Konsep pelayanan kefarmasian lahir karena kebutuhan
untuk bisa mengkuantifikasi pelayanan Kefarmasian yang diberikan, baik di
klinik maupun di apotik (komunitas), sehingga peran apoteker dalam pelayanan
kepada pasien dapat terukur.
Penekanan
Pelayanan Kefarmasian terletak pada dua hal utama, yaitu:
o
Apoteker menentukan pelayanan kefarmasian
yang dibutuhkan pasien sesuai kondisi penyakit
o
Apoteker membuat komitmen utk meneruskan
pelayanan setelah dimulai secara berkesinambunngan.
Berkembangnya paradigma baru tentang pelayanan
kefarmasian ini tidak jarang mengundang salah pengertian profesi kesehatan
lain. Oleh sebab itu perlu ditekankan bahwa Pelayanan Kefarmasian yang
dilakukan seorang apoteker bukan untuk menggantikan dokter atau profesi lain,
namun lebih pada pemenuhan kebutuhan dalam sistem pelayanan kesehatan yang
muncul, antara lain:
Ø Adanya
kecenderungan polifarmasi, terutama untuk pasien lanjut usia ataupun penderita
penyakit kronis.
Ø Makin
beragamnya produk obat yang beredar di pasaran berikut informasinya
Ø Peningkatan
kompleksitas terapi obat
Ø Peningkatan
morbiditas & mortalitas yang disebabkan masalah terapi obat
Ø Mahalnya
biaya terapi apalagi bila disertai kegagalan terapi Secara prinsip, Pelayanan Kefarmasian
terdiri dari beberapa tahap yang harus dilaksanakan secara berurutan:
1.
Penyusunan informasi dasar atau database
pasien
2.
Evaluasi atau Pengkajian (Assessment)
3.
Penyusunan rencana pelayanan kefarmasian
(RPK)
4.
Implementasi RPK
5.
Monitoring Implementasi
6.
Tindak Lanjut (Follow Up)
Untuk lingkungan praktek yang minim data pasien
seperti di apotek, maka perlu penyesuaian dalam praktek pelayanan kefarmasian.
Tahap penyusunan dan evaluasi informasi dengan cara wawancara (interview)
menjadi tumpuan untuk menentukan tahap selanjutnya dalam pelayanan kefarmasian.
Seluruh kegiatan pelayanan kefarmasian harus dicatat dalam satu dokumen khusus,
salah satu contoh dapat dilihat dalam Formulir Pelayanan Kefarmasian berikut
ini.
Penyusunan
Informasi Dasar/Database Pasien
Penyusunan database dilakukan dengan menyalin nama,
umur, berat badan pasien serta terapi yang diberikan yang tertera pada resep.
Mengenai masalah medis (diagnosis, gejala) dibuat dengan menyusun perkiraan
masalah medis yang dimiliki pasien dari terapi yang diberikan. Masalah medis
yang diperkirakan selanjutnya dikonfirmasikan ulang kepada pasien dan dokter
bila perlu.
Riwayat alergi perlu ditanyakan khususnya pada
pasien yang mendapat antibiotika atau senyawa-senyawa obat lainnya yang
potensil menimbulkan alergi. Riwayat obat yang perlu ditanyakan adalah riwayat
penggunaan obatsatu bulan terakhir. Hal ini diperlukan untuk memprediksikan
efek samping dan efek yang disebabkan masalah terapi obat lainnya, serta untuk
membantu pemilihan obat.
Evaluasi/Pengkajian
Tujuan
yang ingin dicapai dari tahap ini adalah identifikasi masalah yang berkaitan
dengan terapi obat. Berbagai masalah yang dapat timbul berkaitan dengan terapi
obat secara rinci ini telah diuraikan dalam Bab V. Pelaksanaan evaluasi
dilakukan dengan membandingkan problem medik, terapi, dan database yang telah
disusun, kemudian dikaitkan dengan pengetahuan tentang farmakoterapi,
farmakologi dan ilmu pengetahuan lain yang berkaitan.
