1.
TINJAUAN
KASUS
Keluhan Utama:
Seorang pasien wanita 33 tahun masuk
KB IGD pada tanggal 24/12/12 pukul 20.00 WIB dengan keluhan utama nyeri
pinggang menjalar ke ari-ari sejak 4
jam yang lalu.
|
||||||||
Riwayat Penyakit Sekarang:
·
Nyeri pinggang menjalar ke
ari-ari sejak 4 jam yang lalu.
·
Keluar lendir campur darah dari
kemaluan sejak 4 jam yang lalu.
·
Keluar air yang banyak dari
kemaluan (-)
·
Keluar darah yang banyak dari
kemaluan (-)
·
Tidak haid sekitar 9 bulan yang
lalu.
·
HPHT: 30/3/12, TP: 7/1/2013
·
Gerak anak dirasa sejak 4 bulan
yang lalu.
·
Pasien menderita HIV (+) sejak 9
bulan yang lalu. Berobat teratur ke klinik dengan hasil viraload terakhir dan
CD4 = 425
|
||||||||
Riwayat Penyakit Dahulu:
Tidak pernah menderita penyakit
keturunan, hipertensi, jantung, hati, dan ginjal.
|
||||||||
Riwayat Penyakit Keluarga:
Tidak ada menderita penyakit keturunan
dan menular.
|
||||||||
Riwayat Pekerjaan, social, ekonomi,
kejiwaan dan kebiasaan:
Riwayat perkawinan :
·
1 x tahun 2000 (Suami sudah
dikenal Infeksi Oportunistik)
·
2 x tahun 2011 (suami dikenal IO
dan berobat terakhir)
Riwayat Kehamilan :
·
2001, perempuan, cukup bulan,
spontan, di bidan, meninggal di usia 4 tahun karena sakit.
·
2003, laki-laki, cukup bulan,
2500 gram, di RSS, hidup.
|
||||||||
Pemeriksaan Umum:
Laboratorium Rutin:
·
Hb: 10,2 g/dl
·
Leukosit : 20.200 / mm3
·
Trombosit : 259.000 /mm3
·
CD4 : 425
|
||||||||
Ringkasan:
G3P2A0H1 aterm 39-40 minggu + bekas SC
dengan Infeksi Oportunistik HIV+
Janin hidup tunggal intra uteri
|
Pemeriksaan Labor: Hematologi (25/12/12)
No.
|
Parameter
|
Hasil
|
Sat
|
Remarks
|
Rujukan Nilai
|
1
|
Hemoglobin
|
10,6
|
g/l
|
Rendah
|
12,00 – 14,20
|
2
|
Hematokrit
|
33
|
%
|
Rendah
|
37,00 – 43,00
|
3
|
Leukosit
|
23,2
|
103/mm3
|
Tinggi
|
5,00 – 10,00
|
4
|
Eritosit
|
3,4
|
106/ mm3
|
Rendah
|
4,00 – 5,00
|
5
|
Trombosit
|
284
|
103/mm3
|
150,00 – 400,00
|
|
6
|
MCH
|
31,2
|
Pq
|
27 – 31
|
|
7
|
MCV
|
96
|
µm3
|
82 – 92
|
|
8
|
MCHC
|
32,4
|
g/dl
|
32 – 36
|
FOLLOW UP PASIEN:
24/12/12
Diagnosa G3P2A0H1 partusien aterm 39 –
40 minggu kala I fase laten + bekas SC a.i IO
Janin
hidup tunggal intrauterine pres keb H 1-11
|
Subjek:
· Kontrol
KU dan VS
· Cek
darah rutin
· Siapkan
darah PMI
· Lapor
OK dan siapkan anestesi
· Kontrol
perinatologi
|
Jam
02.00
Dilakukan
SC opp
Lahir
bayi dengan:
berat
badan 3026 gram
panjang
49 cm
|
Perawatan
RR:
· Tidur
terlentang dengan bantal
· Control
KU, KV
· Injeksi
ceftriaxone 2 x 1 gram
· Pronalgess
Supp k/p
· Puasa
sampai buang angin
· Cek
Hb post op, jika kurang dari 10 g/dl lakukan tranfusi.
