PENDAHULUAN
Hemolisis, kelainan tes fungsi hati
dan jumlah trombosit yang rendah sudah sejak lama dikenal sebagai komplikasi
dari preeklampsi-eklampsi (Chesley 1978; Godlin 1982; Mc Kay 1972).
Godlin menamakan sindrom ini EPH
Gestosis tipe II, MacKennan dkk. menganggapnya sebagai suatu misdiagnosis
preeklampsi, sedangkan penulis lain menyebutkannya sebagai bentuk awal
preeklampsi berat, variasi unik dari preeklampsi.
Pada 1982, Weinstein melaporkan 29
kasus preeklampsi berat, eklampsi dengan komplikasi trombositopeni, kelainan
sediaan apus darah tepi, dan kelainan tes fungsi hati. Ia menyatakan bahwa
kumpulan tanda dan gejala ini benar-benar terpisah dari preeklampsi berat dan
membentuk satu istilah: Sindrom HELLP; H untuk Hemolysis, EL untuk Elevated
Liver Enzymes, dan LP untuk Low Platelet.
Sibai dkk. menunjukkan adanya
perbedaan nyata dalam hal terminologi, insidens, penyebab, diagnosis dan
penatalaksanaan sindrom ini.
Insidens dilaporkan sekitar 2-12%,
kisaran ini menggambarkan perbedaan criteria diagnosis dan metode yang
digunakan. Ada perbedaan besar mengenai saat terjadi, tipe, dan derajat
kelainan laboratorium yang digunakan untuk mendiagnosis sindrom ini.
Ada yang mendiagnosis jika pasien
saat masuk sudah ada kelainan, ada yang jika kelainannya timbul selama
penanganan konservatif; yang lain jika kelainannya muncul post partum.
Bukti adanya hemolisis telah
dilaporkan pada beberapa studi dan definisi trombositopeni berkisar dari
<75.000/mm3 Sampai < 150.000/mm 3. Belum ada konsensus mengenai peranan
tes fungsi hati untuk mendiagnosis sindrom HELLP. Banyak penulis mendukung agar
nilai laktat dehidrogenase (LDH) dan bilirubin dimasukkan untuk mendiagnosis
sindrom ini.
ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
Patogenesis sindrom HELLP sampai
sekarang belum jelas. Yang ditemukan pada penyakit multisistem ini adalah
kelainan tonus vaskuler, vasospasme, dan kelainan koagulasi. Sampai sekarang
tidak ditemukan faktor pencetusnya. Sindrom ini kelihatannya merupakan akhir
dari kelainan yang menyebabkan kerusakan endotel mikrovaskuler dan aktivasi
trombosit intravaskuler; akibatnya terjadi vasospasme, aglutinasi dan agregasi
trombosit dan selanjutnya terjadi kerusakan endotel. Hemolisis yang
didefinisikan sebagai anemi hemolitik mikroangiopati merupakan tanda khas.
Sel darah merah terfragmentasi saat
melewati pembuluh darah kecil yang endotelnya rusak dengan deposit fibrin. Pada
sediaan apus darah tepi ditemukan spherocytes, schistocytes, triangular
cells dan burr cells.
Peningkatan kadar enzim hati
diperkirakan sekunder akibat obstruksi aliran darah hati oleh deposit fibrin di
sinusoid. Obstruksi ini menyebabkan nekrosis periportal dan pada kasus yang
berat dapat terjadi perdarahan intrahepatik, hematom subkapsular atau ruptur
hati.(4,5)
Nekrosis periportal dan perdarahan
merupakan gambaran histopatologik yang paling sering ditemukan. Trombositopeni
ditandai dengan peningkatan pemakaian dan/atau destruksi trombosit.
Banyak penulis tidak menganggap
sindrom HELLP sebagai suatu variasi dari disseminated intravascular
coagulopathy (DIC), karena nilai parameter koagulasi seperti waktu
prothrombin (PT), waktu parsial thromboplastin (PTT), dan serum fibrinogen
normal. Secara klinis sulit mendiagnosis DIC kecuali menggunakan tes
antitrombin III, fibrinopeptide-A, fibrin monomer, D-Dimer, 2 antiplasmin,
plasminogen, prekallikrein, dan fibronectin. Namun tes ini memerlukan waktu dan
tidak digunakan secara rutin. Sibai dkk. mendefinisikan DIC dengan adanya
trombositopeni, kadar fibrinogen rendah (fibrinogen plasma < 300 mg/dl) dan
fibrin split product > 40 µg/ml2. Semua pasien sindrom HELLP
mungkin mempunyai kelainan dasar koagulopati yang biasanya tidak terdeteksi.
EPIDEMIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO
Sindrom HELLP terjadi pada ± 2-12%
kehamilan. Sebagai perbandingan, preeklampsi
terjadi pada 5-7% kehamilan. Superimposed sindrom HELLP
berkembang dari 4-12% wanita preeklampsi atau eklampsi. Tanpa preeklampsi,
diagnosis sindrom ini sering terlambat. Faktor risiko sindrom HELLP berbeda
dengan preeklampsi .
Sindrom HELLP
|
Pre eklamsi
|
Multipara
Usia ibu > 25 tahun
Ras kulit putih
Riwayat keluaran kehamilan yang
jelek
|
Nullipara
Usia ibu < 20 tahun atau >
40 tahun
Riwayat keluarga preeklampsi
Asuhan mental (ANC) yang minimal
Diabetes Melitus
Hipertensi Kronik
Kehamilan multipel
|
Dalam laporan Sibai dkk (1986),
pasien sindrom HELLP secara bermakna lebih tua (rata-rata umur 25 tahun)
dibandingkan pasien preeklampsi-eklampsi tanpa sindrom HELLP (rata-rata umur 19
tahun). lnsiden sindrom ini juga lebih tinggi pada populasi kulit putih dan
multipara.
MANIFESTASI KLINIS
Pasien sindrom HELLP dapat mempunyai
gejala dan tanda yang sangat bervariasi, dari yang bernilai diagnostic sampai
semua gejala dan tanda pada pasien preeklampsi-eklampsi yang tidak menderita
sindrom HELLP.
Sibai (1990) menyatakan bahwa pasien
biasanya muncul dengan keluhan nyeri epigastrium atau nyeri perut kanan atas
(90%), beberapa mengeluh mual dan muntah (50%), yang lain bergejala seperti
infeksi virus. Sebagian besar pasien (90%) mempunyai riwayat malaise selama
beberapa hari sebelum timbul tanda lain. Dalam laporan Weinstein, mual dan/atau
muntah dan nyeri epigastrium diperkirakan akibat obstruksi aliran darah di
sinusoid hati, yang dihambat oleh deposit fibrin intravaskuler.
Pasien sindrom HELLP biasanya
menunjukkan peningkatan berat badan yang bermakna dengan udem menyeluruh. Hal
yang penting adalah bahwa hipertensi berat (sistolik 160 mmHg, diastolic 110
mmHg) tidak selalu ditemukan. Walaupun 66% dari 112 pasien pada penelitian
Sibai dkk (1986) mempunyai tekanan darah diastolic 110 mmHg, 14,5% bertekanan
darah diastolic 90 mmHg.
Dalam laporan awal Weinstein (1952)
atas 29 pasien, kurang dari setengah (13 pasien) mempunyai tekanan darah saat
masuk rumah sakit 160/110 mmHg. Jadi sindrom HELLP dapat timbul dengan tanda
dan gejala yang sangat bervariasi, yang tidak bernilai diagnosis, dan dapat
diikuti dengan kesalahan pemberian obat dan pembedahan seperti apendisitis,
gastroenteritis, glomerulonefritis, pielonefritis dan hepatitis virus.
DIAGNOSIS
Tiga kelainan utama pada sindrorn
HELLP berupa hemolisis, peningkatan kadar enzim hati dan jumlah trombosit yang
rendah.
Banyak penulis mendukung nilai
laktat dehidrogenase (LDH) dan bilirubin agar diperhitungkan dalam mendiagnosis
hemolisis. Derajat kelainan enzim hati harus didefinisikan dalam nilai standar
deviasi tertentu dan nilai normal di masing-masing rumah sakit. Di University
of Tennessee, Memphis, digunakan nilai potong > 3 SD.
