Friday, June 26, 2015

fenitoin



Fenitoin
                        Fenitoin merupakan obat dari golongnan hidantoin yang mempunyai sinonim Difenilhidantoin (DPH) atau berdasarkan nama IUPAC 5,5-Difenilimidazolidin-2,4-dion. Fenitoin merupakan obat antiepilepsi nonsedatif tertua, dikenal sejak tahun 1938 (Harknee, 1989; Yuen 1989).
Kimiawi Fenitoin
                        Fenitoin merupakan hidantoin dengan substitusi difenil dengan struktur seperti di bawah.Sifat sedatif lebih kecil dibandingkan senyawa substitusi alkil pada posisi 5 (Katzung, 1995).

Adanya gugus fenil atau aromatik lainnya pada ataom C5 penting untuk efek pengendalian  bangkitan tonik klonik. Sedangkan gugus alkil bertalian dengan efek sedasi, sifat yang terdapat pada mefenitoin (turunan fenitoin) dan barbiturat tapi tidak pada fenitoin. Adanya gugus metil pada atom N3 akan mengubah spektrum aktifitas misalnya mefenitoin, dan hasil N demetilasi oleh enzim mikrosom hati menghasilkan metabolit tidak aktif (Ganiswara,1995; Gilman, 2001).
Efek Farmakologis (Wibowo, 2001; Ganiswara,1995)
                        Fenitoin menunjukkan efek farmakologis sebagai berikut : Fenitoin berefek antiepileptik tetapi tidak menyebabkan depresi umum pada susunan saraf pusat. Dosis toksiknya dapat menimbulkan gejala eksitasi, sedangkan dosis letalis menimbulkan rigiditas decerebrate. Mampu membatasi perkembangan aktifitas serangan maksimal dan menurunkan penyebaran proses serangan dari fokus aktifnya. Dapat menimbulkan remisi sempurna pada serangan umum tonik klonik dan serangan parsial tertentu.Tidak secara sempurna menghilangkan aura sensorik atau gejala prodormal lainnya.Tidak seperti fenobarbital, fenitoin tidak menaikkan nilai ambang serangan yang ditimbulkan oleh obat konvulsan seperti striknin, pikrotoksin atau pentil entetrazol.Hanya memiliki kemampuan yang terbatas untuk menaikkan nilai ambang serangan electroshock.Fenitoin memulihkan ekstabilitas pola serangan secara abnormal untuk kembali pada keadaan normal.Fenitoin mampu memodifikasi pola serangan elekrtoshock maksimal. Fase tonik dapat dihilangkan secara sempurna, akan tetapi sisa serangan yang klonik mungkin ditingkatkan dan dapat diperpanjang.
Mekanisme Kerja
                        Fenitoin berefek stabilisasi pada semua membran neuronal, termasuk saraf perifer dan mungkin pada membran yang eksitabel (mudah terpacu) maupun yang tidak eksitabel. Obat ini juga dapat menurunkan aliran ion natrium yang tersisa maupun aliran ion yang mengalir selama aksi potensial atau depolarisasi karena proses kimia. Dapat juga dengan pemasukan ion kalsium selama depolarisasi berkurang, secara bebas atau sebagai akibat berkurangnya kadar ion natrium intraseluler. Fenitoin juga dapat menunda aktifasi aliran ion kalium keluar.Selama aksi potensial menyebabkan kenaikan periode refractory dan menurunnya cetusan ulangan.Obat ini juga dapat mengubah konduktan dan potensi membran dan konsentrasi asam amino dan neurotransmiter norepinefrin, asetilkolin danaminobutirat (GABA) (Wibowo, 2001).
                        Penelitian dengan saraf kultur sel menunjukkan fenitoin menghambat pelepasan berulang frekuensi tinggi yang mantap dari aksi potensial. Efek tersebut sangat bergantung pada konsentrasi.Ini merupakan efek dari konduksi ion natrium, muncul dari ikatannya dan perpanjangan keadaan inaktif dari saluran Natrium.
