Friday, August 21, 2015

AFLATOKSIN


AFLATOKSIN

Kejadian pada tahun 1960 di Inggris dengan adanya epidemi besar-besaran pada ternak unggas, khususnya ternak kalkun yang lebih dari 100.000 ekor dalam jangka lama tiga bulan merpakan awal ditemukannya aflatoksin. Penyebagian penyakit pada waktu itu belum dikethui, maka penyakit tersebut disebut sebagai “Turkeys-X Diseases”. Ternyata penyakit tidaka hanya menyerang ternak unggas seprtik itik, burung dan lainnya tetapi juga pada bagiani dan sapi yang mempunyai gejala yang sama. Penelitian kemudian menunjukkan bahwa penyebagian adalah tepung kacang tanah asal Brasilia sebagai campuran pakan ternak tersebut yang telah ditumbuhi fungi merupakan penyebagian malapetakanya. Fungi diidentifikasi sebagai Aspergillus flavus dan zat toksik sebagai mikotoksin, disebut Aspergillus flavus toksin. Pada Kongres Internasional yang diadakan diadakan di Inggris, yaitu International Working Party on Groundnut Toxicity Research, zat toksik yang dihasilkan fungi A. flavus tersebut dinamakan aflatoksin (Wilson & Hayes, 1973). Nama aflatoksin diambil dari singkatan atas penggal kata Aspergillus flavus toksin (Kobayashi, 1980).
Penelitian kemudian menunjukkan bahwa aflatoksin tidak hanya dapat dihasilkan dari A. flavus saja, tetapi Aspergillus sp., terutama A., parasiticus dapat pula menghasilakn mikotoksin ini. Aflatoksin diketahui merupakan metabolit yang bersifat hepatotoksik maupun karsinogenik (Wilson & Hayes, 1973).