|
25/12/12
Anamnesa:
Demam
(-), Asi (+), BAK (+), BAB (+)
Pemeriksaan
fisik:
KU
: sedang, Kes : CMC, TD : 120/80
Nadi
: 88, Nafas : 20, T : 37oC
Diagnosa:
P3A0H1 post SC opp a.i bekas SC + IO HIV
Ibu
dan anak dalam perawatan.
|
Subjek:
· Kontrol
KV, VS, PPV
· Diet
MB
· R/ Antalgin 3x500mg
Ceftriaxon 2x1gram
Benovit C 1x1
SF 2 x 1
|
26/12/12
Anamnesa:
Demam
(-), Asi (+), BAK (+), BAB (+)
Diagnosa:
P3A0H1 post SC opp a.i bekas SC + IO HIV
Ibu
dan anak dalam perawatan.
|
Subjek:
· Kontrol
KV, VS, PPV
· Diet
MB
· R/ Antalgin 3x500mg
Ceftriaxon 2x1gram
Benovit C 1x1
SF 2 x 1
|
ANALISA KASUS
Sesuai dengan Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2003, ada
beberapa hal yang harus diperhatikan pasca persalinan, antara lain :
1.
Kontrasepsi
Bila bayi tidak disusui,
maka efek kontraseptif laktasi akan hilang, sehingga pasangan tersebut harus
memakai kontrasepsi untuk menghindari atau menunda kehamilan berikutnya.
Seorang ODHA sudah harus menggunakan alat kontrasepsi paling lambat 4 minggu
post partum.
2.
Menyusui
Bagi ibu yang belum
diketahui status serologinya, dianjurkan menyusui bayinya secara ekslusif
selama 6 bulan, dan dapat dilanjutkan sampai 2 tahun atau lebih. Makanan
alternatif diberikan sejak bayi berusia 6 bulan.
Bagi ibu dengan HIV
positif tidak dianjurkan menyusui bayinya, sebab dapat terjadi penularan HIV
antara 10 – 20%, apalagi bila terdapat lecet pada payudara, atau terdapat
mastitis.
Sebaliknya bila tidak
menyusui, bayi akan beresiko untuk salah gizi dan mudah terserang penyakit
infeksi termasuk HIV. Pada keadaan dimana ibu tidak bisa membeli susu formula,
lingkungan yang tidak memungkinkan seperti tidak tersedianya air bersih dan
sosiokultural, bila pemberian susu formula tidak dapat diterima, tidak
menguntungkan, tidak terjangkau, tidak berkesinambungan, tidak aman, maka bayi
dapat diberi ASI ekslusif sampai usia 4 – 6 bulan, selanjutnya segera disapih.
Sekitar 50 – 75% dari
bayi yang disusui ibu ODHA, terinfeksi HIV pada 6 bulan pertama kehidupannya,
tetapi bayi yang disusui secara ekslusif selama 6 bulan mempunyai resiko lebih
rendah dibandingkan dengan bayi yang mendapat makanan tambahan. Pada bayi yang
mendapat makanan tambahan pada usia < 6 bulan, dapat terjadi stimulasi
imunologis dini akibat kontak dengan makanan yang terlalu dini sehingga terjadi
gangguan pencernaan yang mengakibatkan peningkatan permiabilitas usus, yang
dapat merupakan tempat masuknya HIV.
Pemberian ASI ekslusif
selama 4 – 6 bulan mengurang morbiditas dan mortalitas akibat infeksi selain
HIV. Pemberian makanan tambahan juga berkaitan dengan resiko mastitis, akibat
ASI yang terakumulasi pada payudara ibu. Cara lain menghindari penularan HIV,
dengan menghangatkan ASI di atas 66° C untuk membunuh virus HIV dan
mnyusui hanya dilakukan pada bulan – bulan pertama saja.
