Sunday, June 21, 2015

pengembangan obat cetirizin



ANTIHISTAMIN (CETIRIZINE)

Pendahuluan
Antihistamin H1 merupakan salah satu obat paling sering digunakan dan paling luas digunakan di dunia pengobatan, khususnya bidang alergi. Kondisi ini mengakibatkan perkembangan tehnologi kefarmasian  terutama di bidang farmakologi molecular untuk obat ini demikian pesat. Demikian pula dalam kasus gangguan alergi, antihistamin adalah obat yang paling sering digunakan. Berbagai penyakit alergi yang sering  menggunakan obat antihistamin adalah dermatitis atopi, rinitis alergi, asma, urtikaria dan sebagainya.
Sejak Bovet dan Staub (1937) menemukan ikatan amine berisi ether phenolic yang bersifat antagonis terhadap efek histamin pada reseptor H1, maka bahan tersebut kemudian dikembangkan menjadi bahan obat antihistamin tahun 1940. Antihistamin yang aman dan efektif untuk pengobatan pertama kali dilaporkan oleh Bovet dan Walthert (1944) yang menggunakan mepyramine (phenothiazine) dan  Leary menggunakan diphenhydramine untuk pengobatan urtikaria kronik.Fakta menunjukkan antihistamin ini tidak seluruhnya bisa menghambat efek histamin di mukosa lambung, ha1 ini menunjukkan adanya reseptor histamin lain yang kemudian dikenal sebagai reseptor H2. Disusul dengan didapatkannya reseptor H3 pada jaringan sistem syaraf pusat, syaraf perifer dan bronkus serta reseptor Hic yang bekerja sebagai messenger intraseluler berperan dalam pertumbuhan sel yang penerapannya di bidang dermatologi belum diketahui. Semua antihistamin bekerja sebagai kompetitif inhibitor terhadap histamin pada reseptor di jaringan dan beberapa diantaranya ada yang mempunyai khasiat tambahan lain. Dalam perkembangannya dilakukan substitusi pada cincin imidazole sehingga muncul antihistamin generasi II yang tidak menembus sawar darah otak untuk mengurangi efek sedasi yang sering mengganggu.
Perkembangan Antihistamin
Perubahan dalam penggolongan antihistamin H1  yang dulu dikenal sebagai antagonis reseptor histamin H1 saat ini digolongkan sebagai inverse agonist ketimbang antagonis reseptor histamin H1. Disebut obat inverse agonist bila terikat dengan sisi reseptor yang sama dengan agonis, namun memberikan efek berlawanan. Jadi, obat ini memiliki aktivitas intrinsik (efikasi negatif) tanpa bertindak sebagai suatu ligan. Sedangkan suatu antagonis bekerja dengan bertindak sebagai ligan yang mengikat reseptor atau menghentikan kaskade pada sisi yang ditempati agonis. Beda dengan inverse agonist, suatu antagonis sama sekali tidak berefek atau tidak mempunyai aktivitas intrinsik.
Penemuan antihistamin H1 yang lebih spesifik tersebut, bisa menjadi pertimbangan untuk pemberian obat secara tepat. Demikian juga dengan perkembangan identifikasi serta pengelompokkan antihistamin. Sebelumnya antihistamin dikelompokkan menjadi 6 grup berdasarkan struktur kimia, yakni etanolamin, etilendiamin, alkilamin, piperazin, piperidin, dan fenotiazin. Penemuan antihistamin baru yang ternyata kurang bersifat sedatif, akhirnya menggeser popularitas penggolongan ini. Antihistamin kemudian lebih dikenal dengan penggolongan baru atas dasar efek sedatif yang ditimbulkan, yakni generasi pertama, kedua, dan ketiga.
Sebagai inverse agonist, antihistamin H1 beraksi dengan bergabung bersama dan menstabilkan reseptor H1 yang belum aktif, sehingga berada pada status yang tidak aktif. Penghambatan reseptor histamine H1 ini bisa mengurangi permiabilitas vaskular, pengurangan pruritus, dan relaksasi otot polos saluran cerna serta napas. Tak ayal secara klinis, antihistamin H1 generasi pertama ditemukan sangat efektif berbagai gejala rhinitis alergi reaksi fase awal, seperti rhinorrhea, pruritus, dan sneezing. Tapi, obat ini kurang efektif untuk mengontrol nasal congestion yang terkait dengan reaksi fase akhir.
Sementara itu antihistamin generasi kedua dan ketiga memiliki profil farmakologi yang lebih baik. Keduanya lebih selektif pada reseptor perifer dan juga bisa  menurunkan lipofilisitas, sehingga efek samping pada SSP lebih minimal. Di samping itu, obat ini juga memiliki kemampuan antilergi tambahan, yakni sebagai antagonis histamin. Antihistamin generasi baru ini mempengaruhi pelepasan mediator dari sel mast dengan menghambat influks ion kalsium melintasi sel mast/membaran basofil plasma, atau menghambat pelepasan ion kalsium intraseluler dalam sel. Obat ini menghambat reaksi alergi dengan bekerja pada leukotriene dan prostaglandin, atau dengan menghasilkan efek anti-platelet activating factor.
Selain berefek sebagai anti alergi, antihistamin H1 diduga juga memiliki efek anti inflamasi. Hal ini terlihat dari studi in vitro desloratadine, suatu antihistamin H1 generasi ketiga. Studi menunjukkan, desloratadine memiliki efek langsung pada mediator inflamatori, seperti menghambat pelepasan intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) oleh sel epitel nasal, sehingga memperlihatkan aktivitas anti-inflamatori dan imunomodulatori. Kemampuan tambahan inilah yang mungkin menjelaskan kenapa desloratadine secara signifikan bisa memperbaiki nasal congestion pada beberapa double-blind, placebo-controlled studies. Efek ini tak ditemukan pada generasi sebelumnya, generasi pertama dan kedua. Sehingga perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk menguak misteri dari efek tambahan ini.
Generasi pertama dan kedua berbeda dalam dua hal yang signifikan. Generasi pertama lebih menyebabkan sedasi dan menimbulkan efek antikolinergik yang lebih nyata. Hal ini dikarenakan generasi pertama kurang selektif dan mampu berpenetrasi pada sistem saraf pusat (SSP) lebih besar dibanding generasi kedua. Sementara itu, generasi kedua lebih banyak dan lebih kuat terikat dengan protein plasma, sehingga mengurangi kemampuannya melintasi otak.
Sedangkan generasi ketiga merupakan derivat dari generasi kedua, berupa  metabolit (desloratadine dan fexofenadine)  dan enansiomer (levocetirizine). Pencarian generasi ketiga ini dimaksudkan untuk memperoleh profil antihistamin yang lebih baik dengan efikasi tinggi serta efek samping lebih minimal. Faktanya, fexofenadine memang memiliki risiko aritmia jantung yang lebih rendah dibandingkan obat induknya, terfenadine. Demikian juga dengan levocetirizine atau desloratadine, tampak juga lebih baik dibandingkan dengan cetrizine atau loratadine.
Pada garis besarnya antihistamin dibagi dalam 2 golongan besar, yang menghambat reseptor H1 dan yang menghambat reseptor H2. Yang lazim disebut antihistamin adalah antagonis reseptor histamin H1 (AH1). Semua kelas antihistamin H1 struktur kimianya menyerupai histamin. Antihistamin H1 dikelompokkan dalam AH1 tradisional atau konvensional (generasi I), dan AH1 non-sedatif (generasi I). Mereka dibagi dalam beberapa subkelas.