a.      Terdapatnya

Setelah kejadian insiden besar-besaran dengan kematian ribuan kalkun, itik dan burung di Inggris tahun 1960, aflatoksin mulai menjadi menarik perhatian dunia. Penelitian secara intensif kemudian menunjukkan bahwa penyakit bukan karena pestisida atau lainnya yang diduga sebelumnya, akan tetapi adanya kontaminasi fungi Aspergillus flavus pada tepung kacang tanah asal Brasilia yang digunakan sebagai campuran pakan ternak bersangkutan (Heathcote dan Hibbert, 1978).
Selain dari kedua jenis jamur diatas, aflatoksin juga dihasilkan oleh jamur A. niger, A. oryzae, A. ruber, a. wentii, A. ostianus, Penicillium citrinum, P. frequentans, P. expansum, P. variabile, P. puberulum, Rhizopus sp., dan Mucor Mucedo (Uraguchi dan Yamazaki, 1978).
Secara alami, aflatoksin terdapat pada jagung, barley, tepung biji kapas, kacang, tepung kacang, beras, kedelai, gamdum dan biji sorgum (Wilson dan Hayes, 1978). Bahan-bahan ini ditumbuhi  jamur selama pemanenan dan penyimpanan pada kondisi lembagian (Miller, 1973). Selain itu, aflatoksin  dapat diproduksi oleh A. flavus pada bijian, buah, daging, keju, produk olahan dan rempah-rempah (Golumbik and Kulik, 1969 dalam Wilson and Hayes, 1973).
Bermacam-macam komoditi yang dapat mendukung pertumbuhan dan pembentukan aflatoksinnya adalah hasil-hasil susu, hasil-hasil yang dipanggang (bakery), sari buah, biji-bijian, tanaman pakan ternak (Frazeir and Westhoff, 1978; Winarno and Jeni, 1982). Selain itu makanan hasil fermentasi dapat juga terkontaminasi. Misalnya, kecap yang berbahan baku kedelai, dan oncom yang berbahan baku bungkil kacang tanah (Winarno and Jeni, 1982;, Winarno, Fardiaz and Fardiaz, 1980). Fungi dapat tumbuh pada kopra, termasuk  A. flavus. Hal ini terutama bila kelembagianan kopra antara 8 –12 % dan bagian minyak telah dihilangkan sebanyak 40 % daripada semula (Thampan, 1981). Shotwell, et.al., (1969) dalam Gupta and Venkitasubranian (1975) melaporkan bahwa 50 % sampel kedele yang diamati terkontaminasi oleh A. flavus dan hanya 0,8 % yang mengandung aflatoksin.
Jagung yang terkontaminasi oleh aflatoksin apabila termakan oleh hewan akan beakibat bagian daging, telur atau susu hewan ini mengandung aflatoksin. Dalam tubuh sapi, aflatoksin B1 akan dibuah menjadi M1. Aflatoksin ini lebih kurang sama potensinya dengan B1 dan kadar M1 ini akan sebanding dengan kadar B1 yang masuk kedalam tubuh (Banwart, 1979). Hanya 1 % dari aflatoksin B1 yang masuk kedalam tubuh sapi yang berubah menjadi M1 (Frazier and Wethoff, 1978).
Aflatoksin dapat diproduksi oleh A. flavus pada suhu antara 7,5 – 40° C, dengan suhu optimum 24 – 28° C. Menurut  Jay (1978) pembentukan aflatoksin  pada kacang tanah terjadi  pada aw optimum 0,93 – 0,98 dengan r.h. 83 % atau lebih tinggi pada suho 30° C. Untuk biji-bijian  berpati seperti jagung dan gandum, kadar air batas untuk pertumbuhan A. flavus adalah 18,5 % sedang biji berminyak seperti kacang-kacangan adalah 8 – 9 % (Christensen and Kaufmann).
Kemampuan fungi untuk membentuk dan menimbun aflatoksin tergantung pada beberapa faktor ialah potensial genetik fungi, persyaratan-persyaratan lingkungan (substrat, kelembagianan, suhu, pH)  dan lamanya kontak antara fungi dengan substrat. Adapun komposisi dari kompleks aflatoksin bervariasi tergantung strain fungi, substrat dan persyaratan-persayaratan lingkungan. Secara potensial genmetik ada terdapat strain-strain  yang hanya membentuk aflatoksin B1 saja (Banwart, 1979).
RH minimum untuk pertumbuhan A. flavus adalah 80 % (aw = 0,80). Kenaikan suhu, pH dan persyaratan-persyaratan lingkungan lainnya akan menyebagiankan aw minimum bertambah tinggi. Pada 30° C, RH minimum untuk pembentukan aflatoksin adalah 83 %. RH pembatas-pembatas untuk bermacam-macam bentuk biji kacang tanah adalah berbeda-beda, RH  pembatas untuk biji mentah yang sudah pecah adalah 83 %; biji masak yang masih segar 84 % dan biji yang sudah tidak berkulit 86 %. Untuk A. parasiticus,RH minimum untuk pembentukan  aflatoksin paling rendah adalah 87 % dan RH optimumnya adalah 99 % (Banwart, 1979). Penyimpanan kacang tanah dan beras yang paling aman adalah apabila RH kurang dari 70 % (Wilson and Hayes, 1973). Secara umum, RH optimum untuk pertumbuhan A. flavus dan A. parasiticus adalah 85 % (Frazier and Westhoff, 1978; Winarno and Jeni, 1982).
Aspergillus adalah jasad mesofil. Jangkauan suhu untuk pertumbuhan adalah 6 - 8° C sampai 44 - 60° C, serta suhu optimumnya pada 35 - 38° C. Sedangkan jangkauan suhu untuk pembentukannya aflatoksin adalah 11 - 41° C, dengan suhu untuk pembentukan aflatoksin maksimum sedikit dibawah suhu optimum intuk pertumbuhan kapangnya yaitu 24 - 30° C. Inkubasi pada 15° C selama 24 jam dan kemudian 21° C selama 24 jam dan akhirnya pada 28° C selama 4 hari akan berakibat terbentuk aflatoksin 4 kali lebih tinggi  daripada inkubasi pada suhu konstan 28° C selama 6 hari (Banwart, 1979). Suhu dan waktu optimum untuk pembentukan aflatoksin oleh A. flavus pada kacang tanah steril adalah 25° C selama 7 – 9 hari. Suhu optimum untuk pembentukan aaflatoksin bagi A. flavus dan A. parasiticus adalah 25 – 40° C (Frazier and Westhoff, 1978; Winarno and Jeni, 1982).
Pengaruh pH medium dalam pembentukan aflatoksin oleh fungi afltoksigenik berkaitan dengan: tipe substrat, asam atau basa yang digunakan untuk mengubah pH dan faktor-faktor lingkungan lainnya. Fungi jenis ini tidak akan tumbuh baik apabila pH kurang daripada 4,0. Pembentukan aflatoksin maksimum pada pH 5,5 – 7,0 (Banwart, 1979). Substrat dengan kadar karbohidrat yang tinggi akan menguntukan pembentukan aflatoksin. Pertumbuhan maksimum  A. parasiticus terjadi apabila medium mengandung 10 % glukosa, tetapi pembentukanaflatoksin maksimum pada 30 % glukosa. Glukosa , galaktosa dan sukrosa merupakan karbohidrat yang dapat diterima, maltosa dan laktosa lebih rendah penerimaannya daripada sukrosa dan sarbitol serta manittol akan mendorong pembentukan aflatoksin yang lebih rendah (Banwart, 1979).
Adanya garam NaCl antara 1 – 3 % akan memperbesar pembentukan aflatoksin, sedangkan pada 8 % NaCl pertumbuhan dan pembentukan aflatoksin akan dihambat pada suhu 24° C, tetapi tidak apabila suhu 28° C dan 35° C. Tidak ada pertumbuhan apabila kadar NaCl 14 % (Banwart, 1979). Logam-logam jarang (trace metal) mempengaruhi pembentukan aflatoksin. Zn 0 – 10 ug/ml akan memperbesar  jumlah aflatoksin menjadi lebih dari 1.000 kali lipat. Sedangkan  kadar Zn yang lebih tinggi lagi akan mulai menghambat. Mn dalam kadar yang rendah akan mendorong pembentukan aflatoksin yang lebih banyak. Sebaliknya, Cu akan cenderung menurunkan. Adanya Ba pada medium dapat berakibat terbentuknya mutan yang atoksigenik (Banwart, 1979).
Secara umum, fungi adalah jasad yang aerobik, O2 dan N2 akan menurunkan kemampuan fungi untuk membentuk aflatoksin. Efek penghambatan oleh CO2 dipertinggi dengan menaikkan suhu atau menurunkan RH (Banwart, 1979). Untuk pertumbuhan paling tidak kadar O2 adalah 1 % (Wilson and Hayes, 1973).

No comments:

Post a Comment