ENSEFALITIS
KHRONIK.
(Suab-acute Sclerosing Pan Encephalitis
= SSPE)
ICD =
SINONIM: Inclusion Body
Encephalitis.
BATASAN :
Adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus
rubella (measles) dan terjadi pada anak usia
7-8 tahun.
ETIOLOGI
:
1.
Virus Measles
2.
Genus Morbiliform
3.
Famili Paramyxovirus.
PATOLOGIS
DAN PATOGENESIS
1.
Virus measles masuk kedalam SSP
selama terjadinya infeksi primer.
Patogenesanya melibatkan faktor virus dan sel 'host'.
Immunitas 'host' membunuh virus di SSP selama infeksi primer, kemudian
berkembang menjadi SSPE,
kemudian virus menetap dalam SSP dan menimbulkan penyakit bertahun tahun kemudian.
Fenomena molekuler berperanan atas menetapnya virus measles.
Gambaran utama menetapnya virus pada SSPE adalah gangguan pada siklus
replikasi virus.
Adanya gangguan replikasi disokong oleh kesulitan isolasi virus di otak
penderita SSPE.
'Defect' ini berhubungan dengan :
a.
Mutasi genome virus akibat dari
protein yang abnormal yang sangat diperlukan bagi replikasi virus.
b.
Faktor 'host' pada sel SSP
sebagai akibat kerusakan replikasi virus.
c.
Kelainan respons immune
terhadap virus measles yang menyebabkan infeksi menetap.
Terjadinya kerusakan struktur protein virus menyebabkan menetapnya virus
measles didalam sel ‘host’.
Penderita SSPE mengembangkan respons hiperimmune terhadap virus
measles, yang gagal mengontrol
infeksi yang menetap tadi.
Imunitas humoral normal, tetapi titer antibodi virus measles dalam serum
dan CSS tinggi. Antibodi ada untuk menghadapi
antigen virus measles, namun tenpa protein M.
Tidak
adanya antibodi terhadap protein M ini adalah sesuatu yang unik pada SSPE
Fenomena
ini (antara virus dengan sel 'host') menyebabkan perobahan neuronal pada SSPE. Perobahan itu dalam
dimensi waktu dan beratnya penyakit menimbulkan hilangnya sel neuron terutama
dalam stadium lanjut.
Penurunan
densitas sinaptik dengan hilangnya akson, dendrit dan taju dendrit adalah akibat interaksi virus dengan
sitoskeleton seluler.
Penurunan
densitas ini juga berhubungan dengan mikrotubuli sehingga mengakibatkan disfungsi mikrotubuli dan
secara mikroskopis terbentuk 'neurofibllary tangle'
(NT). NT ini
dijumpai pada otak penderita SSPE setelah lebih dari 1 tahun.
Keadaan ini dijumpai pada
korteks serebri dan hipokampus.
Secara ultrastruktural, NT
pada otak SSPE identik munculnya pada yang terdapat Pada penderita Alzheimer's disease,
namun plaque amiloid tidak dijumpai pada SSPE.
Demielinisasi
akhirnya terjadi akibat infeksi pada oligodendrosit. 'Inclusion bodies dijumpai dalam oligodendrosit dan
antigen virus measles yang terdeteksi dalam sel yang terinfeksi.
Glia
'fibrillary tangle' terdapat dalam oligodendrosit pada pasien dengan NT, sugestive bahwa perobahan dalam fungsi
sitoskeleton dapat menyebabkan demielinsasi.
GAMBARAN
KLINIK
Sangat
bervariasi, tetapi disepakati adanya klasifikasi gejala.
1.
Stadium 1.
·
Perobahan intelektual dan
tingkah laku dengan basis organik.
·
Penurunan penampilan disekolah
dan munculnya tingkah laku yang tidak biasa.
·
Letargi, 'sosial withdrawal',
hiperaktive, hilangnya kepercayaan diri, jorok, temper tantrum, agresive dan tingkah
laku destruktive.
·
Tanda neurologis non spesifik
ringan seperti disorientasi, inkoordinasi, gangguan menulis, perobahan postur,
tremor, twitching dan spasme.
