I. PENDAHULUAN
Alam
merupakan sumber utama penemuan obat-obat baru. Melalui bahan alam yang secara
tradisional digunakan oleh masyarakat awam sebagai bahan obat, para peneliti
melakukan penyempurnaan bahan tersebut hingga menjadi obat. Sebagai contoh
bahan alam tersebut adalah buah manggis yang selama ini digunakan untuk
mengobati berbagai macam penyakit seperti diare, radang amandel, disentri,
wasir dan keputihan (Rukmana, 2008).
Manggis
merupakan buah tropis basah yang banyak terdapat di hutan belantara Indonesia.
Manggis telah dikembangkan dengan baik di Indonesia, tepatnya di Kabupaten
Tasikmalaya (Kastaman, 2006). Selain Tasikmalaya, manggis juga berkembang dengan baik di
wilayah Sumatra Barat seperti di kabupaten Padang Panjang, Lima Puluh Kota, Agam dan Sijunjung.
Kandungan kimia kulit buah
manggis adalah xanthon, mangostin, garsinon, flavonoid dan tannin (Soedibyo,
1998). Menurut hasil penelitian kulit buah manggis memiliki aktivitas
antitumor, anti-inflamasi, antialergi, antibakteri, antifungi, antiviral,
antimalaria, dan antioksidan (Chaverri, Rodriguez, Ibarra, & Rojas., 2008; Bumrungpert, et al., 2010).
Salah satu kandungan kimia kulit buah manggis yang
juga merupakan senyawa kimia yang mendominasi kulit buah manggis adalah xanthon.
Xanthon merupakan
golongan senyawa yang memiliki kaitan biogenesis yang erat dengan flavonoid.
Dari kaitannya dengan
flavonoid ini, dapat
diperkirakan bahwa distribusi xanthon pada tumbuhan juga dalam bentuk
glikosida, yaitu senyawa yang berikatan dengan suatu gula.
Karena itu, biasanya xanthon dalam tumbuhan bersifat polar (Pradipta, Nikodemus
& Susilawati., 2007). Tetapi jika dilihat dari
struktur kimianya, inti xanthon lebih menunjukkan sifat yang semipolar (Chaverri, et al., 2008) karena cincin aromatik trisiklik yang
disubstitusi dengan bermacam-macam gugus fenolik, metoksi, dan isopren (Walker,
2007).
Senyawa golongan xanthon yang paling banyak terdapat dalam kulit manggis
adalah α-mangostin (Wahyuono, Astuti, & Artama., 1999; Pothitirat & Gritsanapan,
2009). Senyawa
α-mangostin sendiri memiliki berbagai macam aktivitas seperti sebagai antioksidan, antibakteri,
antiinflamasi, dan antikanker (Jung, Su, Keller, Mehta, & Kinghorn., 2006; Palakawong, Sophanodora,
Pisuchpen, & Phongpaichit., 2010). Secara fitokimia,
mangostin merupakan senyawa terbanyak yang dikandung kulit buah manggis.
Sampai
saat ini, manggis telah banyak menarik perhatian para peneliti. Namun
kebanyakan diantara
penelitian ini
terkendala pada upaya mendapatkan bahan aktif dari kulit buah manggis itu
sendiri. Bahan aktif yang terdapat dalam kulit buah manggis sangatlah sedikit.
Hal ini terbukti dari penelitian yang sudah pernah dilakukan, nilai rendemen
dari fraksi kental kulit buah
manggis menggunakan pelarut n- heksana hanya sebesar 1,2%, nilai rendemen dari fraksi kental kulit buah manggis
menggunakan pelarut diklorometan hanya sebesar 0,4%, nilai rendemen dari fraksi kental kulit buah manggis menggunakan
pelarut butanol hanya sebesar 0,5% ( Putra, 2011). Belajar dari penelitian sebelumnya, peneliti
terus berusaha mencari metoda ekstraksi terbaik dari kulit buah manggis.
Sehingga dari sejumlah kulit buah, dapat diperoleh bahan aktif yang optimal.
Penelitian
ini menggunakan 3 macam metoda ekstraksi yaitu maserasi, perkolasi dan
sokletasi. Ketiga metoda ini dipilih karena dapat mengekstraksi senyawa-senyawa
menggunakan pelarut anorganik seperti dkloro metana dan n-heksana. Masing-masing
metoda memiliki kelebihan dan kekurangan. Jika dibandingkan antara ketiganya,
maka maserasi merupakan metoda yang paling sederhana dan murah. Namun, pada
metoda maserasi ini sangat rentan terjadi penyarian yang
tidak sempurna. Sementara
perkolasi merupakan metoda yang sudah cukup baik dalam mengatasi masalah penyarian
yang tidak sempurna. Tetapi,
metoda perkolasi membutuhkan pelarut dalam jumlah banyak. Yang terakhir adalah
sokletasi. Sokletasi merupakan metoda yang dinilai paling sempurna dari ketiga
metoda tersebut. Karena sokletasi hanya memerlukan pelarut dalam jumlah yang
lebih kecil dan terhindar dari proses penyarian yang tidak sempurna karena penyarian dilakukan berulang-ulang
dengan cara pemanasan (Departemen Kesehatan RI, 1995).
No comments:
Post a Comment