  • Alkilamin : Klorfeniramin, deksklorfeniramin, dimetinden, feniramin.
  • Piperazin : Setirizin, homoklorsiklizin, hidroksizin, oksatomid.
  • Etanolamin: difenhidramin, doksilamin.  Karbinoksamin,
  • Etilendiamin : tripelanamin, pirilamin. Antazolin,
  • Piperidin Siproheptadin.
  • Fenotiasin Prometasin.
  • Lain-Lain : loratadin, mebhidrolin, terfenadin, ketotifen. Akrivastin, astemizol, azatadin, klemastin, levokobastin
  • Golongan antihistamin generasi baru adalah setirizin, akrivastin, astemizol, levokobastin, loratadin, dan terfenadin.



                                                 CETIRIZINE         

Antihistamin yang saat ini menjadi perhatian para klinisi dan lebih mulai dipertimbangkan dalam penggnaan klinis adalah Cetirizine yang merupakan antihistamin yang sangat kuat dan spesifik. Cetirizine merupakan antagonis reseptor histamin-1(H1) generasi kedua yang aman digunakan pada terapi alergi. Selain mempunyai efek antihistamin, cetirizine juga mempunyai efek antiinflamasi. Efek antiinflamasi cetirizine terutama ditunjukkan melalui penghambatan kemotaksis sel inflamasi. Efek antiinflamasi cetirizine juga tercapai melalui penghambatan ekspresi molekul adhesi yang berperan dalam proses penarikan sel inflamasi.
Cetirizine merupakan metabolit aktif asam karboksilat dari antagonis reseptor H1 generasi pertama yaitu hidroksizin. Efek samping yang dapat muncul yaitu somnolen yang bersifat dose-dependent, sakit kepala dan masalah saluran cerna. Efek sistem saraf pusat (SSP) dari antihistamin generasi memperpanjang interval QTc dibandingkan plasebo. Reseptor H1 tersebar luas di berbagai sel, seperti sel otot polos, sel endotel, sel mast, basofil dan eosinofil. Semua reseptor tersebut mudah dicapai dari sirkulasi darah. Oleh karena itu, antagonis reseptor H1 tidak memerlukan distribusi jaringan yang luas untuk aksi kerjanya. Pada sel mast dan basofil, hasil akhirnya adalah pelepasan mediator. Target antagonis H1 adalah reseptor eksternal, sehingga efek farmakologik dicapai tanpa penetrasi sel dan tidak memerlukan penembusan kedua jarang terjadi, dibandingkan dengan generasi pertama dan tidak berinteraksi dengan agen aktif lain di SSP seperti diazepam. Cetirizine juga tidak mempunyai efek samping terhadap hepar dan jantung.
Metabolit cetirizine tidak diolah di hepar dan diekskresi ke urin dan feses dalam bentuk yang tidak berubah. Penggunaan cetirizine selama 7 hari tidak membran sel atau sitosol. Sebagian besar antagonis H1 tidak dapat melewati sawar darah otak, namun beberapa obat dengan liposolubilitas yang tinggi dapat melewati sawar tersebut. Dengan adanya volume distribusi yang rendah dari antagonis H1, maka penembusan sawar darah otak dapat diminimalisasi. Selain mempunyai efek antagonis terhadap reseptor H1, cetirizine juga mempunyai efek antiinflamasi.
 Efek antiinflamasi cetirizine terutama ditunjukkan melalui penghambatan migrasi eosinofil (in vivo) ke lokasi kulit yang terstimulasi oleh alergen dan secara in vitro menghambat kemotaksis eosinofil dan adhesi ke sel endotel kultur serta aktivasi platelet, juga mempengaruhi platelet dan neutrofil.
Efek antiinflamasi cetirizine juga tercapai melalui penghambatan ekspresi ICAM-1 in vivo di nasal dan epitel konjungtiva selama inflamasi alergi dan penarikan eosinofil di kulit, hidung, mata dan paru. Efek tersebut bukan disebabkan oleh kemampuan cetirizine menghambat efek histamin, karena histamin tidak menyebabkan ekspresi ICAM-1. Oleh karena itu, dalam hal ini efek cetirizine bukan merupakan efek antihistamin klasik, namun lebih menunjukkan efek antiinflamasi.