·
Pada stadium ini SSPE jarang
terdeteksi.
2.
Stadium 2.
·
Berlangsung beberapa bulan,
kemudian muncul gejala yang lebih serius, berupa penurunan intelektual dengan
serangan stereotip periodik, dimana miokloklonus paling sering dijumpai ketika
bangun tidur atau pada awal tidur.
·
Kejang absens, serangan
akinetik dengan episode atonik, 'drop attack' dan 'head nodding spells'.
·
Serangan terjadi sekali sehari
atau sekali dalam beberapa hari.
·
Periode ini berlangsung
dalam beberapa bulan. Kejang terjadi pada setiap stadium, tapi umumnya
pada stadium 2.
·
Serangan dapat berupa kejang
akinetik (paling sering) atau bisa juga kejang tonik klonik atau kejang fokal.
·
Perkembangan berjalan terus,
serangan periodik menjadi berirama dengan gambaran mioklnus. Polanya adalah
ringan, isometris berlangsung beberapa detik. Rangsangan sensorik mencetuskan
serangan. Serangan miokloni jadi masive dan melibatkan ke-4 anggota gerak dan
otot aksial. Penyakit berkembang terus, dengan frekwensi meningkat 5-10 detik.
·
Gangguan praksis terutama
'dressing praxia' dan gangguan visuo-spatial, hal ini terjadi karena perobahan
patologi didaerah posterior hemisferium serebral. Gejala visual ditemukan pada
50% pasien. Perubahan visual disebabkan karena terjadinya khorioretinitis fokal
yang dapat bersifat unilateral dan bilateral mengenai perifer atau makula. Pada
funduskopi terlihat edema retina, perdarahan, radang preretinal membran, dan
perubahan pigmen epitel.
·
Gangguan visus adalah sekunder
terhadap lesi pada lobus oksipital menjurus kepada buta kortikal.
·
Gangguan berbahasa menyusul
kemudian karena terlibatnya bagian anterior hemisferium serebral. Pasien tidak
dapat berkomunikasi efektive. Bicara stereotipe menjadi sering,
khoreoathetosis, diskinesia, tremor, dan tanda traktus piramidal dan ataksia
serebelr yang melibatkan lengan/tungkai serta tubuh.
3.
Stadium 3.
·
Berlangsung lambat. Terjadi perubahan tiba tiba dari stadium 2
menuju stadium 3, yaitu diikuti periode
kejang berulang. Pasien sering memalingkan kepala atau tubuhnya kearah suara,
cahaya atau gerakan.
·
Sentuhan dan suara akan
ditangapi dengan senyuman, ketawa atau menangis. Serangan miokloni masih
dijumpai. Frekwensi dan intensitas mioklonus menurun kualitasnya. Pasien
terbaring dengan meningkatnya khoreoathetotis, distonia dan rigiditas. Pasien tetap sadar tetapi tidak bisa berkomunikasi atau mengikuti perintah sederhana. Berkembang instabilitas otonom
dengan manifestasi hiperpireksia, diaforosis, takikardia, pola pernafasan
patologis dan 'hippus' berat.
·
Refleks postur dekortikasi dan
deserebrasi karena terjadinya destruksi substansia alba serebral. Berkurangnya
atau menurunnya mioklonus pada stadium ini dapat memberikan kesan keliru
terjadinya perbaikan klinis.
·
Tingkat kesadaran biasanya
menurun dan pasien jadi koma. Keadaan ini dapat berlangsung beberapa lama.
Sebagian dapat membaik dan kembali pada stadium 2.
·
Dalam tempo 1-2 tahun pasien
memasuki stadium 4, karena kesempatan untuk membaik pada stadium 3 hilang.
4.
Stadium 4.
1. Tungkai dan lengan dalam
posisi fleksi, dijumpai respon ketawa dan menangis patologik. Terjadi refleks
aktive yang mengejutkan, gerakan mata, hipotonia dan mutisme.
2.
Instabilitas otonom tetap terjadi dan miokloni serta kejang berkurang.
Pasien saat ini meninggal karena infeksi.
3.