                        Dalam konsentrasi tinggi, fenitoin juga menghambat pelepasan serotonin dan norepinefrin, memacu ambilan dopamin dan menghambat kerja monoaminoksidase. Obat berinteraksi dengan lipid membran, ikatan ini mungkin akan menstabilkan membran. Fenitoin menyebabkan eksitasi pada beberapa saraf serebral. Reduksi permeabilitas kalsium dengan menghambat influks kalsium melewati membran sel dapat menjelaskan kemampuan fenitoin dalam menghambat berbagai proses sekresi yang diransang kalsium, termasuk pelepasan hormon neurotransmiter. Bukti-bukti menunjukkan bahwa pada konsentrasi terapetik, kerja utama fenitoin adalah menghambat saluran natrium dan terjadinya aksi potensial yang berulang (Katzung, 1995).
Farmakokinetik
Sifat Kimiawi Fenitoin
                        Fenitoin adalah asam lemah dengan pKa 8.3 (Evans, 1990). Literatur lain menyatakan pKa nya 9. Fenitoin sangat sukar larut dalam air, hanya kira-kira 4 mg fenitoin larut dalam 10 ml air pada 37o C, tapi larutannya bersifat alkali. Fenitoin-Na lebih larut dalam air panas dan berubah cepat menjadi asam fenitoin dalam asam lambung dengan menghasilkan presipitat (Gibaldi, 1983).
                        Kelarutanfenitoin yang kecil dalam cairan gastrointestinal memperlihatkan alasan utama bahwa faktor formulasi yang berbeda akan mempengaruhi bioavailabilitas produk fenitoin yang dihasilkan oleh produsen berbeda (Gibaldi, 1983; Evans, 1990).
                        Fenitoin dapat membentuk khelat dengan logam tembaga dan garam kobalt, tapi tidak ada indikasi adanya pembentukan khelat dengan Ca, Mg, Fe.Fenitoin mempunyai indeks terapetik sempit yaitu 10-20 mg/L (obat bebas dan obat terikat).Selain itu fenitoin juga mempunyai kinetika eliminasi non-linier (Gibaldi, 1983).
Absorpsi dan Distribusi
                        Fenitoin diserap terutama dari bagian proksimal saluran intestinal, tapi absorpsinya agak lambat dan bervariasi tergantung konsentrasi. Absorpsi hampir sempurna setelah diberikan dosis oral 400, 800, 1600 mg dari fenitoin-Na dalam bentuk kapsul, tapi waktu mencapai konsentrasi serum maksimum memerlukan waktu 8.4 jam untuk dosis 400 mg, 13.2 jam untuk dosis 800 mg, dan 31.5 jam untuk dosis 1600 mg (Gibaldi, 1983).
                        Fenitoin mengalami metabolisme lintas pertama di hati.Bioavailabilitas setelah pemberian oral cukup sempurna yaitu sekitar 80-95%, hal ini terjadi pada produk fenitoin dengan kualitas yang tinggi (Gibaldi, 1983; Evans, 1990).
                        Pemberian fenitoin secara IM, menyebabkan fenitoin mengendap di tempat suntikan kira-kira 5 hari dan absorpsi berlangsung lambat. Fenitoin didistribusikan ke berbagai jaringan tubuh dalam kadar yang berbeda-beda (Ganiswara, 1995; Katzung, 1995). Setelah suntikan IV, kadar yang terdapat dalam otak, otot skelet dan jaringan lemak lebih rendah daripada dalam hati, ginjal dan kelenjar ludah (Gibaldi, 1983;Ganiswara, 1995).
