PENGARUH METABOLIT OBAT TERHADAP
FARMAKOKINETIK DAN FARMAKODINAMIK
Banyak contoh obat yang setelah mengalami proses metabolisme
di tubuh menghasilkan metabolit aktif. Senyawa induk obat tersebut disebut
pro-drug, yang pada in vitro tidak menimbulkan aktivitas biologis. Pro-drug
bersifat labil, di dalam tubuh (in vivo) mengalami perubahan, melalui
proses kimia atau enzimatik, menjadi senyawa aktif, kemudian berinteraksi
dengan reseptor menghasilkan respon farmakologis.
Adapun factor-farmakodinamik yang mempengaruhi aktifitas
metabolisme obat, yaitu :
1 Sitokrom
P450 yang merupakan enzim pereduksi
2
Pembentukan metabolit yang dapat memberikan efek farmakologi yang lebih
kompleks dibanding obat awalnya.
3 Lokasi
atau tempat kerja dari metabolit yang dihasilkan.
4 Perbedaan
antara profil farmakokinetik dan farmakodinamik dari metabolit aktif dan obat
awal. Perbedaan ini menyebabkan konsentrasi dan intensitas efek
farmakologik metabolit dan obat awal sulit dibedakan.
Efek obat kadang-kadang ditimbulkan oleh metabolitnya.
Metabolit itu mempunyai peran penting sebagai obat oleh karena :
a. Metabolit kemungkinan menimbulkan
toksisitas atau efek samping lebih rendah dibanding pro-drugnya.
b. Secara umum metabolit mengurangi variasi
respon klinik dalam populasi yang disebabkan perbedaan kemampuan metabolisme
oleh individu-individu atau oleh adanya penyakit tertentu.
Metabolisme obat
Organ utama yang bertanggung jawab untuk biotransformasi obat
adalah hati. Akan tetapi jaringan intestine, paru dan ginjal juga mengandung
sejumlah enzim biotransformasi. Jaringan lain dan mikroflora intestine dapat
pula berperan dalam biotransformasi obat.
Proses biotransformasi difasilitasi oleh enzim yang akan
mengubah obat yang bersifat lipofilik menjadi yang larut air. Metabolit yang
larut air, cenderung membentuk ion pada pH fisiologik manusia dan lebih siap
untuk diekresikan oleh ginjal. Reaksi biotranformasi dikelompokkan jadi dua,
yaitu reaksi kimia fase I dan fase II. Reaksi fase I menghasilkan metabolit
yang lebih polar dari pada metabolit awalnya. Reaksi fase I terdiri dari
reaksi oksidasi, reduksi dan hidrolisis. Sedangkan reaksi fase II merupakan
reaksi konjugasi antara obat awal atau metabolit yang dihasilkan dengan
substrat endogen seperti asam glukoronat, sulfat dan glisin. Metilasi dan
asetilasi juga termasuk dalam reaksi konjugasi fase II.
System enzim mikrosomal hati yang berperan dalam
biotransformasi obat terletak di dalam Retikulum Endoplasma halus di sel
hepatosit. Konjugasi glukoronidase dan reaksi oksidase lainnya dikatalisis oleh
enzim-enzim mikrosomial tersebut. Meskipun tidak terlalu dibutuhkan, pengaruh
solubilitas suatu obat dalam lemak merupakan factor penting dari obat-obat yang
dimetabolisme oleh sistem mikrosomal.
Enzim non mikrosomal seperti halnya enzim
mikrosomal,mempunyai kemampuan untuk mengkatalisis hidrolisis dari suatu obat.
Pengaruh patologi seperti halnya penyakit hati dapat mempengaruhi
biotransformasi obat secara signifikan. Sebagai contoh sirosis.
Biotransformasi obat-obat dapat digolongkan menurut aktivitas
farmakologik dari metabolit atau menurut mekanisme biokimia untuk setiap reaksi
biotransformasi. Untuk sebagian besar biotransformasi obat-obat dihasilkan
bentuk metabolit yang lebih polar yang tidak aktif secara farmakologik dan
dieliminasi lebih cepat daripada obat induknya. Untuk beberapa obat, metabolit
dapat aktif secara farmakologik atau menghasilkan efek toksik.
Untuk sebagian besar reaksi biotransformasi,metabolit obat
adalah lebih polar daripada senyawa induk. Pengubahan obat menjadi metabolit
yang lebih polar memungkinkan obat tereliminasi lebih cepat dibandingkan bila
obat larut dalam lemak.