80% kasus perjalanan klinik ini berlangsung antara 1-3 tahun. 10% pasien hidup lebih lama bahkan sampai 10 tahun.
4.
10% pasien dengan perjalanan
klinis yang ganas dan dapat meninggal dalam 3 bulan. Pada pasien SSPE fulminan, ini berkembang cepat jadi koma.
5.
Tanda kerusakan traktus
kortikospinal menonjol. Gejala awal adalah visual (50%), sementara pada SSPE
non fulminan jarang dengan gejala visual. Keluhan visual berupa pandangan
kabur.
DIAGNOSA BANDING
1. Ensefalitis Progresive Akut
(atau Measles Inclusion Body Encephalitis).
Gejala khasnya adalah:
·
Epilepsi partial kontinua
dengan tanda neurologik fokal.
·
Retinitis dan buta kortikal.
·
Tanpa demensia dan respons
hiperimmune.
·
EEG unilateral atau perlambatan
difus umum.
·
CSS normal.
2.
Pan-ensefalitis Rubella
Progresiva.
·
Jarang dengan gangguan
neurologik progresive.
·
Dimulai dengan penurunan
intelektual progresive pada dekade ke-2.
·
Ataksia serebeler dan
atrofi optik.
·
Kejang dan mioklonus tidak
menonjol.
·
EEG dengan perlambatan difus.
3.
Infeksi Virus Parainfluenza.
·
Dibedakan dengan deteksi
antibodi para influenza virus.
4. Penyakit Creutsfeldt Jacob.
DIAGNOSIS
1.
Pemeriksaan serologis.
·
Titer antibodi virus dalam
serum dan CSS dengan ditemukannya peningkatan IgG dan sintesa IgG insitu.
·
IgG band oligoklonal dalam
serum dan CSS dengan menggunakan 'fixation assay' dapat juga digunakan
'hemoglobin inhibition immunofluorescence' dan ELISA assay.
·
IgM antibodi tidak dapat
digunakan sebagai diagnosa karena dijumpai hanya pada 10% kasus.
·
Pada CSS:
§
Protein total normal sampai
meninggi sedikit.
§
Gamma globulin meningkat sampai
20%.
§ IgG insitu meningkat.
·
Antibodi virus dikonfirmasikan
dengan penurunan CSS serum.
2.
EEG; memperlihatkan
'periodic discharge'.
·
Bilateral.
·
Biasanya sinkron dan simetris.
·
Stereotipe.
·
Terdiri dari 2 atau lebih gelombang delta yang difasik, trifasik atau
polifasik.
·
Amplitudo 500 mikro Volts.
·
Berulang secara teratur tiap
4-12 menit.
·
Sinkron dengan 'myoclonik jerk'.
1)
Sebagian melaporkan bahwa fase awal dari periodik
komplek terdiri dari elemen cepat,
baik 'spike' atau 'sharp'. Periodik kompleks ini dijumpai dini pada SSPE dimana
keadaan pasien masih sadar penuh, koheren dan aktifitas biasa, tetapi ada bukti
menurunnya fungsi intelektual.
Pada
stadium dini dapat dijumpai aktifitas delta frontal rhytm (FRDA) dengan irama dasar biasanya normal.
Kemudian
berkembang jadi 'bisynchronous spike wave activity' (1-3 Hz) yang dapat dijumpai umum atau fokal difrontal.
Kemudian irama dasar jadi lambat dan menjadi 'disorganized' begitu masuk
stadium lanjut. Kelainan fokal juga dapat terlihat dengan dijumpainya 'spike',
'sharp' atau 'triphasic waves' sebagaimana umumnya dijumpai pada kelainan
fokal.
3. Neuro-imaging.
Abnormal
sepanjang perjalanan penyakit SSPE.
Gambaran
radiografi secara kasar berkorelasi dengan stadium penyakit.
Perbaikan
klinis tidak ada hubungannya dengan perubahan pada CT/MRI.
Perubahan
radiografi sering dijumpai pada stadium dini SSPE, pada stadium 2 MRI lebih sering abnormal dibanding CT
Scan.
Pada
sebagian kasus CT dapat normal sampai 5 tahun penyakit.