                        Fenitoin dalam tubuh terikat dengan protein yaitu albumin plasma kira-kira 90%.Pada orang sehat termasuk wanita hamil dan wanita pemakai obat kontrasepsi oral, fraksi bebas kira-kira 10% (Evans, 1990; Ganiswara, 1995; Gilman, 2001). Sedangkan pasien dengan penyakit ginjal, penyakit hati atau penyakit hepatorenal dan neonatus fraksi bebas kira-kira di atas 15%.Pada pasien epilepsi, fraksi bebas berkisar antra 5.8-12.6%.Fenitoin terikat kuat pada jaringan saraf sehingga kerjanya bertahan lebih lama, tapi mula kerja lebih lambat dari fenobarbital (Ganiswara, 1995). Hal yang berpengaruh pada absorpsi fenitoin dari aspek formulasinya adalah ukuran partikel dan jenis eksipien yang digunakan (Gibaldi, 1983; Katzung, 1995).
Biotransformasi dan Eliminasi
                        Biotransformasi terutama berlangsung dengan cara hidroksilasi oleh enzim mikrosom hati yaitu sitokrom P450 (Ganiswara, 1995; Gilman, 2001). Metabolitnya adalah derivat parahidroksifenol, derifat 3-metoksi dihidrokhol.Selanjutnya digabung dengan glukoronat dan dikeluarkan melalaui urin (Wibowo, 2001). Bitransformasi oleh enzim mikrosom hati dapat mengalami kejenuhan pada kadar terapi, sehingga peninggian dosis akan sangat meningkatkan kadar fenitoin dalam serum secara tidak proporsional (Gibaldi, 1983; Ganiswara, 1995). Oksidasi pada satu gugus dapat menghilangkan efek antikonvulsinya (Ganiswara, 1995).
                        Sebagian metabolit fenitoin diekresikan bersama empedu, kemudian mengalami reabsorpsi dan biotransformasi lanjutan dan diekresikan melalui ginjal.Di ginjal metabolit utamanya mengalami sekresi oleh tubuli, sedangkan bentuk utuhnya mengalami reabsorpsi (Ganiswara, 1995).Eliminasi fenitoin mengikuti kinetika tergantung dosis pada konsentrasi mencapai rentang terapetik.Kinetika eliminasi seperti ini menyebabkan masalah bioavailabilitas pada fenitoin (Gibaldi, 1983; Evans, 1990).Fenitoin mempunyai waktu paruh 12-36 jam (Katzung, 1995).Waktu untuk mencapai konsentrasi yang tetap dalam serum (steady-state) dibutuhkan waktu 5-10 hari (Watts, 1984).
Interaksi Obat
                        Pemakaian fenitoin dengan obat lain sangat perlu diperhatikan, karena interaksi fenitoin dengan obat lain dapat menyebabkan efek toksik atau sebaliknya tidak tercapai efek terapetik optimum. Karena itu terapi kombinasi harus dilakukan hati-hati, sebaiknya diikuti dengan pengukuran kadar obat dalam plasma. Obat-obat yang digunakan bersama fenitoin dapat mempengaruhi  farmakokinetiknya seperti absorpsi, ikatan dengan protein plasma, biotransformasi hati  dengan mempengaruhi enzim mikrosomal hati (Gibaldi, 1983; Evans, 1990; Ganiswara, 1995).
Beberapa Obat yang Dapat Berinteraksi dengan Fenitoin
              I.      Obat yang dapat mempengaruhi absorpsi fenitoin (Evans, 1990; Ganiswara, 1995)
1.       Antasid, apabila diberikan 2-3 jam setelah pemberian fenitoin, maka konsentrasi plasma fenitoin meningkat 2-3 kali lipat, karena antasid mempercepat absorpsi fenitoin.
2.       Arang aktif, konsentrasi plama fenitoin menurun karena arang aktif mencegah absorbsi fenitoin di gastrointestinal.
3.       Formula nutrisi, menurunkan absorpsi fenitoin
4.       Teofilin, menurunkan absorpsi fenitoin
5.       Sukralfat, menurunkan absorpsi fenitoin.
            II.      Obat-obat yang menggantikan ikatan fenitoin dengan protein plasma (Evans, 1990; Harknee, 1989)
Obat-obat yang dapat mnyebabkan hal ini antara lain azapropazon, diazoksid, halofenat, heparin, ibuprofen, fenilbutason, asam salisilat, sulfadiazin, sulfadimetosin, sulfafurazol, sulfametizol, sulfametoksipiridazin, tolbutamid, asam valproat.
