Wednesday, June 17, 2015

ensefalitis khronik



ENSEFALITIS KHRONIK.
(Suab-acute Sclerosing Pan Encephalitis = SSPE)

ICD =
 
SINONIM: Inclusion Body Encephalitis.

BATASAN :
Adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus rubella (measles) dan terjadi pada anak usia 7-8 tahun.

ETIOLOGI :
1.   Virus Measles
2.   Genus Morbiliform
3.   Famili Paramyxovirus.
    
PATOLOGIS DAN PATOGENESIS

1.   Virus measles masuk kedalam SSP selama terjadinya infeksi primer.
Patogenesanya melibatkan faktor virus dan sel 'host'.
Immunitas 'host' membunuh virus di SSP selama infeksi primer, kemudian berkembang menjadi SSPE, kemudian virus menetap dalam SSP dan menimbulkan penyakit bertahun tahun kemudian.
Fenomena molekuler berperanan atas menetapnya virus measles.
Gambaran utama menetapnya virus pada SSPE adalah gangguan pada siklus replikasi virus.
Adanya gangguan replikasi disokong oleh kesulitan isolasi virus di otak penderita SSPE.
'Defect' ini berhubungan dengan :
a.    Mutasi genome virus akibat dari protein yang abnormal yang sangat diperlukan bagi replikasi virus.
b.   Faktor 'host' pada sel SSP sebagai akibat kerusakan replikasi virus.
c.    Kelainan respons immune terhadap virus measles yang menyebabkan infeksi menetap.
Terjadinya kerusakan struktur protein virus menyebabkan menetapnya virus measles didalam sel ‘host’.
Penderita SSPE mengembangkan respons hiperimmune terhadap virus measles, yang gagal mengontrol infeksi yang menetap tadi.
Imunitas humoral normal, tetapi titer antibodi virus measles dalam serum dan CSS tinggi. Antibodi ada untuk menghadapi antigen virus measles, namun tenpa protein M.
Tidak adanya antibodi terhadap protein M ini adalah sesuatu yang unik pada SSPE
Fenomena ini (antara virus dengan sel 'host') menyebabkan perobahan neuronal pada SSPE. Perobahan itu dalam dimensi waktu dan beratnya penyakit menimbulkan hilangnya sel neuron terutama dalam stadium lanjut.
Penurunan densitas sinaptik dengan hilangnya akson, dendrit dan taju dendrit adalah akibat interaksi virus dengan sitoskeleton seluler.
Penurunan densitas ini juga berhubungan dengan mikrotubuli sehingga mengakibatkan disfungsi mikrotubuli dan secara mikroskopis terbentuk 'neurofibllary tangle' (NT). NT ini dijumpai pada otak penderita SSPE setelah lebih dari 1 tahun.
Keadaan ini dijumpai pada korteks serebri dan hipokampus.
Secara ultrastruktural, NT pada otak SSPE identik munculnya pada yang terdapat Pada penderita Alzheimer's disease, namun plaque amiloid tidak dijumpai pada SSPE.
Demielinisasi akhirnya terjadi akibat infeksi pada oligodendrosit. 'Inclusion bodies dijumpai dalam oligodendrosit dan antigen virus measles yang terdeteksi dalam sel yang terinfeksi.
Glia 'fibrillary tangle' terdapat dalam oligodendrosit pada pasien dengan NT, sugestive bahwa perobahan dalam fungsi sitoskeleton dapat menyebabkan demielinsasi.
 
GAMBARAN KLINIK

Sangat bervariasi, tetapi disepakati adanya klasifikasi gejala.

1.      Stadium 1.
·         Perobahan intelektual dan tingkah laku dengan basis organik.
·         Penurunan penampilan disekolah dan munculnya tingkah laku yang tidak biasa.
·         Letargi, 'sosial withdrawal', hiperaktive, hilangnya kepercayaan diri, jorok, temper tantrum, agresive dan tingkah laku destruktive.
·         Tanda neurologis non spesifik ringan seperti disorientasi, inkoordinasi, gangguan menulis, perobahan postur, tremor, twitching dan  spasme.
·         Pada stadium ini SSPE jarang terdeteksi.