'Enhancement'
dengan kontras tidak diperlukan. Pada MRI, hiperdensiti terlihat didaerah
periventrikuler substansia alba, difrontal, temporal dan oksipital.
Substansia
alba parietal jarang ditemukan dini.
Pada
stadium 2 sampai 50% kasus, gambaran abnormal meningkat didaerah ganglion basal
dan talamus, nukleus lentiformis paling dikenai dan lesi biasanya bilateral.
Lesi berbentuk baji multipel yang mengenai substansia alba dan nigra. Dari
korteks sering dijumpai pada CT/MRI. Lesi ini dijumpai pada teritorial aliran
darah besar atau pada 'watershed area'. Lesi ini menampakkan infark serebral.
Pada
stadium 3 yang lebih menonjol adalah atrofi serebral. Atrofi batang otak yang
selektive dapat melibatkan pons.
Perobahan
akut pada stadium 3 biasanya berhubungan dengan kejang mendadak, atenuasi
substansia alba dan nigra lebih jelas dengan kontras 'enhancement'.
PENATALAKSANAAN
Terapi Non-Medikamentosa
Tindakan suportive :
Diberikan terapi untuk mioklonus, kejang dan
gangguan emosinya.
Terapi Medikamentosa
Pengobatan dini
diusahakan menggunakan obat antivirus, faktor transferon dan interferon.
1.
Inosiplex (Isoprinosin) dan
alfa interferon dapat bermanfaat. Regimen dosis belum ada, standardnya dapat
bervariasi tiap individu.
Inosiplex
dimulai 25 mgr/KgBB dinaikan sampai 100 mg/KgBB dalam dosis terbagi. Respons
perbaikan akan terlihat setelah 10-78 bulan.
2.
Alfa interferon diberikan
secara sistemis, intrarthekal dan intraventrikuler.
Rasional penggunaan obat ini
adalah:
a. Perobahan dari persisten sel
asosiasi virus measles menjadi infeksi litik
reproduktive secara invitro.
b.
Alfa interferon yang abnormal
rendah dan konsentrasi beta dalam CSS pada pasien SSPE.
c. Resistensi relative
interferon dari strain virus measles SSPE. Pemberian alfa inteferon menhasilkan
efektivitas yang berbeda beda dengan terjadinya remisi pada sebagian pasien.
Kombinasi Inosipleks dengan
Alfa Interferon cukup baik hasilnya.
Perbaikan klinis dicapai pada 50% kasus.
Perjalanan klnis menjadi stabil pada 22,9% kasus.
Terhambatnya progresivitas pada 13,6% kasus.
Dosis Alfa Interferon 100.000 IU/hari dan ditingkatkan setiap hari sampai 1
juta IU/hari pada hari ke-5.
Komplikasi penggunaan Alfa Interferon intratekal adalah berupa letargi,
demam, anoreksia, vomitus, hiperurikemia, hipernatremia dan trombositopenia.
3.
Spesifik :
Diberikan antikonvulsan
konvensional, seperti :
a. Klonazepam
b. Sodium Valproat.
c. Haloperidol.
d. Interferron intrathecal.
PROGNOSIS
dan KOMPLIKASI
Fatal jika tidak diobati.
Median survival mencapai 1 tahun di AS.
5 survival years mencapai 10%.
Semua pasien akan meninggal dalam waktu 10 tahun. .
95% meninggal
dalam 6 tahun sesudah onset di Timur Tengah.
Remisi dapat
terjadi pada 5% yang terjadi secara spontan dan relaps terjadi pada stadium 4
dan akhirnya meninggal.
Komplikasi
khronik adalah terjadinya pneumonia, infeksi saluran kencing, sepsis dan ulkus
dekubitus.
Berdasarkan perjalanan klinik yang didapatkan.
Punksi lumbal
(LP) -------à CSF study.
·
Tidak dijumpai pleositosis
ataupun peninggian protein.
·
Meningkatnya gamma globulin (IgG).
Pemeriksaan EEG dijumpai adanya gelombang lambat bervoltase tinggi
secara periodik yang kemudian diikuti oleh isoelektrik.
No comments:
Post a Comment