Wednesday, June 10, 2015

PROSTAT JINAK



Prostat Jinak

Benign prostatic hyperplasia ( BPH ) adalah penyakit yang paling sering ditemukan pada pria diatas 50 tahun. BPH sebenarnya merupakan istilah patologis yaitu terdapatnya hiperplasia  sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjer prostat. Hiperplasia prostat jinak ini dapat dialami sekitar 70% pria diatas umur 60 tahun. Angka ini akan meningkat jadi 90% pada pria berusia diatas 80 tahun. Prevalensi BPH yang bergejala pada pria berusia 40-49 tahun mencapai 15%. Angka ini meningkat dengan bertambahnya usia, sehingga pada usia 50-59 tahun prevalennya mencapai hampir 25% dan pada usia 60 tahun mencapai angka sekitar 43%.
          Keluhan yang disampaikan oleh pasien BPH bisa berupa LUTS ( lower urinary tract symptom ) yang terdiri dari gejala obstruksi maupun iritasi yang meliputi : frekwensi miksi meningkat, urgensi, nokturia, pancaran miksi melemah dan sering terputus putus  ( intermitensi)  hingga  merasa tidak puas setelah miksi .

§  Kriteria Diagnosis
Diagnosa BPH dapat ditegakkan berdasarkan anamnesa,pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Anamnesa yang cermat mengenai gejala LUTS yang timbul, penyakit penyerta lainnya seperti Daiabetes melitus, riwayat trauma, fungsi seksual dan obat-obatan yang sedang dimakan perlu ditanyakan. Salah satu pemandu yang tepat untuk gejala obstruksi adalah International Prostate Symptom Score (IPSS) yang telah terstandarisasi. Ada 7 pertanyaan yang masing-masing memiliki  nilai 0 hingga 5 dengan skor total maksimum 35. Keadaan pasien BPH dapat ditentukan berdasarkan jumlah skor yang diperoleh :
-          Skor 0 – 7    : gejala ringan
-          Skor 8 – 19  : gejala sedang.
-          Skor 20 – 35: gejala berat.
Selain 7 pertanyaan diatas didalam daftar pertantanyaan IPSS terdapat satu pertanyaan tunggal mengenai kualitas hidup (Quality of life atau QoL) yang juga terdiri dari 7 kemungkinan jawaban.IPSS diisi oleh pasien. Dapat juga digunakan skala Madsen Iversen yang menunjukan adanya gejala obstruktif maupun iritatif. Skala ini diisi oleh dokter jadi mungkin lebih mudah.
Pemeriksaan fisik dengan colok dubur merupakan pemeriksaan yang penting pada penderita BPH disamping pemeriksaan fisik pada regio supra pubis untuk mencari kemungkinan distensi buli. Dengan colok dubur dapat diperkirakan ukuran prostat, bila  tak teraba pool atas prostat diperkirakan volume  prostat lebih dari 60 cc. Bila teraba prostat yang bernodul dan perabaan keras maka dicurigai kemungkinan keganasan maka indikasi untuk dilakukan biopsi prostat transrektal. 
Perlu dilakukan urinalisa untuk pasien BPH,adanya leukosituria dan hematuria dapat akibat infeksi saluran kemih. Bila didapatkan hematuria harus dilanjutkan dengan pemeriksaan IVP bila fungsi ginjal baik.
Pemeriksaan faal ginjal perlu untuk pasien BPH karena gejala obstruksi yang ditimbulkannya. Dikatakan bahwa gagal ginjal akibat BPH terjadi sebanyak 0,3-30% dengan rata-rata 13,6%.

§  Diagnosis Banding
Keluhan LUTS selain disebabkan oleh pembesaran prostat jinak dapat pula ditemukan pada striktur urethra, kontraktur leher vesika, batu buli-buli kecil, karsinoma prostat atau kelemahan otot detrusor misalnya pasien asma yang menggunakan obat para simpatolitik. Bila gejala iritatif yang menyolok sering ditemukan pada instabilitas detrusor, karsinoma insitu vesika, infeksi saluiran kemih, prostatitis,dan batu ureter distal.

§  Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan tambahan yang perlu dilakukan pada pasien dengan gejala LUTS adalah uroflometri dengan terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan Trans Abdominal Ultrasonography (TAUS) kemudian dilanjutkan dengan Trans Urethra Ultrasonography (TRUS) prostat. Bila pada pemeriksaan TAUS didapatkan adanya batu pada buli-buli dilanjutkan dengan pemeriksaan BNO-IVP. Setelah uroflometri selesai dihitung residual urinnya.Pasien retensi tidak perlu dilakukan uroflometri begitu juga pasien yang didapatkan batu buli-buli dari pemeriksaan TAUS.
Prostate Specific Antigen ( PSA ) diperiksa pada pasien yang dicurigai ganas pada prostat dari pemeriksaan colok dubur maupun anamnesa seperti adanya nyeri pada tulang.

