Sunday, June 21, 2015

tuberculosis



 Tuberculosis
Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, suatu organisme aerob yang tumbuh lambat dengan struktur dinding sel kompleks yang. mengandung asam mikolat. TB merupakan penyebab utama morbiditas dan diperkirakan oleh WHO menyebabkan sekitar tiga juta kematian pertahun.
Tuberculosis paru primer pada bayi yang lebih tua dan anak biasanya merupakan infeksi yang tidak bergejala. Pada penyakit primer progresif seperti yang dapat dilihat pada bayi dan anak kecil, pneumonia primer dapat terjadi segera sesudah infeksi awal. Perburukan kompleks primer pada penyakit paru atau milier tersebar, atau perburukan granuloma SSP menjadimeningitis terjadi paling sering pada usia 1 tahun. Tuberculosis paru reaktif umumnya terjadi pada remaja.

Patofisiologi
Paru merupakan port d'entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya yang sangat kecil «5 urn), kuman TB dalam percik renik(droplet nuclei)yang terhirup, dapat mencapai alveolus (Guyton, 1997). Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis nonspesifik.Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosillier bronkus, dan terus berjalan sehinga sampai dialveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di Paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam paru, saluran limfe akan membawa kuman TB ke kelenjar limfe disekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks pnmer adalah 4 & 6 mmggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negative menjadi positif.
Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan besamya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu mengehentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita Tuberkulosis. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan. Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura.
Faktor Resiko
Terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya infeksi TB maupun timbulnya penyakit TB. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi factor risiko infeksi dan faktor risiko progresi infeksi menjadi penyakit (risiko penyakit).
Resiko Infeksi TB
Faktor risiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah sebagai berikut: anak yang memiliki kontak dengan orang dewasa dengan TB aktif, daerah endemis, penggunaan obat-obatan intravena, kemiskinan, serta lingkungan yang tidak sehat (tempat penampungan atau panti perawatan).
Resiko Penyakit TB
Orang yang telah terinfeksi kuman TB, tidak selalu akan mengalami sakit TB. Berikut ini adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan progresi infeksi TB menjadi sakit TB. Faktor risiko yang pertama adalah usia <5 tahun mempunyai risiko lebih besar mengalami progresi infeksi menjadi sakit TB, mungkin karena imunitas selulemya belum berkembang sempuma (imatur). Namun, risiko sakit TB ini akan berkurang secara bertahap seiring pertambahan usia. Pada bayi <1 tahun yang terinfeksi TB, 43%-nya akan menjadi sakit TB, sedangkan pada anak usia 1-5 tahun, yang menjadi sakit hanya 24%, pada usia remaja 15%, dan pada dewasa 5-10%. Risiko tertinggi terjadinya progresivitas TB adalah pada dua tahun pertama setelah infeksi. Pada bayi, rentang waktu antara terjadinya infeksi dan timbulnya sakit TB sangat singkat dan biasanya timbul gejala yang akut.
Faktor risiko yang lain adalah konversi tes tuberkulin dalam 1-2 tahun terakhir, malnutrisi, keadaan imunokompromais (misalnya pada infeksi HIV, keganasan, transplantasi organ, pengobatan imunosupresi), diabetes melitus, gagal ginjal kronik, dan silikosis. Faktor yang tidak kalah penting pada epidemiologi TB adalah status sosioekonomi yang rendah, penghasilan yang kurang, kepadatan hunian, pengangguran, dan pendidikan yang rendah. kurangnya dana untuk pelayanan masyarakat. Di negara maju, migrasi penduduk termasuk faktor risiko, sedangkan di Indonesia hal ini belum menjadi masalah yang berarti. Seperti telah disebutkan sebelumnya, keadaan imunokompromais merupakan salah satu faktor risiko penyakit TB. Pada infeksi HIV, terjadi kerusakan sistem imun sehingga kuman TB yang dorman mengalami aktivasi. Pandemi infeksi HIV dan AIDS menyebabkan peningkatan pelaporan TB secara bermakna di beberapa negara. Diperkirakan bahwa risiko terjadinya sakit TB pada pasien HIV dengan tuberkulin positif adalah 7-10% setahun. Pada tahun 1990, 4,6% kematian akibat TB disebabkan oleh infeksi HIV dan diperkirakan akan meningkat lebih dari 14% tahun 2000. Angka kejadian tuberkulosis yang telah menurun pada awal abad ke- 20 kembali meningkat pada akhir tahun 1980. Hal tersebut terjadi bersamaan dengan meningkatnya epidemi HIV dan resistensi multi-obat(multidrug resistance),(Depkes, 2002).