          III.      Obat-obat yang mempengaruhi metabolisme (Evans, 1990; Harknee, 1989)
1.       Obat yang meningkatkan metabolisme yaitu asam folat, alkohol, deksametason, fenobarbital, klonazepam, diazepam, klordiazepoksida, dikloralfenazon, rifampisin, nitrofurantoin, teofilin.
2.       Obat yang menurunkan metabolisme fenitoin yaitu asam valproat, karbamazepin, sultiam, progabid, dikumarol, isoniazid, para amino salisilat (PAS), amiodaron, allopurinol, simetidin, ranitidin, famotidin, omeprazol, azapropazon, fenilbutazon, ibuprofen, disulfiram, metronidazol, sulfonamid, kloramfenikol.
          IV.      Obat yang mempengaruhi konsentrasi plasma fenitoin (Evans, 1990; Harknee, 1989)
1.       Obat yang meningkatkan konsentrasi plasma fenitoin yaitu dekstropropoksifen, felbamat, flukonazol, imipramin, metosuksimid, metilfenidat, mikonazol, nafimidon, nifedipin, kontrasepsi oral, feniramidol, pindolol, tikrinafen, trazadon.
2.       Obat yang nenurunkan konsentrasi protein plasma yaitu diazoksid, vaksin influenza, oksasiklin.
Beberapa obat yang dipengaruhi oleh fenitoin
                    I.            Absorpsi gastrointestinal (Evans, 1990; Harknee, 1989)
1.       Furosemid, pemberian fenitoin memperlihatkan dengan jelas respon diuretik yang lebih kecil daripada furosemid yang diberikan tanpa adanya fenitoin, baik diberikan oral atau IV. Sensitifitas tubula renal untuk memberikan respon diuretik dari furosemid menurun oleh adanya fenitoin.
2.       Tiroksin, asam folat dan siklosporin, absorpsi gastrointestinalnya diturunkan oleh adanya fenitoin.
3.       Isoksikam, absorpsinya meningkat dengan adanya fenitoin, baik diberikan oral atau dosis tunggal.
            II.                  Ikatan protein plasma (Evans, 1990; Harknee, 1989)
1.       Fenitoin meningkatkan fraksi bebas asam valproat, dikumarol, klonazepam, tolbutamid secara tidak berarti.
2.       Fenitoin meningkatkan konsentrasi plasma 1-acid glycoprotein.
3.       Fenitoin menurunkan fraksi bebas  lidokain.
4.       Fenitoin meningkatkan fraksi bebas plasma  sejumlah antidepresan trisiklik, pengujian dilakukan secara in vitro, tapi belum jelas secara in vivo.
5.       Konsentrasi plasma hormon seks dan kontraseptik steroid yang berkaitan dengan globulin ditingkatkan oleh fenitoin.
          III.                  Obat-obat yang metabolismenya ditingkatkan oleh fenitoin (Evan, 1990)
Fenitoin berpotensi menginduksi enzim mikrosomal hati, obat yang dipengaruhi antara lain : teofilin, misonidazol, metadon, meksiletin, disopiramid, karbamazepin, klonazepam, primidon, asam valproat, asetanilid dan metabolitnya parasetamol, metadon, petidin.
Toksisitas dan Efek Samping
                        Fenitoin sebagai obat epilepsi dapat menimbulkan keracunan, walaupun relatif lebih aman pada kelompoknya (Ganiswara, 1995). Pada pemakaian kronis dapat menimbulkan (Wibowo,2001) :
1.       Gangguan fungsi serebeler dan efek lain pada susunan saraf pusat
2.       Perubahan perilaku
3.       Gejala gangguan gastrointestinal
4.       Hiperplasi gingival
5.       Osteomalasia
6.       Anemia megaloblastik
7.       Hirsutisme
                        Gejala ringan biasanya timbul pada hari ke 3-10, seperti gangguan sistem saraf pusat, saluran cerna, gusi dan kulit.Sedangkan yang lebih berat terjadi setelah 40 hari seperti gangguan kulit, sumsum tulang.Hirsutisme jarang terjadi, tapi bagi wanita muda hal ini dapat sangat mengganggu (Wibowo, 2001; Ganiswara, 1995).