2.      Stadium 2.
·         Berlangsung beberapa bulan, kemudian muncul gejala yang lebih serius, berupa penurunan intelektual dengan serangan stereotip periodik, dimana miokloklonus paling sering dijumpai ketika bangun tidur atau pada awal tidur.
·         Kejang absens, serangan akinetik dengan episode atonik, 'drop attack' dan 'head nodding spells'.
·         Serangan terjadi sekali sehari atau sekali dalam beberapa hari.
·         Periode ini berlangsung dalam beberapa bulan. Kejang terjadi pada setiap stadium, tapi umumnya pada stadium 2.
·         Serangan dapat berupa kejang akinetik (paling sering) atau bisa juga kejang tonik klonik atau kejang fokal.
·         Perkembangan berjalan terus, serangan periodik menjadi berirama dengan gambaran mioklnus. Polanya adalah ringan, isometris berlangsung beberapa detik. Rangsangan sensorik mencetuskan serangan. Serangan miokloni jadi masive dan melibatkan ke-4 anggota gerak dan otot aksial. Penyakit berkembang terus, dengan frekwensi meningkat 5-10 detik.
·         Gangguan praksis terutama 'dressing praxia' dan gangguan visuo-spatial, hal ini terjadi karena perobahan patologi didaerah posterior hemisferium serebral. Gejala visual ditemukan pada 50% pasien. Perubahan visual disebabkan karena terjadinya khorioretinitis fokal yang dapat bersifat unilateral dan bilateral mengenai perifer atau makula. Pada funduskopi terlihat edema retina, perdarahan, radang preretinal membran, dan perubahan pigmen epitel. 
·         Gangguan visus adalah sekunder terhadap lesi pada lobus oksipital menjurus kepada buta kortikal.
·         Gangguan berbahasa menyusul kemudian karena terlibatnya bagian anterior hemisferium serebral. Pasien tidak dapat berkomunikasi efektive. Bicara stereotipe menjadi sering, khoreoathetosis, diskinesia, tremor, dan tanda traktus piramidal dan ataksia serebelr yang melibatkan lengan/tungkai serta tubuh.
3.      Stadium 3.
·         Berlangsung lambat. Terjadi perubahan tiba tiba dari stadium 2 menuju stadium 3, yaitu diikuti periode kejang berulang. Pasien sering memalingkan kepala atau tubuhnya kearah suara, cahaya atau gerakan.
·         Sentuhan dan suara akan ditangapi dengan senyuman, ketawa atau menangis. Serangan miokloni masih dijumpai. Frekwensi dan intensitas mioklonus menurun kualitasnya. Pasien terbaring dengan meningkatnya khoreoathetotis, distonia dan rigiditas.  Pasien tetap sadar tetapi tidak bisa berkomunikasi atau mengikuti perintah sederhana. Berkembang instabilitas otonom dengan manifestasi hiperpireksia, diaforosis, takikardia, pola pernafasan patologis dan 'hippus' berat.
·         Refleks postur dekortikasi dan deserebrasi karena terjadinya destruksi substansia alba serebral. Berkurangnya atau menurunnya mioklonus pada stadium ini dapat memberikan kesan keliru terjadinya perbaikan klinis.
·         Tingkat kesadaran biasanya menurun dan pasien jadi koma. Keadaan ini dapat berlangsung beberapa lama. Sebagian dapat membaik dan kembali pada stadium 2.
·         Dalam tempo 1-2 tahun pasien memasuki stadium 4, karena kesempatan untuk membaik pada stadium 3 hilang.