Tabel Kriteria diagnosis sindrom
HELLP (University of Tennessee,Memphis)
Hemolisis
- Kelainan apusan darah tepi
- Total bilirubin > 1,2 mg/dl
- Laktat dehidrogenase (LDH) >
600 U/L
Peningkatan
fungsi hati
- Serum aspartate aminotransferase
(AST) > 70 U/L
- Laktat dehidrogenase (LDH) >
600 U/L
Jumlah
trombosit yang rendah
- Hitung trombosit < 100.000/mm
|
DIAGNOSIS BANDING
Pasien sindrom HELLP dapat
menunjukkan tanda dan gejala yang sangat bervariasi, yang tidak bernilai
diagnostic pada preeklampsi berat. Akibatnya sering terjadi salah diagnosis,
diikuti dengan kesalahan pemberian obat dan pembedahan. Diagnosis banding pasien
sindrom HELLP meliputi :
- Perlemakan hati akut dalam
kehamilan
- Apendistis
- Gastroenteritis
- Kolesistitis
- Batu ginjal
- Pielonefritis
- Ulkus peptikum
- Glomerulonefritis trombositopeni
idiopatik
- Trombositipeni purpura trombotik
- Sindrom hemolitik uremia
- Ensefalopati dengan berbagai
etiologi
- Sistemik lupus eritematosus (SLE)
KLASIFIKASI
Dua sistem klasifikasi digunakan
pada sindrom HELLP. Klasifikasi pertama berdasarkan jumlah kelainan yang ada.
Dalam sistem ini, pasien diklasifikasikan sebagai sindrom HELLP parsial
(mempunyai satu atau dua kelainan) atau sindrom HELLP total (ketiga kelainan
ada). Wanita dengan ketiga kelainan lebih berisiko menderita komplikasi seperti
DIC, dibandingkan dengan wanita dengan sindrom HELLP parsial. Konsekuensinya
pasien sindrom HELLP total seharusnya dipertimbangkan untuk bersalin dalam 48
jam, sebaliknya yang parsial dapat diterapi konservatif. Klasifikasi ke dua
berdasarkan jumlah trombosit (Martin dkk.) Sindrom HELLP kelas I jika jumlah
trombosit < 50.000/mm3 . Jumlah trombosit antara 50.000 – 100.000/mm3
dimasukkan kelas II. Kelas III jika jumlah trombosit antara 100.000 –
150.000/mm 3 . Klasifikasi ini telah digunakan dalam memprediksi kecepatan
pemulihan penyakit pada post partum, keluaran maternal dan perinatal, dan perlu
tidaknya plasmaferesis. Sindrom HELLP kelas I berisiko morbiditas dan mortalitas
ibu lebih tinggi dibandingkan pasien kelas II dan kelas III.
PENATALAKSANAAN
Pasien sindrom HELLP harus dirujuk
ke pusat pelayanan kesehatan tersier dan pada penanganan awal harus diterapi
sama seperti pasien preeklampsi.
Prioritas pertama adalah menilai dan menstabilkan kondisi ibu, khususnya
kelainan
pembekuan darah.
Penatalaksanaan sindrom HELLP pada umur kehamilan < 35 minggu (stabilisasi kondisi ibu) (Akhiri persalinan pada pasien sindrorn HELLP dengan umur kehamilan 35 minggu).
1. Menilai dan menstabilkan kondisi
ibu
a. Jika ada DIC, atasi
koagulopati
b. Profilaksis anti
kejang dengan MgSO4
c. Terapi hipertensi berat
d. Rujuk ke pusat kesehatan
tersier
e. Computerised tomography
(CT scan) atau Ultrasonografi (USG) abdomen bila diduga hematoma
subkapsular hati
2. Evaluasi kesejahteraan janin
a. Non stress test/tes tanpa
kontraksi (NST)
b. Profil biofisik
c. USG
3. Evaluasi kematangan paru
janin jika umur kehamilan < 35 minggu
a. Jika matur, segera akhiri
kehamilan
b. Jika immatur, beri
kortikosteroid, lalu akhiri kehamilan
Pasien sindrom HELLP harus diterapi
profilaksis MgSO4 untuk mencegah kejang, baik dengan atau tanpa hipertensi.
Bolus 4-6 g MgSO4 20% sebagai dosis awal, diikuti dengan infus 2 g/jam.
Pemberian infus ini harus dititrasi sesuai produksi urin dan diobservasi
terhadap tanda dan gejala keracunan MgSO4. Jika terjadi keracunan, berikan
10-20 ml kalsium glukonat 10% iv. Terapi anti hipertensi harus dimulai jika
tekanan darah menetap > 160/110 mmHg di samping penggunaan MgSO4. Hal ini
berguna menurunkan risiko perdarahan otak, solusio plasenta dan kejang pada
ibu. Tujuannya mempertahankan tekanan darah diastolik 90 – 100 mmHg. Anti
hipertensi yang sering digunakan adalah hydralazine (Apresoline ®) iv dalam
dosis kecil 2,5-5 mg (dosis awal 5 mg) tiap 15-20 menit sampai tekanan darah
yang diinginkan tercapai. Labetalol (Normodyne ®) dan nifedipin juga digunakan
dan memberikan hasil baik. Karena efek potensiasi, harus hati-hati bila
nifedipin dan MgSO4 diberikan bersamaan. Diuretik dapat mengganggu perfusi
plasenta sehingga tidak dapat digunakan.