Jenis OAT dan Efek Samping dan Penanganan
Tatalaksana TB merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan antara pemberian medikamentosa, penataan gizi, dan lingkungan sekitamya. Pemberian medikamentosa tidak terlepas dari penyuluhan kesehatan kepada masyarakat atau kepada orang tua penderita tentang pentingnya minum obat secara teratur dalam jangka waktu yang cukup lama, serta pengawasan terhadap jadwal pemberian obat, keyakinan bahwa obat diminum, dsb (Nastiti, 2003).
Terapi medikamentosa yang dipakai dalam first line drugs of choice adalah Isoniazid (INH), rifampicin, pirazinamid, etambutol dan streptomycin. Sementara second line drugs of choice antara lain PAS, viomisin, sikloserin, etionamid dan kapriomisin, yang digunakan jika terjadimultidrug resistance (MDR). INH dan rifampicinadalah obat pilihan utama ditambah dengan etambutol dan streptomisin. Macam-macam OAT dan efek samping: First line drugs of choice
a. Isoniazid (INH)
INH ( Isonikotinik hidrazil ) adalah obat antituberkulosis yang sangat efektif saat ini, bersifat bakterisid dan sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif yaitu kuman yang sedang berkembang dan bersifat bakteriostatik terhadap kuman yang diam, mekanisme kerja INH telibat dalam penghambatan enzim esensial unuk sintesis asam mikolat dan dinding sel mikobakterium (Katzung, 2002). Obat ini efektif pada intrasel dan ekstrasel kuman, dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal (eSS), cairan pleura, cairan acsites dan jaringan kaseosa. Dosis harian yang biasa diberikan (5-15 mg/kg/hari), maksimal 300 mg/hari, diberikan satu kali pemberian. INH yag tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk syrup 100 mg/5 ml. Konsentrasi puncak di dalam darah, sputum, dan cairan serebrospinal dapat dicapai dalam 1-2 jam dan menetap selama paling sedikit 6-8 jam.
Efek samping berat berupa hepatitis yang dapat timbul pada± 0,5% penderita. Hepatotoksisitas ditandai oleh peningkatan SGOT/SGPT hingga 5 kali normal (40 U/L) tanpa gejala klinis , peningkatan bilirubin total lebih dari 1,5 mg/dL, serta peningkatan SGOT/SGPT dengan nilai berapapun yang disertai oleh anoreksia, nausea, muntah, dan ikterus (Prihatni, 2005).
Hepatitis dengan kerusakan hati yang progresif bergantung pada usia, semakin meningkat seiring bertambahnya usia dan pada alkoholik dapat meningkatkan resiko kerusakan hepar(Katzung, 2002). Efek samping ini jarang terjadi pada pemberian dosis INH yang tidak melebihi 10mg/kgBB/hr.
Efek samping INH yang ringan dapat berupa:
1.      Tanda-tanda keracunan saraf tepi, kesemutan, dan nyeri otot atau gangguan kesadaran.
2.      Kelainan yang menyerupai defisiensi piridoksin
3.      Kelainan kulit yang bervariasi antara lain gatal-gatal
Pemberian piridoksin pada penderita yang mendapatkan terapi INH tidak mempengaruhi kerja tuberkulostatik tetapi berguna untuk mencegah neuritis, piridoksin harus diberikan sebanyak 10 mg/l00mg INH, bila terjadi efek samping pada INH maka dapat diberikan piridoksin dalam jumlah INH yang dimakan.
b. Rifampisin
Rifampisin bersifat bakteriosid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki semua jaringan, dapat membunuh kuman semi -dormand yang tidak dapat dibunuh oleh INH, Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong, dan kadar serum puncak tercapai dalam 2 jam. Bila rifampicin diberikan bersama dengan INH, maka akan bersifat sebagai bakterisidal terhadap mikobakterium dan cenderung mensterilisasi jaringan yang terinfeksi, rongga atau sputum. Rifampicin mempenetrasi sel fagositik dengan baik serta membunuh mikobakterium intraseluler (Katzung , 2002).
Rifampisin 85-90% di metabolisme di hati dan metabolit aktifnya diekskresikan melalui urine dan saluran cerna, bekerja secara sinergis dengan INH. Pada penderita dengan kelainan hepar akan ditemukan kadar rifampisin serum yang lebih tinggi. Rifampisin akan menginduksi sistem enzim sitokrom P 450 yang akan terus berlangsung hingga 7-14 hari setelah obat dihentikan. Efek hepatotoksik dipengaruhi oleh dosis yang digunakan, dan proses metabolisme obat dipengaruhi oleh faktor umur, jenis kelamin, lingkungan dalam lambung dan penyakit hepar (Prihatni, 2005).
