AFLATOKSIN
Kejadian pada tahun 1960 di Inggris
dengan adanya epidemi besar-besaran pada ternak unggas, khususnya ternak kalkun
yang lebih dari 100.000 ekor dalam jangka lama tiga bulan merpakan awal
ditemukannya aflatoksin. Penyebagian penyakit pada waktu itu belum dikethui,
maka penyakit tersebut disebut sebagai “Turkeys-X Diseases”. Ternyata
penyakit tidaka hanya menyerang ternak unggas seprtik itik, burung dan lainnya tetapi
juga pada bagiani dan sapi yang mempunyai gejala yang sama. Penelitian kemudian
menunjukkan bahwa penyebagian adalah tepung kacang tanah asal Brasilia sebagai
campuran pakan ternak tersebut yang telah ditumbuhi fungi merupakan penyebagian
malapetakanya. Fungi diidentifikasi sebagai Aspergillus flavus dan zat
toksik sebagai mikotoksin, disebut Aspergillus flavus toksin. Pada
Kongres Internasional yang diadakan diadakan di Inggris, yaitu International
Working Party on Groundnut Toxicity Research, zat toksik yang dihasilkan fungi
A. flavus tersebut dinamakan aflatoksin (Wilson & Hayes, 1973). Nama
aflatoksin diambil dari singkatan atas penggal kata Aspergillus flavus toksin
(Kobayashi, 1980).
Penelitian kemudian menunjukkan
bahwa aflatoksin tidak hanya dapat dihasilkan dari A. flavus saja,
tetapi Aspergillus sp., terutama A., parasiticus dapat pula
menghasilakn mikotoksin ini. Aflatoksin diketahui merupakan metabolit yang
bersifat hepatotoksik maupun karsinogenik (Wilson & Hayes, 1973).
a.
Terdapatnya
Setelah kejadian insiden
besar-besaran dengan kematian ribuan kalkun, itik dan burung di Inggris tahun
1960, aflatoksin mulai menjadi menarik perhatian dunia. Penelitian secara
intensif kemudian menunjukkan bahwa penyakit bukan karena pestisida atau
lainnya yang diduga sebelumnya, akan tetapi adanya kontaminasi fungi Aspergillus
flavus pada tepung kacang tanah asal Brasilia yang digunakan sebagai
campuran pakan ternak bersangkutan (Heathcote dan Hibbert, 1978).
Selain dari kedua jenis jamur
diatas, aflatoksin juga dihasilkan oleh jamur A. niger, A. oryzae, A. ruber,
a. wentii, A. ostianus, Penicillium citrinum, P. frequentans, P. expansum, P.
variabile, P. puberulum, Rhizopus sp., dan Mucor Mucedo (Uraguchi
dan Yamazaki, 1978).
Secara alami, aflatoksin terdapat
pada jagung, barley, tepung biji kapas, kacang, tepung kacang, beras, kedelai,
gamdum dan biji sorgum (Wilson dan Hayes, 1978). Bahan-bahan ini ditumbuhi jamur selama pemanenan dan penyimpanan pada
kondisi lembagian (Miller, 1973). Selain itu, aflatoksin dapat diproduksi oleh A. flavus pada bijian,
buah, daging, keju, produk olahan dan rempah-rempah (Golumbik and Kulik, 1969
dalam Wilson and Hayes, 1973).
Bermacam-macam komoditi yang dapat
mendukung pertumbuhan dan pembentukan aflatoksinnya adalah hasil-hasil susu, hasil-hasil
yang dipanggang (bakery), sari buah, biji-bijian, tanaman pakan ternak (Frazeir
and Westhoff, 1978; Winarno and Jeni, 1982). Selain itu makanan hasil
fermentasi dapat juga terkontaminasi. Misalnya, kecap yang berbahan baku
kedelai, dan oncom yang berbahan baku bungkil kacang tanah (Winarno and Jeni,
1982;, Winarno, Fardiaz and Fardiaz, 1980). Fungi dapat tumbuh pada kopra,
termasuk
A. flavus. Hal ini terutama bila kelembagianan
kopra antara 8 –12 % dan bagian minyak telah dihilangkan sebanyak 40 % daripada
semula (Thampan, 1981). Shotwell, et.al., (1969) dalam Gupta and
Venkitasubranian (1975) melaporkan bahwa 50 % sampel kedele yang diamati
terkontaminasi oleh A. flavus dan hanya 0,8 % yang mengandung
aflatoksin.
Jagung yang terkontaminasi oleh aflatoksin
apabila termakan oleh hewan akan beakibat bagian daging, telur atau susu hewan
ini mengandung aflatoksin. Dalam tubuh sapi, aflatoksin B1 akan
dibuah menjadi M1. Aflatoksin ini lebih kurang sama potensinya
dengan B1 dan kadar M1 ini akan sebanding dengan kadar B1
yang masuk kedalam tubuh (Banwart, 1979). Hanya 1 % dari aflatoksin B1
yang masuk kedalam tubuh sapi yang berubah menjadi M1 (Frazier and
Wethoff, 1978).
Aflatoksin dapat diproduksi oleh A.
flavus pada suhu antara 7,5 – 40° C, dengan suhu optimum 24 – 28° C.
Menurut Jay (1978) pembentukan
aflatoksin pada kacang tanah
terjadi pada aw optimum 0,93
– 0,98 dengan r.h. 83 % atau lebih tinggi pada suho 30° C. Untuk
biji-bijian berpati seperti jagung dan
gandum, kadar air batas untuk pertumbuhan A. flavus adalah 18,5 % sedang
biji berminyak seperti kacang-kacangan adalah 8 – 9 % (Christensen and
Kaufmann).