Langkah selanjutnya ialah
mengevaluasi kesejahteraan bayi dengan menggunakan tes tanpa tekanan, atau
profil biofisik, biometri USG untuk menilai pertumbuhan janin terhambat. Terakhir,
harus diputuskan apakah perlu segera mengakhiri kehamilan. Amniosentesis dapat
dilakukan pada pasien tanpa risiko perdarahan. Beberapa penulis menganggap
sindrom ini merupakan indikasi untuk segera mengakhiri kehamilan dengan seksio
sesarea, namun yang lain merekomendasikan pendekatan lebih konservatif untuk
memperpanjang kehamilan pada kasus janin masih immatur.
Perpanjangan kehamilan akan
memperpendek masa perawatan bayi di NICU (Neonatal Intensive Care Unit),
menurunkan insiden nekrosis enterokolitis, sindrom gangguan pernafasan.
Beberapa bentuk terapi sindrom HELLP
yang diuraikan dalam literatur sebagian besar mirip dengan penanganan
preeklampsi berat.
Jika sindrom ini timbul pada saat
atau lebih dari umur kehamilan 35 minggu, atau jika ada bukti bahwa paru janin
sudah matur, atau janin dan ibu dalam kondisi berbahaya, maka terapi definitif
ialah mengakhiri kehamilan. Jika tanpa bukti laboratorium adanya DIC dan paru
janin belum matur, dapat diberikan 2 dosis steroid untuk akselerasi pematangan
paru janin, dan kehamilan diakhiri 48 jam kemudian. Namun kondisi ibu dan janin
harus dipantau secara kontinu selama periode ini.
Goodlin meneliti bahwa terapi
konservatif dengan istirahat dapat meningkatkan volume plasma. Pasien tersebut
juga menerima infus albumin 5 atau 25%; usaha ekspansi volume plasma ini akan
menguntungkan karena meningkatkan jumlah trombosit. Thiagarajah meneliti bahwa
peningkatan jumlah trombosit dan enzim hati juga bisa dicapai dengan pemberian
prednison atau betametason. Clark dkk. melaporkan tiga kasus sindrom HELLP yang
dapat dipulihkan dengan istirahat mutlak dan penggunaan kortikosteroid.
Kehamilan pun dapat diperpanjang sampai 10 hari, dan semua persalinan
melahirkan anak hidup; pasien-pasien ini mempunyai jumlah trombosit lebih dari
100.000/mm3 atau mempunyai enzim hati yang normal. Dua laporan terbaru
melaporkan bahwa penggunaan kortikosteroid saat antepartum dan postpartum menyebabkan
perbaikan hasil laboratorium dan produksi urin pada pasien sindrom HELLP.
Deksametason l0 mg/12 jam iv lebih
baik dibandingkan dengan betametason 12 mg/24 jam im, karena deksametason tidak
hanya mempercepat pematangan paru janin tapi juga menstabilkan sindrom HELLP.
Pasien yang diterapi dengan deksametason mengalami penurunan aktifitas AST yang
lebih cepat, penurunan tekanan arteri rata-rata (MAP) dan peningkatan produksi
urin yang cepat, sehingga pengobatan anti hipertensi dan terapi cairan dapat
dikurangi. Tanda vital dan produksi urine harus dipantau tiap 6-8 jam. Terapi
kortikosteroid dihentikan jika gejala nyeri kepala, mual, muntah, dan nyeri
epigastrium hilang dengan tekanan darah stabil <160/110 mmHg tanpa terapi
anti hipertensi akut serta produksi urine sudah stabil yaitu >50 ml/jam.
Sindrom ini bukan indikasi seksio
sesarea, kecuali jika ada hal-hal yang mengganngu kesehatan ibu dan janin.
Pasien tanpa kontraindikasi obstetri harus diizinkan partus pervaginam.
Sebaliknya, pada semua pasien dengan umur kehamilan > 32 minggu persalinan
dapat dimulai dengan infus oksitosin seperti induksi, sedangkan untuk pasien
< 32 minggu serviks harus memenuhi syarat untuk induksi. Pada pasien dengan
serviks belum matang dan umur kehamilan < 32 minggu, seksio sesarea elektif
merupakan cara terbaik. Analgesia ibu selama persalinan dapat menggunakan dosis
kecil meperidin iv (25-50 mg) intermiten. Anestesi local infiltrasi dapat
digunakan untuk semua persalinan pervaginam. Anestesi blok pudendal atau epidural
merupakan kontraindikasi karena risiko perdarahan di area ini. Anestesi umum
merupakan metode terpilih pada seksio sesarea.