Rencana
Pelayanan Kefarmasian (RPK)
Rencana
Pelayanan Kefarmasian memuat beberapa hal berikut:
1.
Rekomendasi terapi
Dalam
rekomendasi terapi diajukan saran tentang pemilihan/penggantian obat, perubahan
dosis, interval dan bentuk sediaan.
2.
Rencana Monitoring
Rencana
monitoring terapi obat meliputi:
a.
Monitoring efektivitas terapi.
Monitoring
terapi obat pada kasus DM dilakukan dengan memantau tanda-tanda vital
sebagaimana yang tercantum dalam tabel 5 (Target Penatalaksanaan Diabetes).
Selain itu parameter klinik juga dapat membantu monitoring efektivitas terapi.
b.
Monitoring Reaksi Obat Berlawanan (ROB) meliputi efek samping obat,
alergi
dan interaksi obat.
Pelaksanaan
monitoring terapi obat bagi pasien di apotek memiliki keterbatasan bila
dibandingkan dengan di rumah sakit, antara lain kesulitan untuk mengikuti
perkembangan pasien setelah keluar dari apotek. Metode yang paling tepat
digunakan adalah monitoring melalui telepon baik apoteker yang menghubungi
maupun sebaliknya, pasien melaporkan melalui telepon tentang kejadian yang
tidak diharapkan kepada apoteker. Khususnya dalam memonitor terjadinya ROB,
perlu disampaikan ROB yang potensial akan terjadi serta memiliki signifikansi secara
klinik dalam konseling kepada pasien. Selain itu pasien dihimbau untuk
melaporkan kejadian yang dicurigai ROB kepada apoteker. Selanjutnya apoteker
dapat menyusun rekomendasi terkait ROB tersebut.
3.
Rencana Konseling
Rencana
konseling memuat pokok-pokok materi konseling yang akan disampaikan.
Implementasi
Rencana Pelayanan Kefarmasian
Kegiatan
ini merupakan upaya melaksanakan Rencana Pelayanan Kefarmasian (RPK) yang sudah
disusun. Rekomendasi terapi yang sudah disusun dalam RPK, selanjutnya
dikomunikasikan kepada dokter penulis resep. Metode penyampaian dapat dipilih
antara berbicara langsung (pada apotek dipoliklinik atau apotek pada praktek
dokter bersama) atau melalui telepon. Komunikasi antar profesi yang sukses
memerlukan teknik dan cara tersendiri yang dapat dipelajari dan dikembangkan
berdasarkan pengalaman. Implementasi rencana monitoring adalah dengan
melaksanakan monitoring terapi obat dengan metode seperti yang sudah disebutkan
di atas. Demikian pula implementasi Rencana Konseling dilaksanakan dengan konseling
kepada pasien.
Tindak
Lanjut
Tindak
lanjut merupakan kegiatan yang menjamin kesinambungan pelayanan kefarmasian
sampai pasien dinyatakan sembuh atau tertatalaksana dengan baik. Kegiatan yang
dilakukan dapat berupa pemantauan perkembangan pasien baik perkembangan kondisi
klinik maupun perkembangan terapi obat dalam rangka mengidentifikasi ada atau
tidaknya masalah terapi obat (MTO) yang baru. Bila ditemukan MTO baru, maka selanjutnya
apoteker menyusun atau memodifikasi RPK. Kegiatan lain yang dilakukan dalam
follow-up adalah memantau hasil atau outcome yang dihasilkan dari
rekomendasi yang diberikan. Hal ini sangat penting bagi apoteker dalam menilai
ketepatan rekomendasi yang diberikan. Kegiatan follow-up memang sulit dilaksanakan
di lingkup farmasi komunitas, kecuali pasien kembali ke apotek yang sama,
apoteker secara aktif menghubungi pasien atau pasien menghubungi apoteker melalui
telepon.
No comments:
Post a Comment