PASI (Pengganti Air Susu
Ibu) dapat disiapkan dari susu hewan seperti sapi, kerbau, kambing. Susu hewan
murni mengandung terlalu banyak protein, sehingga dapat merusak ginjal dan
menganggu usus bayi, maka susu tersebut harus dicairkan dengan air, dan
ditambahkan gula untuk energi. PASI sebaiknya diberikan dengan cangkir, sebab
lebih mudah dibersihkan dibandingkan botol. Pemberian makanan campuran seperti
susu, makanan, jus, dan air tidak diperkenankan sebab dapat meningkatkan resiko
penularan dan peningkatan angka kematian bayi.
Bila dimungkinkan,
diberikan susu formula, bila tidak, dapat dilakukan pemberian ASI secara
ekslusif selama 6 bulan penuh, selanjutnya segera disapih.
3.
Terapi antiretroviral dan imunisasi
Sebelum mendapat
pengobatan antiretroviral, ibu perlu mendapatkan konseling. Sesuai protokol
ARV, minimal 6 bulan sudah harus periksa CD4. Pengobatan antiretroviral semakin
penting setelah ibu melahirkan, sebab ibu harus merawat anaknya sampai cukup
besar. Tanpa pengobatan antiretroviral dikhawatirkan usia ibu tidak cukup
panjang.
Bayi harus mendapat imunisasi
seperti bayi sehat. Tes HIV harus sudah dikerjakan saat bayi berusia 12 bulan,
dan bila positif diulang saat berusia 18 bulan.
TINJAUAN PASIEN
Seorang pasien wanita 33 tahun (HIV+)
masuk KB IGD pada tanggal 24/12/12 pukul 20.00 WIB dengan keluhan utama
nyeri pinggang menjalar ke ari-ari sejak
4 jam yang lalu. Pada pukul 02.00 WIB tanggal 25/12, pasien melahirkan seorang
anak perempuan secara SC dengan berat badan 3026 gram dan panjang 49 cm.
Menurut WHO, terdapat 4 (empat) prong
yang perlu diupayakan untuk mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu ke
bayi. Prong tersebut yaitu (1) Mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuan
usia reproduksi, (2) Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu HIV
positif, (3) Mencegah penularan HIV dari ibu HIV positif ke bayi yang dikandungnya,
(4) Memberikan dukungan psikologis, sosial, dan perawatan kepada ibu HIV
positif beserta bayi dan keluarganya. Prong keempat ini adalah lanjutan dari
tiga prong sebelumnya.
Kasus ini termasuk dalam prong 3, karena
ibu mengetahui dirinya terinfeksi HIV menjelang persalinan. Hal ini disebabkan
diagnosis yang terlambat sehingga intervensi yang dapat dilakukan meliputi: (1)
pelayanan kesehatan ibu dan anak yang komprehensif, (2) layanan konseling dan
tes HIV secara sukarela, (3) pemberian antiretroviral untuk mencegah penularan
dari ibu ke janin (4) konseling tentang HIV dan makanan bayi serta pemberian
makanan bayi, (5) persalinan seksio sesaria karena dapat menurunkan transmisi ke
janin hingga 87%, bila diberikan bersama ARV.
Post partum, pasien diberi antibiotik
ceftriaxone sebagai profilak post operasi, untuk mencegah terjadinya infeksi
pada luka bekas operasi. Sulfas ferosus untuk meningkatkan Hb ibu setelah
melahirkan, Benovit C sebagai multivitamin post partus, dan asam mefenamat
sebagai analgetik, penghilang nyeri pada luka bekas operasi.
Untuk terapi ODHA, dengan melanjutkan
obat yang sudah diberikan selama kehamilan, yaitu mevinal dan duviral yang
dikombinasikan sebagai terapi selama kehamilan. Pada tanggal 27/12, pasien
sudah diperbolehkan pulang dan bayi tidak boleh mendapatkan ASI dari dokter.
No comments:
Post a Comment