Pasien dengan nyeri bahu, syok,
asites masif atau efusi pleura harus di USG atau CT scan hepar
untuk evaluasi adanya hematom subkapsular hati. Ruptur hematom subkapsular hati
merupakan komplikasi yang mengancam jiwa. Yang paling sering adalah ruptur
lobus kanan didahului oleh hematom parenkim. Kondisi ini biasanya ditandai
dengan nyeri epigastrium hebat yang berlangsung beberapa jam sebelum kolaps
sirkulasi. Pasien sering merasakan nyeri bahu, syok, atau asites yang masif,
kesulitan bernafas atau efusi pleura dan biasanya dengan janin yang sudah
meninggal.
Ruptur hematom subkapsuler hati yang
berakibat syok, memerlukan pembedahan emergensi dan melibatkan multidisiplin.
Resusitasi harus terdiri dari transfusi darah masif, koreksi koagulasi dengan
plasma segar beku (FFP) dan trombosit serta laparatomi segera. Pilihan tindakan
pada laparatomi meliputi : packing & draining, ligasi segmen
yang mengalami perdarahan, embolisasi arteri hepatika pada segmen hati yang
terkena dan atau penjahitan omentum atau penjahitan hati. Walaupun dengan
penanganan tepat, kematian ibu dan bayi lebih dari 50% terutama karena
eksanguinisasi dan pembekuan. Risiko berikutnya adalah sindrom gangguan
pernafasan, udem paru, dan gagal ginjal akut pasca operasi.
Pembedahan direkomendasikan untuk
perdarahan hati tanpa ruptur; namun pengalaman akhir-akhir ini menunjukkan
bahwa komplikasi ini dapat ditangani secara konservatif pada pasien yang
hemodinamiknya masih stabil. Penanganan harus meliputi : pemantauan ketat
keadaan hemodinamik dan koagulopati. Diperlukan pemeriksaan serial USG
atau CT scan terhadap hematoma subkapsuler, penanganan segera bila
terjadi rupture atau keadaan ibu memburuk. Yang terpenting dalam penanganan
konservatif adalah menghindari trauma luar terhadap hati seperti : palpasi
abdomen, kejang atau muntah dan hati-hati dalam transportasi pasien.
Peningkatan tekanan intraabdominal yang tiba-tiba berpotensi menyebabkan
rupture hematom subkapsular.
Pasien harus ditangani di unit
perawatan intensif (ICU) dengan pemantauan ketat terhadap semua parameter
hemodinamik dan cairan untuk mencegah udem paru dan atau kelainan respiratorik.
Transfusi trombosit diindikasikan baik sebelum maupun sesudah persalinan, jika
hitung trombosit < 20.000/mm3. Namun tidak perlu diulang karena pemakaiannya
terjadi dengan cepat dan efeknya sementara. Setelah persalinan, pasien harus
diawasi ketat di ICU paling sedikit 48 jam. Sebagian pasien akan membaik selama
48 jam postpartum; beberapa, khususnya yang DIC, dapat terlambat membaik atau
bahkan memburuk. Pasien demikian memerlukan pemantauan lebih intensif untuk
beberapa hari.
Sindrom HELLP dapat timbul pada masa
postpartum. Sibai melaporkan dalam penelitian 304 pasien sindrom HELLP,
95pasien (31%) hanya bermanifestasi saat postpartum. Pada kelompok ini, saat
terjadinya berkisar dari beberapa jam sampai 6 hari, sebagian besar dalam 48
jam postpartum. Selanjutnya 75 pasien (79%) menderita preeklampsi sebelum
persalinan, 20 pasien (21%) tidak menderita preeklampsi baik antepartum maupun
postpartum.
Penanganannya sama dengan pasien
sindrom HELLP anteparturn, termasuk profilaksis antikejang. Kontrol hipertensi
harus lebih ketat.
KOMPLIKASI
Angka kematian ibu dengan sindrom
HELLP mencapai 1,1%; 1-25% berkomplikasi serius seperti DIC, solusio
plasenta, adult respiratory distress syndrome, kegagalan
hepatorenal, udem paru, hematom subkapsular, dan rupture hati.
Angka kematian bayi berkisar 10-60%,
disebabkan oleh solusio plasenta, hipoksi intrauterin, dan prematur.
No comments:
Post a Comment