Comment