4.      Stadium 4.
1.      Tungkai dan lengan dalam posisi fleksi, dijumpai respon ketawa dan menangis patologik. Terjadi refleks aktive yang mengejutkan, gerakan mata, hipotonia dan mutisme.
2.      Instabilitas otonom tetap terjadi dan miokloni serta kejang berkurang. Pasien saat ini meninggal karena infeksi.
3.      80% kasus perjalanan klinik ini berlangsung antara 1-3 tahun. 10% pasien hidup lebih lama bahkan sampai 10 tahun.
4.      10% pasien dengan perjalanan klinis yang ganas dan dapat meninggal dalam 3 bulan. Pada pasien SSPE  fulminan, ini berkembang cepat jadi koma.
5.      Tanda kerusakan traktus kortikospinal menonjol. Gejala awal adalah visual (50%), sementara pada SSPE non fulminan jarang dengan gejala visual. Keluhan visual berupa pandangan kabur.
  
DIAGNOSA BANDING   
1.      Ensefalitis Progresive Akut (atau Measles Inclusion Body Encephalitis).
            Gejala khasnya adalah:
·         Epilepsi partial kontinua dengan tanda neurologik fokal.
·         Retinitis dan buta kortikal.
·         Tanpa demensia dan respons hiperimmune.
·         EEG unilateral atau perlambatan difus umum.
·         CSS normal.
2.      Pan-ensefalitis Rubella Progresiva.
·         Jarang dengan gangguan neurologik progresive.
·         Dimulai dengan penurunan intelektual progresive pada dekade ke-2.
·         Ataksia serebeler dan atrofi optik.
·         Kejang dan mioklonus tidak menonjol.
·         EEG dengan perlambatan difus.
3.      Infeksi Virus Parainfluenza.
·         Dibedakan dengan deteksi antibodi para influenza virus.
4.      Penyakit Creutsfeldt Jacob.

DIAGNOSIS
1.      Pemeriksaan serologis.
·         Titer antibodi virus dalam serum dan CSS dengan ditemukannya peningkatan IgG dan sintesa IgG insitu.
·         IgG band oligoklonal dalam serum dan CSS dengan menggunakan 'fixation assay' dapat juga digunakan 'hemoglobin inhibition immunofluorescence' dan ELISA assay.
·         IgM antibodi tidak dapat digunakan sebagai diagnosa karena dijumpai hanya pada 10% kasus.  
·         Pada CSS:
§  Protein total normal sampai meninggi sedikit.
§  Gamma globulin meningkat sampai 20%.
§  IgG insitu meningkat.
·         Antibodi virus dikonfirmasikan dengan penurunan CSS serum.
2.   EEG; memperlihatkan 'periodic discharge'.
·         Bilateral.
·         Biasanya sinkron dan simetris.
·         Stereotipe.
·         Terdiri dari 2 atau lebih gelombang delta yang difasik, trifasik atau polifasik.
·         Amplitudo 500 mikro Volts.
·         Berulang secara teratur tiap 4-12 menit.
·         Sinkron dengan 'myoclonik jerk'. 
1)        Sebagian melaporkan bahwa fase awal dari periodik komplek terdiri dari elemen cepat, baik 'spike' atau 'sharp'. Periodik kompleks ini dijumpai dini pada SSPE dimana keadaan pasien masih sadar penuh, koheren dan aktifitas biasa, tetapi ada bukti menurunnya fungsi intelektual.
Pada stadium dini dapat dijumpai aktifitas delta frontal rhytm (FRDA) dengan   irama dasar biasanya normal.
Kemudian berkembang jadi 'bisynchronous spike wave activity' (1-3 Hz) yang   dapat dijumpai umum atau fokal difrontal. Kemudian irama dasar jadi lambat dan menjadi 'disorganized' begitu masuk stadium lanjut. Kelainan fokal juga dapat terlihat dengan dijumpainya 'spike', 'sharp' atau 'triphasic waves' sebagaimana umumnya dijumpai pada kelainan fokal. 
3.   Neuro-imaging.
Abnormal sepanjang perjalanan penyakit SSPE.
Gambaran radiografi secara kasar berkorelasi dengan stadium penyakit.
Perbaikan klinis tidak ada hubungannya dengan perubahan pada CT/MRI.
Perubahan radiografi sering dijumpai pada stadium dini SSPE, pada stadium 2 MRI lebih sering abnormal dibanding CT Scan. 
Pada sebagian kasus CT dapat normal sampai 5 tahun penyakit.
'Enhancement' dengan kontras tidak diperlukan. Pada MRI, hiperdensiti terlihat didaerah periventrikuler substansia alba, difrontal, temporal dan oksipital.
Substansia alba parietal jarang ditemukan dini.
Pada stadium 2 sampai 50% kasus, gambaran abnormal meningkat didaerah ganglion basal dan talamus, nukleus lentiformis paling dikenai dan lesi biasanya bilateral. Lesi berbentuk baji multipel yang mengenai substansia alba dan nigra. Dari korteks sering dijumpai pada CT/MRI. Lesi ini dijumpai pada teritorial aliran darah besar atau pada 'watershed area'. Lesi ini menampakkan infark serebral.
Pada stadium 3 yang lebih menonjol adalah atrofi serebral. Atrofi batang otak yang selektive dapat melibatkan pons.
Perobahan akut pada stadium 3 biasanya berhubungan dengan kejang mendadak, atenuasi substansia alba dan nigra lebih jelas dengan kontras 'enhancement'.