Kemampuan fungi untuk membentuk dan
menimbun aflatoksin tergantung pada beberapa faktor ialah potensial genetik
fungi, persyaratan-persyaratan lingkungan (substrat, kelembagianan, suhu,
pH) dan lamanya kontak antara fungi
dengan substrat. Adapun komposisi dari kompleks aflatoksin bervariasi
tergantung strain fungi, substrat dan persyaratan-persayaratan lingkungan.
Secara potensial genmetik ada terdapat strain-strain yang hanya membentuk aflatoksin B1
saja (Banwart, 1979).
RH minimum untuk pertumbuhan A.
flavus adalah 80 % (aw = 0,80). Kenaikan suhu, pH dan
persyaratan-persyaratan lingkungan lainnya akan menyebagiankan aw
minimum bertambah tinggi. Pada 30° C, RH minimum untuk pembentukan aflatoksin
adalah 83 %. RH pembatas-pembatas untuk bermacam-macam bentuk biji kacang tanah
adalah berbeda-beda, RH pembatas untuk
biji mentah yang sudah pecah adalah 83 %; biji masak yang masih segar 84 % dan
biji yang sudah tidak berkulit 86 %. Untuk A. parasiticus,RH minimum
untuk pembentukan aflatoksin paling
rendah adalah 87 % dan RH optimumnya adalah 99 % (Banwart, 1979). Penyimpanan
kacang tanah dan beras yang paling aman adalah apabila RH kurang dari 70 % (Wilson
and Hayes, 1973). Secara umum, RH optimum untuk pertumbuhan A. flavus dan
A. parasiticus adalah 85 % (Frazier and Westhoff, 1978; Winarno and
Jeni, 1982).
Aspergillus adalah jasad mesofil. Jangkauan
suhu untuk pertumbuhan adalah 6 - 8° C sampai 44 - 60° C, serta suhu optimumnya
pada 35 - 38° C. Sedangkan jangkauan suhu untuk pembentukannya aflatoksin
adalah 11 - 41° C, dengan suhu untuk pembentukan aflatoksin maksimum sedikit
dibawah suhu optimum intuk pertumbuhan kapangnya yaitu 24 - 30° C. Inkubasi pada
15° C selama 24 jam dan kemudian 21° C selama 24 jam dan akhirnya pada 28° C
selama 4 hari akan berakibat terbentuk aflatoksin 4 kali lebih tinggi daripada inkubasi pada suhu konstan 28° C
selama 6 hari (Banwart, 1979). Suhu dan waktu optimum untuk pembentukan
aflatoksin oleh A. flavus pada kacang tanah steril adalah 25° C selama 7
– 9 hari. Suhu optimum untuk pembentukan aaflatoksin bagi A. flavus dan A.
parasiticus adalah 25 – 40° C (Frazier and Westhoff, 1978; Winarno and
Jeni, 1982).
Pengaruh pH medium dalam
pembentukan aflatoksin oleh fungi afltoksigenik berkaitan dengan: tipe
substrat, asam atau basa yang digunakan untuk mengubah pH dan faktor-faktor
lingkungan lainnya. Fungi jenis ini tidak akan tumbuh baik apabila pH kurang
daripada 4,0. Pembentukan aflatoksin maksimum pada pH 5,5 – 7,0 (Banwart,
1979). Substrat dengan kadar karbohidrat yang tinggi akan menguntukan
pembentukan aflatoksin. Pertumbuhan maksimum
A. parasiticus terjadi apabila medium mengandung 10 % glukosa,
tetapi pembentukanaflatoksin maksimum pada 30 % glukosa. Glukosa , galaktosa
dan sukrosa merupakan karbohidrat yang dapat diterima, maltosa dan laktosa
lebih rendah penerimaannya daripada sukrosa dan sarbitol serta manittol akan
mendorong pembentukan aflatoksin yang lebih rendah (Banwart, 1979).
Adanya garam NaCl antara 1 – 3 %
akan memperbesar pembentukan aflatoksin, sedangkan pada 8 % NaCl pertumbuhan
dan pembentukan aflatoksin akan dihambat pada suhu 24° C, tetapi tidak apabila
suhu 28° C dan 35° C. Tidak ada pertumbuhan apabila kadar NaCl 14 % (Banwart,
1979). Logam-logam jarang (trace metal) mempengaruhi pembentukan aflatoksin. Zn
0 – 10 ug/ml akan memperbesar jumlah
aflatoksin menjadi lebih dari 1.000 kali lipat. Sedangkan kadar Zn yang lebih tinggi lagi akan mulai
menghambat. Mn dalam kadar yang rendah akan mendorong pembentukan aflatoksin
yang lebih banyak. Sebaliknya, Cu akan cenderung menurunkan. Adanya Ba pada
medium dapat berakibat terbentuknya mutan yang atoksigenik (Banwart, 1979).
Secara umum, fungi adalah jasad yang
aerobik, O2 dan N2 akan menurunkan kemampuan fungi untuk
membentuk aflatoksin. Efek penghambatan oleh CO2 dipertinggi dengan
menaikkan suhu atau menurunkan RH (Banwart, 1979). Untuk pertumbuhan paling
tidak kadar O2 adalah 1 % (Wilson and Hayes, 1973).
No comments:
Post a Comment