Saat ini, Rifampisin diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari, dengan dosis satu kali pemberian perhari. Jika diberikan dosis Rifampisin tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari maka efek sampingjarang terjadi. Seperti halnya INH, Rifampisin didistribusikan secara luas ke jaringan dan cairan tubuh, termasuk CSS.
Rifampisin dapat diberikan sesuai dosis yang dianjurkan, jarang menimbukan efek samping, terutama pada pemakaian terus-menerus setiap hari. Salah satu efek samping berat dari rifampisin adalah hepatitis, walaupun ini sangat jarang terjadi. Apabila terjadi ikterik ataupun hepatitis maka hentikan pengobatan dan lanjutkan apabila gejala tersebut hilang atau sembuh, Hepatotoksisitas ditandai oleh peningkatan SGOTISGPT hingga 5 kali normal (40 U/L) tanpa gejala klinis , peningkatan bilirubin totallebih dari 1,5 mg/dL, serta peningkatan SGOT/SGPT dengan nilai berapapun yang disertai oleh anoreksia, nausea, muntah, dan ikterus (Prihatni, 2005).
1. Efek samping rifampisin yang berat tetapi jarang terjadi adalah :
§  Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak nafas, kadang disertai kolaps atau syok sehingga perlu penanganan darurat.
§  Purpura, anemia hemolitik akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala ini terjadi maka hentikan pengobatan dengan rifampisin meskipun gejalanya sudah hilang.
2. Efek samping rifampisin yang ring an adalah :
§  Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
§  Sindrom flu berupa demam, menggigil, nyeri tulang
§  Sindrom perut berupa nyeri perut, mual, muntah kadang-kadang diare
Efek samping ringan sering terjadi pada pemberian berkala dan dapat sembuh sendiri atau hanya memerlukan pengobatan simtomatik. Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata, air liur. Warna merah terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya.
c. Etambutol
Etambutol (EMB) jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada mata. Dosis EMB 15-20 mg/kg/hari, maksimal1,25 gramlhari, dengan dosis tunggal. Resistensi akan timbul bila obat diberikan secara tunggalsehingga selalu diberikan bersama dengan obat antituberkulosis yang lain. Kadar serum puncak 5 ug dalam waktu 2-4 jam. Eksresi terutama melalui ginjal dan saluran cerna. Interaksi obat dengan EMB tidak dikenal. EMB tersedia dalam tablet 250 mg dan 500 mg. Memiliki aktivitas bakteriostatik, dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain. EMB dapat bersifat bakteriosid, jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermit en (Katzung, 2002).
EMB tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian Juga pada keadaan meningitis. EMB ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu atau dua kali sehari. Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya penglihatan, buta wama untuk wama merah dan hijau, keracunan tersebut tergantung pada dosis yang dipakai. Efek samping jarang terjadi bila dosisnya 15mg/Kg BB/hr yang diberikan tiga (3) kali seminggu.
Setiap penderita yang menerima etambutol harus diingatkan bahwa bila terjadi gejala-gejala gangguan penglihatan supaya segera dilakukan pemeriksaan mata. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. Karena resiko keruskan okuler pada anak-anak sulit dideteksi maka etambutol sebaiknya tidak diberikan pada anak sehingga pemeriksaan mata selama pengobatan sebaiknya dilakukan.
d. Pirazinamid
Pirazinamid adalah derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan dan cairan tubuh termasuk SSP, cairan serebrospinal, bakterisid hanya pada intrasel pada suasana asam, diresorbsi baik pada saluran pencemaan. Pemberian PZA secara oral dengan dosis 15-30 mg/kg/hari dengan dosis maksimal 2 gram/hari. Kadar serum puncak 45 ug/ml dalam waktu 2 jam(Katzung, 2002). Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500 mg. Penggunaan PZA aman pada anak. PZA diberikan pada fase intensif karena PZA sangat baik diberikan pada saat suasana asam yang timbul akibat jumlah kuman masih sangat banyak.