PENATALAKSANAAN

Terapi Non-Medikamentosa
Tindakan suportive :
Diberikan terapi untuk mioklonus, kejang dan gangguan emosinya.                                    

Terapi Medikamentosa

Pengobatan dini diusahakan menggunakan obat antivirus, faktor transferon dan interferon.
1.      Inosiplex (Isoprinosin) dan alfa interferon dapat bermanfaat. Regimen dosis belum ada, standardnya dapat bervariasi tiap individu.
       Inosiplex dimulai 25 mgr/KgBB dinaikan sampai 100 mg/KgBB dalam dosis terbagi. Respons perbaikan akan terlihat setelah 10-78 bulan.
2.      Alfa interferon diberikan secara sistemis, intrarthekal dan intraventrikuler.
  Rasional penggunaan obat ini adalah:
a.       Perobahan dari persisten sel asosiasi virus measles menjadi infeksi litik reproduktive secara invitro.
b.      Alfa interferon yang abnormal rendah dan konsentrasi beta dalam CSS pada pasien SSPE.
c.       Resistensi relative interferon dari strain virus measles SSPE. Pemberian alfa inteferon menhasilkan efektivitas yang berbeda beda dengan terjadinya remisi pada sebagian pasien.
Kombinasi Inosipleks dengan Alfa Interferon cukup baik hasilnya.
Perbaikan klinis dicapai pada 50% kasus.
Perjalanan klnis menjadi stabil pada 22,9% kasus.
Terhambatnya progresivitas pada 13,6% kasus.
Dosis Alfa Interferon 100.000 IU/hari dan ditingkatkan setiap hari sampai 1 juta IU/hari pada hari ke-5.
Komplikasi penggunaan Alfa Interferon intratekal adalah berupa letargi, demam, anoreksia, vomitus, hiperurikemia, hipernatremia dan trombositopenia.
3.      Spesifik :
Diberikan antikonvulsan konvensional, seperti :
a.    Klonazepam
b.   Sodium Valproat.
c.    Haloperidol.
d.   Interferron intrathecal.

PROGNOSIS dan KOMPLIKASI
Fatal jika tidak diobati.
Median survival mencapai 1 tahun di AS.
5 survival years mencapai 10%.
Semua pasien akan meninggal dalam waktu 10  tahun. .
95% meninggal dalam 6 tahun sesudah onset di Timur Tengah.
Remisi dapat terjadi pada 5% yang terjadi secara spontan dan relaps terjadi pada stadium 4 dan akhirnya meninggal.  
Komplikasi khronik adalah terjadinya pneumonia, infeksi saluran kencing, sepsis dan ulkus dekubitus.        
Berdasarkan perjalanan klinik yang didapatkan.        
Punksi lumbal (LP) -------à CSF study.
·         Tidak dijumpai pleositosis ataupun peninggian protein.
·         Meningkatnya gamma globulin (IgG).
Pemeriksaan EEG dijumpai adanya gelombang lambat bervoltase tinggi secara periodik yang kemudian diikuti oleh isoelektrik.

No comments:

Post a Comment