                        Gangguan pada sistem saraf pusat. Efek samping tersering adalah diplopia, ataksia, vertigo, nistagmus, sukar berbicara (slurred speech) disertai gejala lain seperti tremor, gugup, kantuk, rasa lelah, gangguan mental yang berat, ilusi, halusinasi sampai psikotik. Defisiensi folat yang cukup lama merupakan faktor yang turut berperan dalam terjadinya gangguan mental.Efek samping sistem saraf pusat lebih sering terjadi pada dosis melebihi 0.5 mg sehari (Katzung, 1995;Wibowo, 2001; Ganiswara, 1995).
                        Saluran cerna, seperti nyeri ulu hati, anoreksia, mual, muntah, terjadi karena fenitoin bersifat alkali.Pemberian sesudah makan atau dalam dosis terbagi, dapat mencegah atau mengurangi gangguan saluran cerna (Ganiswara, 1995).Fenitoin juga mampu menghambat sekresi insulin sehingga terjadi hiperglikemia dan glikosuri.Ia juga mengubah metabolisme vitamin D dan menghambat absorpsi intestinal kalsium sehingga terjadi osteomalasia dengan hipokalsemia dan kenaikan kadar fosfatase alkali. Pemakaian jangka panjang fenitoin juga dapat menimbulkan efek samping pada anak-anak yaitu terjadi insufisiensi osifikasi pada metafisis tulang panjang, kenaikan ambilan tiroid, efek koagulasi darah karena gangguan vitamin K dependent clotting factor (Wibowo, 2001).
                        Proliferasi epitel dan jaringan ikat gusi dapat terjadi pada penggunaan kronik dan menyebabkan hiperplasia pada 20% pasien.Edema gusi mudah terjadi gingivitis, terutama bila kebersihan mulut tidak terjaga.Pengobatan tidak perlu dihentikan pada gangguan gusi, dapat diringankan bila kebersihan mulut dipelihara (Ganiswara, 1995).
                        Efek samping pada kulit terjadi pada 2-5% pasien, lebih sering pada anak dan remaja yaitu berupa ruam morbiliform.Beberapa kasus diantaranya disertai hiperpireksia, eusinofilia, limfadenopati. Eritema multiform hemoragik sifatnya lebih berat  dan dapat berakibat fatal, karena itu bila terjadi ruam kulit sebaiknya pembeian obat dihentikan dan diteruskan kembali dengan hati-hati bila kelainan kulit telah hilang. Pada wanita muda pengobatan fenitoin secara kronik menyebabkan keratosis dan hirsutisme, karena meningkatnya aktifitas korteks suprarenalis.(Ganiswara, 1995).
                        Selain itu tercatat juga adanya pseudolimfoma, limfoma maligna, agranulositosis, lupus eritematosus, kerusakan serebeler yang permanen, perubahan perilaku dan pengurangan fungsi intelektual.Bahkan  fenitoin menyebabkan efek teratogen seperti bayi yang lahir dengan cacat kongenital, bila ibu diberi fenitoin pada trismester I kehamilan (Wibowo, 2001; Ganiswara, 1995).
                        Fenitoin mengurangi produksi imunoglobulin A (IgA) dan ini yang menimbulkan limfadenopati, seperti Hodgkin disease dan limfoma maligna.Sementara ibu hamil yang mendapat fenitoin mempunyai resiko mendapat hipoprotrombinemia, untuk itu dianjurkan pemberian vitamin K. Pemakaian fenitoin jangka lama menyebabkan kelainan fungsi hati dan kerusakan jaringan hati.Fenitoin mempengaruhi aktifitas sistem enzim mikrosomal hati, menaikkan sintesa protein lipid hepar. Di samping itu berbagai reaksi hematologik dikhawatirkan akan timbul pada pemakaian obat antiepilepsi seperti : neutropenia, leukopenia, trombositopenia, agranulositosis, anemia aplastik, anemia megaloblastik (Wibowo, 2001).