Efek samping utama dari penggunaan pirazinamid adalah hepatitis. Hepatotoksisitas ditandai oleh peningkatan SGOTISGPT hingga 5 kali normal(40 U/L) tanpa gejala klinis , peningkatan bilirubin totallebih dari1,5 mg/dL, serta peningkatan SGOTISGPT dengan nilai berapapun yang disertai oleh anoreksia, nausea, muntah, dan ikterus (Prihatni,2005). Juga dapat terjadi nyeri sendi dan kadang-kadang dapat menimbulkan serangan arthritis gout yang kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi danpenimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi hipersensitas misalnya demam, mual, kemerahan, dan reaksi kulit yang lain.
e. Streptomisin
Streptomisin bersifat bakteriosid dan bakteriostatik kuman ekstraseluler pada keadaan basal atau netral, jadi tidak efektif membunuh kuman intraseluler (Katzung,2002). Saat ini, streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan TB, tetapi penggunaanya penting dalam pengobatan TB yang resisten-obat. Streptomisin dapat diberikan secara intramuscular dengan dosis15-40 mg/kgBB/hari, maksimal1 gram/hari, kadar puncak40--50 ug/ml dalam waktu 1-2jam. Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat melewati selaput otak yang tidak meradang. Sterptomisin berdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan pleura, dieksresi melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap INH atau jika anak menderita tuberkulosis berat.
Efek samping utama dari streptomisin adalah kerusakan saraf kedelapan yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Resiko efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur penderita. Kerusakan alat keseimbangan biasanya terjadi pada 2 bulan pertama dengan tanda-tanda telinga mendenging (tinitus), pusing, dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli). Resiko ini terutama terutama akan meningkat pada penderita dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Reaksi hipersensitas kadang-kadang berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai dengan sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit.
Efek samping sementara dan ringan misalnya reaksi setempat pada bekas setempat pada bekas suntikan, rasa kesemutan pada sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu (jarang terjadi) maka dosis dapat dikurangi.
Second line drugs of choice
Obat-obat dibawah ini biasanya dipertimbangkan pada keadaan : resistensi terhadap obat pilihan utama, pada kasus dengan respon klinik yang gaga 1terhadap terapi konvensional, bila ada ahli yang tersedia untuk menangani efek toksik. Obat-obat jenis ini belum diketahui secara pasti resistensi dan toksisitas jangka panjangnya.
a. Kapreomisin
Merupakan suatu antibiotika peptida yang diperoleh dari Streptomices capreolus. Kapreomisin diberikan 20 mg/kgBB/Hr, toksisitas serius yaitu pada ginjal, menimbulkan adanya retensi nitrogen, dan pada saraf VIII, menimbulkan gangguan pendengaran dan keseimbangan. Toksisitas obat akan berkurang bila 1 gr obat ini diberikan 2 atau 3 kali/minggu dan jadwal tersebut sering digunakan.
b. Sikloserin
Dosis pemberian sikloserin pada tuberculosis 0,5 -1 gr/hari.Reaksi toksik yang paling serius yaitu berbagai gangguan fungsi susunan saraf pusat dan reaksi psikotik. Berbagai gangguan tersebut dapat diatasi dengan pemberian fenitoin 100 mg/ hr per oral.
c. Etionamid
Merupakan suatu zat kristalin kuning yang stabil dan hampir tidak larut dalam air. Obat ini secara kimiawi mirip dengan isoniazid danjuga menghambat sintesis asam mikolat. Dosis pemberian lgr/hr, dosis tersebut efekif pada pengobatan klinik dalam menangani tuberculosis tetapi toleransinya buruk karena menimbulkan iritasi lambung dan gejala neurologik.


d. Asam Aminosalisilat (PAS)
Dahulu asam amino salisilat diberikan bersamaan dengan isoniazid atau streptomisin atau keduanya dalam pengobatan tuberculosis jangka panjang Sekarang jarang digunakan karena obat-obat oral lainnya ditoleransi lebih baik.
Dosis oral 8-12gr/hr untuk dewasa dan 300 mg/kg/hr untuk anak-anak. Gejala saluran cerna sering berkaitan dengan dosis penuh pemberian obat ini.
e. Viomisin
Antibiotik ini dihasilkan oleh orgamsme streptomyces tertentu, dosis pemberian suntikan intramuscular sebanyak 2 gr, 2 x perminggu. Efek toksik yang paling serius adalah rusaknya ginjal dan gangguan sarafVIII berupa hilangnya keseimbangan dan pendengaran, efek toksik lebih serius dari streptomisin.
f. Rifabutin
Obat ini mempunyai efektivitas yang bermakna terhadap M. avrum- intracellulare dan M. Fortuitum, dengan dosis obat 0,15-0,5 g/hari per oral, namun peranannya dalam terapi dan toksisitasnya belum diketahui.

No comments:

Post a Comment