Pada suatu penelitian, didapatkan potensi loratadin dalam menghambat reaksi “wheal and flare” dan lama kerja merupakan dose-dependent. Namun, bila dibandingkan dengan cetirizine, loratadin membutuhkan dosis yang lebih besar dibandingkan cetirizine untuk memberikan efek yang sama, sehingga cetirizine mempunyai potensi sampai 6 kali lebih kuat dibandingkan loratadin. Hal ini juga berlaku apabila cetirizine dibandingkan dengan antihistamin generasi kedua lainnya. Perbedaan ini disebabkan oleh proses metabolisme. Komponen cetirizine tidak dimetabolisme di hati, sehingga efek terapetiknya tidak tergantung pada biotransformasi. Obat lain seperti terfenadine, secara cepat dimetabolisme di hati, dan hasil metabolit tersebut yang memberikan efek H1. Oleh karena itu, kemampuan metabolisme obat-obat tersebut sangat bervariasi di antara setiap orang.
Kemampuan cetirizine, agen antihistamin baru, untuk menghambat aktivasi eosinofil vivo manusia, neutrofil dan monosit telah diteliti menggunakan C3b-dan IgG-tergantung pembentukan roset, sitotoksisitas terhadap larva parasit opsonised dan kepatuhan dengan plasma-dilapisi kaca (PCG ). Obat menghambat platelet-activating factor (PAF)-diinduksi peningkatan eosinofil dan neutrofil IgG (Fc) dan komplemen (C3b) mawar dengan IC50 2 × 10 - 5M. Ada juga penghambatan sebanding PAF-bergantung peningkatan sitotoksisitas eosinofil (untuk melengkapi dilapisi schistosomula dari Schistosoma mansoni). Cetirizine menghambat PAF-induced eosinofil, tapi tidak neutrofil, hyperadherence untuk PCG. Data ini mendukung pandangan bahwa cetirizine dapat mengerahkan beberapa anti-alergi yang efek dengan menghambat aktivasi granulosit manusia dan bahwa hal itu juga bisa selektif menghambat PAF-diinduksi hyperadherence eosinofil
Telah  dipelajari efek dari dihidroklorida, antihistamin cetirizine nonsedating, di dalam kemotaksis leukosit in vitro dari darah perifer manusia. Kami mengamati bahwa 0,25 pg / ml cetirizine dihidroklorida in vitro menghambat kemotaksis signifikan monosit terhadap N-formil-methionyl-leucyl-fenilalanin dan leukotriene B4. Konsentrasi yang lebih tinggi cetirizine, 1,0 dan 2,5 pg / ml, benar-benar menghambat kemotaksis monosit tanpa mempengaruhi kelangsungan hidup sel. T-limfosit migrasi juga secara signifikan depresi tetapi tidak dihapuskan. Pyrilamine (mepyramine) tidak inhibisi dalam konsentrasi molar yang sama. Menurut pengamatan in vitro, kami diperpanjang studi kami untuk mengukur kemotaksis monosit dan T-limfosit dalam sebuah studi terbuka, di mana empat sukarelawan sehat dan enam pasien dengan dermatitis atopik mengambil 10 dan 20 mg / hari cetirizine 3 hari. Kami mengamati penurunan kemotaksis monosit ex vivo dan T-limfosit terhadap N-formil-methionyl-leucyl-fenilalanin dan leukotriene B4 tanpa pengurangan jumlah sel darah. Hasilnya dikonfirmasi dalam sebuah studi double-blind berikutnya, placebo-dikontrol dari 16 subyek sehat dan 14 pasien dewasa dengan dermatitis atopik, mana ex vivo kemotaksis monosit dikurangi atau dihapuskan selama terapi cetirizine. Tingkat serum dua eosinofil yang diturunkan protein granul, eosinophilcationic protein P dan eosinofil protein X, tidak berubah selama periode 7 hari pengobatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cetirizine dihidroklorida memiliki efek penghambatan pada monosit dan limfosit T in vitro dan ex vivo. Temuan kami mendukung pengamatan klinis yang cetirizine dihidroklorida memiliki efek antiinflamasi selain H1-menghalangi
pada penelitian yang lain juga telah Menggunakan eosinofil manusia diisolasi dari pasien dengan rhinitis alergi, sel-sel dikultur in vitro selama 48 sampai 72 jam dengan media, cetirizine, atau deksametason di hadapan IL-5, IL-3, atau GM-CSF. Eosinofil bertahan hidup dinilai dengan eksklusi biru tripanMeskipun konsentrasi vitro cetirizine diminta cukup tinggi, cetirizine dapat mempengaruhi peradangan saluran napas dalam vivo melalui penghambatan IL-5 tergantung pada kelangsungan hidup eosinofil.