§  Tatalaksana
Terapi pasien BPH adalah mengembalikan kualitas hidup pasien, terapi ditawarkan tergantung dari keluhan pasien. Pilihannya mulai dari pemberian petunjuk dan observasi akan penyakitnya (watchful waiting),medika mentosa daaan terapi interfansi yang terdiri atas pembedahan yang invasif atau minimal invasif.
Watchfull waiting berarti pasien tidak diberikan terapi tetapi keadaannya tetap diawasi dokter dengan beberapa penjelasan tentang segala sesuatu yang akan memperburuk keadaan.. Terapi ini diberikan pada pasien yang IPSS ≤ 7 yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu.Secara periodik setiap 6 bulan dikontrol tentang keluhannya sebeeelumnya. Jika keluhan miksi tambah jelek perlu intervensi lanjutan.
Bila IPSS >7  perlu mendapatkan terapi medika mentosa atau terapi lainnya.
Obat medika mentosa yang diberikan adalah :
  1. Antagonis adrenergik reseptor α yang dapat berupa :
a.       Non selektif fenoksi benzamin.
b.      Selektif masa kerja pendek : prazosin,afluzosin dan indoramin.
c.       Selektif masa kerja panjang : doksazosin,afluzosin dan tamsulosin.
  1. Inhibitor 5 α reduktase: finastride dan epristide.
  2. Fitofarmaka.
Terapi intervensi dibagi dalam 2 kategori,yakni teknik ablasi jaringan prostat atau pembedahan dan tehnik instrumentasi  alternatif. Termasuk ablasi jaringan prostat adalah pembedahan terbuka, Transurethral resection of the prostate (TURP), Transurethral incision of the prostate (TUIP), laser prostatectomi. Tehnik instrumentasi alternatif adalah Transurethral microwave thermotherapy (TUMT),Transurethral needle ablation (TUNA),High  intensity focused ultrasound  (HIFU), dilatasi balon dan stent urethra.
Indikasi absolut untuk melakukan intervensi pembedahan adalah :
1.      Retensi urine berulang
2.      Gross hematuria berulang karena BPH.
3.      Gagal ginjal karena BPH
4.      Batu buli-buli karena BPH.
5.      Infeksi saluran kemih berulang karena BPH
6.      Divertikel buli yang besar.
Indikasi relatif untuk terapi pembedahan adalah :
1.      Skor Madsen > 20.
2.      Residual urine > 100 cc.
3.      Q max < 10 ml/dtk.
4.      Dengan terapi lain tak ada perbaikan.
Saat ini TURP merupakan 90% dari semua tindakan bedah prostat pada pasien BPH dan masih merupakan cara yang paling sering dilakukan urolog untuk desobstruksi prostat dapat  memperbaiki keadaan hingga 90%. Prostatektomi terbuka baru dilakukan pada pasien BPH yang volume prostat lebih dari 90 ml.

§  Konsultasi
Pengobatan yang dapat diberikan oleh dokter umum adalah apabila keluhan ringan, yaitu Madsen Iversen ≤ 9 atau IPSS ≤ 7,dan sisa kencing kurang darin100 cc. Pengobatan sementara yang dapat diberikan oleh dokter umum adalah  Watchfull waiting dan pengobatan dengan alfa 1 blocker, 5 alfa reduktase inhibitor atau phitoterapi. Apabila dengan pengobatan tersebut diatas tidak terjadi perbaikan skor simptom, sisa kencing makin banyak atau keluhan makin berat dan bila ada indikasi untuk intervensi bedah maka oleh dokter umum harus dikonsultasikan ke dokter urologi.

§  Penyulit
Adapun komplikasi dini yang terjadi saat operasi, terbanyak perdarahan 18-23%. Timbulnya penyulit biasanya pada reseksi prostat > 45gram, usia > 80 th, ASA II-IV dan lama reseksi > 90 menit. Sindroma TUR terjadi < 1%. Penyulit yang timbul dikemudian hari adalah stres inkontinensia < 1%, urge inkontinensia 1,5%,  striktura uretra 0,5-6,3%, kontraktur leher buli 0,9-3,2%, impotensi 4-40%, ejakulasi retrograde 50-90%. Kematian akibat TURP pada 30 hari pertama untuk kelompok usia 65-69 th adalah 0,4% dan untuk kelompok umur 80-84 th adalah 1,9%.

§  Informed Consent
·         Informed consent harus dijelaskan kepada pasien dan keluarganya mengenai tindakan yang akan dilakukan dan kemungkinan komplikasi yang akan terjadi. 

§  Patologi Anatomi
·         Hiperplasia sel-sel stroma  dan epitel kelenjer prostat

No comments:

Post a Comment