Aliran darah ke hati memegang peranan penting dalam jumlah
obat termetabolisme sesudah pemberian oral. Perubahan aliran darah ke hati
secara substansial mengubah prosen obat termetabolisme dan dengan demikian
mengubah prosen obat yang terdapat dalam sistemik.
Sistem P-450 adalah sebuah keluarga enzim (isozim) yang
terjadi dalam kebanyakan sel, tetapi terutama sangat banyak dalam hati. Banyak
obat dapat menginduksi peningkatan kadar sitokrom P-450, yang menyebabkan suatu
peningkatan kecepatan metabolisme obat penginduksi tersebut atau obat-obat lain
yang dibiotransformasi oleh system P-450. Banyak obat menghambat
system P-450 dan bisa memperkuat kerja obat lain yang dimetabolisme oleh
enzim sitokrom.
Signifikan klinik dari polimorfi genetic, yang terkait dengan
debrisoquin hidroksilase atau secara genetic diregulasi oleh system metabolisme
obat, adalah beberapa konsekuansi metabolit yang biasa terjadi. Enzim mungkin
meng-inaktifkan obat aktif, produk metabolit aktif dari suatu prekursor inaktif
( pro-drug ), atau mungkin akan membentuk metabolit aktif dari metabolit aktif
yang lainnya. Sebagian dari akumulasi obat induk dan metabolit aktif,
metabolizers yang lambat akan mendemonstrasikan kecenderungan untuk mengurangi
pembentukan metabolit aktif. Hasil farmakokinetik dari proses ini adalah untuk
menaikkan variasi dalam Clearance obat. Peningkatan dalam variasi ini akan
diekspresikan sebagai variasi farmakodinamik, dan ini akan ditingkatkan jika
jalur yang digunakan adalah jalur metabolit utama. Beberapa karakteristik dari
sitokrom P-450 merupakan isoenzim yang bertanggung jawab terhadap debrisoquin
hidroksilasi
Polimorfi pembentukan N-asetilasi dikenal pertama kali tahun
1950 dengan isoniazid untuk tuberculosis paru pada pasien. Dari beberapa
karakteristik yang dikenal mencakup autosomal resesif tidak diwariskan, dimana
tidak ada perbedaan gender dan tidak ada perbedaan warna kulit Amerika putih
dan hitam. Polimorfi ini terkait dengan perbedaan aktivitas
N-asetiltransferase. Beberapa terapeutik sebagaimana campuran
senyawa-senyawa di lingkungan adalah substrat untuk N-asetiltransferase.
Karakteristik individual sebagai asetilator cepat atau
asetilator lambat dan mungkin akan lebih didefinisikan secara etis daripada
debrisoquin hidroksilase. Bagaimanapun, ketika ke metabolisme obat, polimorfi
terjadi dalam hubungan antara sistem sitokrom P-450
dengan konsekuensi farmakodinamik.
Apakah seorang individu itu adalah asetilator cepat/lambat
akan mengalami beberapa keterlibatan ketika mengambil obat yang akan
dimetabolisme oleh N-asetiltransferase. Dalam beberapa kasus yang jadi point
adalah Isoniazid, yang mana asetilator lambat akan lebih dicondongkan untuk
membentuk neurotoksik dan hepatotoksik. Sebaliknya asetilator cepat tidak akan
berespon dengan baik untuk diterima treatment regimen.
Adanya genetik polimorfi dalam metabolisme obat, akan
mengarah pada farmakokinetik signifikan dan variasi farmakodinamik. Pada
genetik polimorfi penting dalam mendesain therapeutik regimen yang optimal,
yang juga mempengaruhi desain dari fase klinik 1.
Reaksi metabolt fase 2, prevalensi yang paling banyak yaitu
asam konjugasi glucoronik. D- asam glucoronic diaktivasi oleh reaksi dengan
uridine diphosphat (UDP) dan glukosa, yang mana berasal dari UDPGA. Pembentukan
ini dikatalisasi oleh dehidrogenase dalam liver. Enzim mikrosomal, secara
jelasnya glukoronil transferase, yang juga ditemukan dihati menyebabkan
terjadinya interaksi antara UDPGA dan obat atau metabolit. Bagaimanapun,
transferase seperti itu adalah numerus, dan bisa ditemukan dalam jaringan yang
bervariasi dan organ lain, seperti saluran gastrointestinal, ginjal, dan kulit,
dan spesifitas dari transferase ke substrat yang sukar dimengerti.