Terbaru dalam penelitian in vitro menunjukkan bahwa P-glikoprotein (PGP) dan permeabilitas membran pasif dapat mempengaruhi konsentrasi otak non-penenang (generasi kedua) antihistamin. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan pentingnya PGP-dimediasi penghabisan di dalam distribusi otak in vivo dari antihistamin cetirizine non-penenang (Zyrtec ®), dan penenang struktural terkait (generasi pertama) antihistamin hidroksizin (Atarax ®). In vitro MDR1-MDCKII penghabisan tes monolayer menunjukkan bahwa cetirizine adalah substrat PGP (B A / A B + GF120918 rasio = 5,47) dengan rendah / sedang permeabilitas pasif (Papp B A = 56,5 nm / s). Dalam vivo, cetirizine otak-ke-rasio konsentrasi plasma bebas (0,367-4,30) adalah 2,3-menjadi 8,7 kali lipat lebih tinggi pada PGP-kekurangan tikus dibandingkan dengan tikus wild type. Sebaliknya, hidroksizin bukan substrat PGP in vitro (B A / A B rasio = 0,86), memiliki permeabilitas pasif tinggi (Papp B A + = 296 nm GF120918 / s), dan memiliki otak-ke-bebas plasma rasio konsentrasi> 73 di kedua tikus PGP-kekurangan dan wild type. Studi ini menunjukkan bahwa PGP-dimediasi penghabisan dan permeabilitas pasif berkontribusi pada konsentrasi rendah dalam otak tikus cetirizine dan bahwa sifat rekening ini untuk perbedaan dalam profil efek samping sedasi dari cetirizine dan hidroksizin.

No comments:

Post a Comment