Indikasi
                        Fenitoin diindikasikan terutama  untuk bangkitan tonik klonik dan bangkitan parsial atau fokal (Ganiswara, 1995). Tapi tidak digunakan untuk bangkitan petit mal karena dapat memprovokasi bangkitan absences (Tjai, 1986; 2002).Banyak ahli penyakit saraf di Indonesia lebih menyukai penggunaan fenobarbital karena fenitoin mempunyai batas keamanan yang lebih sempit.Efek samping dan efek toksik sekalipun ringan tapi tetap mengganggu terutama pada anak-anak.Fenitoin juga digunakan untuk bangkitan parsial komplek (Ganiswara, 1995).
                        Indikasi lain fenitoin adalah untuk neuralgia trigeminal dan aritmia jantung (Evan, 1986; 1990;Ganiswara, 1995). Fenitoin juga digunakan pada terapi renjatan listrik (ECT), untuk meringankan konvulsinya dan bermanfaat pula terhadap kelainan ekstrapiramidal iatrogenik (Ganiswara, 1995). Untuk pengobatan aritmia jantung fenitoin bekerja dengan menghambat transport natrium (Hickey, 2003). Lebih  kurang 90% pasien yang mengalami aritmia jantung berhasil diobati dengan nenggunakan fenitoin, dimana konsentrasi plasma di bawah 18 mg/L, atau antara 10-18 mg/L (Evans, 1986).
Sediaan dan Posologi (Evan, 1990; Hickey, 2003)
                        Fenitoin tersedia dalam bentuk garam natrium  yaitu berupa kapsul 100 mg dan tablet kunyah 30 mg untuk pemberian oral, sedangkan sediaan suntik 100 mg/ 2 ml. Di samping itu juga tersedia bentuk sirup dengan takaran 125 mg/5 ml.
                        Kadar plasma optimalharus diperhatikan, yaitu berkisar antara 10-20 mg/L. Kadar di bawahnya kurang efektif untuk pengendalian konvulsi, sedangkan kadar lebih tinggi hampir selalu disertai gejala toksik. Dosis fenitoin harus selalu disesuaikan untuk masing-masing individu. Patokan kadar terapi antara 10-20 mg/L bukan merupakan angka mutlak,  karena beberapa pasien menunjukkan efektifitas fenitoin yang baik pada kadar 8 mg/L, sedangkan pada pasien lain, nistagmus sudah terjadi pada kadar 15 mg/L.
                        Rute pemberian oral, dosis awal untuk dewasa 300 mg, dilanjutkan dengan dosis penunjang antara 300-400 mg, maksimum 600 mg sehari. Anak diatas 6 tahun, dosis awal sama dengan dosis dewasa, sedangkan untuk anak di bawah 6 tahun, dosis awal 1/3  dosis  dewasa,  dosis  penunjang  adalah  4-8 mg/kg  BB  sehari, maksimum 300 mg. Dosis awal dibagi dalam 2-3 kali pemberian. Dosis penunjang dapat diberikan dalam dosis tunggal harian tanpa mengurangi efektifitasnya, karena masa paruh fenitoin cukup panjang, tetapi pemberian dengan dosis terbagi akan menghasilkan fluktuasi kadar fenitoin dalam darah yang minimal.
                        Pasien yang baru pertama kali mendapat fenitoin, tidak segera memperoleh efek, karena adanya tenggang waktu (time lag).Untuk mengganti terapi epilepsi dari fenobarbital menjadi fenitoin, harus dilakukan secara berangsur-angsur, sebab penghentian secara tiba-tiba dapat menyebabkan bangkitan status epileptikus yang berbahaya.
 

No comments:

Post a Comment