Konjugasi dengan asam ini mengembangkan atau meningkatkan
tujuan utama dari metabolisme, yaitu membuat obat dan produk metabolisme fase I
lebih larut air dengan hidrofilik separuh karbohidrat. Produk dari konjugasi
glukoronic cenderung menjadi asam daripada obat induk, yang memberikan
kemampuan untuk mempenetrasi membran dan lebih mudah di eliminasi dari tubuh.
Secara umum, property yang mendeaktivasiakan senyawa yang seperti ini dengan
penerimaan dari rekonversi dengan b-glukoronidase. Perbaikan seperti ini bisa
jadi toksik. Glucoronic adalah eliminasi umum lewat ekskresi renal.
Alkohol dan fenol cenderung membentuk eter glucoronoic, asam karboksilat dan
alifatik membentuk ester.
Farmakokinetika dari metabolit
Metabolit obat tertentu mempunyai kekuatan sangat tinggi
dalam karakteristik disposisi, farmakokinetik, toksikologi dan farmakodinamik
daripada obat induknya. Informasi farmakokinetika dari obat induk dan metabolit
aktif merupakan hal yang penting sebelum dilakukan uji praklinik dan uji klinik
yang dicobakan ke manusia, dan merupakan factor kritis dalam suatu rancangan
obat pada fase 1 sebelum memasuki fase 2.
Beberapa metabolit mempunyai potensi menarik dan khusus.
Dalam suatu contoh kita melihat beberapa dari angiotensin mengubah enzim
inhibitor dari obat induk yang tidak aktiv (pro-drug) menjadi metabolit aktiv.
Beberapa metabolit mempunyai cara yang sulit dimengerti dalam aksi mekanisme
farmakologi yang berbeda-beda. Jika eliminasi metabolit adalah tahapan batasan
kecepatan laju (waktu paroh dari metabolit adalah panjang daripada obat
induknya), metabolit akan terakumulasi dalam tubuh. Beberapa contoh dari
fenomena obat-obatan dan metabolitnya, seperti diazepam dan
desmethyldiazepam, procainamide dan N-acethylprocainamide.
First-pass hepatic metabolism mempunyai pengaruh yang
signifikan/penting difarmakokinetika dan farmakodinamika dari obat induk dan
metabolit aktif. Obat-obat dengan clearen hati yang tinggi akan menjaga
sehingga konsentrasi plasma dari metabolit itu yang lebih tinggi dan lebih
cepat daripada obat induk. Farmakodinamik berakhir tergantung dari aktivitas
obat induk dan metabolit setiap ikatan protein dan aliran darah kehati.
Interaksi Farmakokinetik dan Farmakodinamik dari Metabolit
Aktif
Informasi yang berharga mengenai
efek dari metabolit aktif obat pada data farmakodinamik bisa didapatkan dari
penggunaan link model dari farmakodinamik dan farmakokinetik. Hasil studi model
farmakodinamik dari metabolit aktif yang dipublikasikan oleh Meredith et al,
yaitu trimazosin. Trimazosin dimetabolisme di hati (liver) melalui hidroksilasi
menjadi metabolit aktif utama. Pada trimazosin, efek farmakodinamik dari
metabolit aktif dideterminasikan dengan kecepatan pembentukan dan bukan
eliminasi.
Ada banyak asumsi yang
dibuat ketika pengujian pada metabolit aktif memproduksi anticlockwise
hysteresis. Salah satu dari asumsi tersebut merupakan efek yang diatur dari
efek tambahan obat induk dan metabolit aktif. Kekuatan dari efek sinergik tidak
dapat terlihat jelas. Selalu terdapat kemungkinan bahwa metabolit tidak
mempunyai aksi pada tempat reseptor yang sama dengan obat induk.
Pada hasil studi yang
dilakukan oleh Valeriola et al., aktivitas sitotoksik plasma untuk
daunorubicin dan metabolit aktifnya daunorubicinol, lebih tinggi daripada efek
tambahan yang diharapkan dapat diprediksi pada beberapa pasien yang menjalani
treatmen myeloblastic leukemia akut.
No comments:
Post a Comment