MENINGITIS
TUBERKULOSIS
1.
BATASAN
Meningitis
tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak (meningen) yang disebabkan
oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis. Penyakit ini merupakan salah
satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit tuberkulosis paru.
Infeksi primer muncul di paru-paru dan dapat menyebar secara limfogen dan
hematogen ke berbagai daerah tubuh di luar paru, seperti perikardium, usus,
kulit, tulang, sendi, dan selaput otak
(Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).
2.
PATOFISIOLOGI
Meningitis
tuberkulosis pada umumnya muncul sebagai penyebaran tuberkulosis primer.
Biasanya fokus infeksi primer ada di paru-paru, namun dapat juga ditemukan di
abdomen (22,8%), kelenjar limfe leher (2,1%) dan tidak ditemukan adanya fokus
primer (1,2%). Dari fokus primer, kuman masuk ke sirkulasi darah melalui duktus
torasikus dan kelenjar limfe regional, dan dapat menimbulkan infeksi berat
berupa tuberkulosis milier atau hanya menimbulkan beberapa fokus metastase yang
biasanya tenang .
Pendapat yang
sekarang dapat diterima dikemukakan oleh Rich tahun 1951. Terjadinya meningitis
tuberkulosis diawali olen pembentukan tuberkel di otak, selaput otak atau
medula spinalis, akibat penyebaran kuman secara hematogen selama masa inkubasi
infeksi primer atau selama perjalanan tuberkulosis kronik walaupun jarang. Bila penyebaran
hematogen terjadi dalam jumlah besar, maka akan langsung menyebabkan penyakit
tuberkulosis primer seperti TB milier dan meningitis tuberkulosis. Meningitis
tuberkulosis juga dapat merupakan reaktivasi dari fokus tuberkulosis (TB pasca
primer). Salah satu pencetus proses reaktivasi tersebut adalah trauma kepala
(Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).
3.
MANIFESTASI KLINIS
Menurut
Lincoln, manifestasi klinis dari meningitis tuberculosa dikelompokkan dalam
tiga stadium:
a. Stadium I (stadium inisial / stadium
non spesifik / fase prodromal)
Prodromal, berlangsung 1 - 3 minggu. Biasanya gejalanya tidak khas, timbul
perlahan- lahan, tanpa kelainan neurologis. Gejala: demam
(tidak terlalu tinggi), rasa lemah, nafsu makan
menurun (anorexia), nyeri perut, sakit kepala, tidur terganggu, mual, muntah
dan konstipasi,
apatis dan irritable. Pada bayi, irritable dan
ubun- ubun menonjol merupakan manifestasi yang sering ditemukan; sedangkan pada
anak yang lebih tua memperlihatkan perubahan suasana hati yang mendadak,
prestasi sekolah menurun, letargi, apatis, mungkin saja tanpa disertai demam
dan timbul kejang intermiten. Kejang bersifat umum dan didapatkan sekitar
10-15%. Jika sebuah tuberkel pecah ke dalam ruang sub arachnoid maka stadium I
akan berlangsung singkat sehingga sering terabaikan dan akan langsung masuk ke
stadium III.
b. Stadium II (stadium transisional /
fase meningitik)
Pada fase ini terjadi rangsangan pada selaput otak /
meningen.Ditandai oleh adanya kelainan neurologik, akibat eksudat yang
terbentuk diatas lengkung serebri.
Pemeriksaan kaku kuduk (+), refleks Kernig dan Brudzinski (+) kecuali pada
bayi.Dengan berjalannya waktu, terbentuk infiltrat (massa
jelly berwarna abu) di dasar otak menyebabkan gangguan otak / batang otak.Pada
fase ini, eksudat yang mengalami organisasi akan mengakibatkan kelumpuhan saraf
kranial dan hidrosefalus, gangguan kesadaran, papiledema ringan serta adanya
tuberkel di koroid. Vaskulitis menyebabkan gangguan fokal, saraf kranial dan
kadang medulla spinalis. Hemiparesis yang timbul disebabkan karena infark/
iskemia, quadriparesis dapat terjadi akibat infark bilateral atau edema otak
yang berat. Pada anak berusia di bawah 3 tahun, iritabel dan muntah adalah
gejala utamanya, sedangkan sakit kepala jarang dikeluhkan. Sedangkan pada anak
yang lebih besar, sakit kepala adalah keluhan utamanya, dan kesadarannya makin
menurun.
c. Stadium III
(koma / fase paralitik)
Terjadi percepatan penyakit, berlangsung selama ± 2-3
minggu. Gangguan
fungsi otak semakin jelas.Terjadi akibat infark batang otak akibat lesi
pembuluh darah atau strangulasi oleh eksudat yang mengalami organisasi.
Tiga stadium
tersebut di atas biasanya tidak jelas batasnya antara satu dengan yang lain,
tetapi bila tidak diobati biasanya berlangsung 3 minggu sebelum pasien
meninggal. Dikatakan akut bila 3 stadium tersebit berlangsung selama 1
minggu.Hidrosefalus dapat terjadi pada kira-kira 2/3 pasien, terutama yang
penyakitnya telah berlangsung lebih dari 3 minggu. Hal ini terjadi apabila
pengobatan terlambat atau tidak adekuat (Darto Saharso, 1999., Kliegman, et
al. 2004., Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).
4.
KRITERIA DIAGNOSIS
Kriteria
diagnosis pada meningitis TB adalah:
a.
Dari
anamnesis: adanya riwayat kejang atau penurunan kesadaran (tergantung stadium
penyakit), adanya riwayat kontak dengan pasien tuberkulosis (baik yang
menunjukkan gejala, maupun yang asimptomatik), adanya gambaran klinis yang
ditemukan pada penderita (sesuai dengan stadium meningitis tuberkulosis). Pada
neonatus, gejalanya mungkin minimalis dan dapat menyerupai sepsis, berupa bayi
malas minum, letargi, distress pernafasan, ikterus, muntah, diare,
hipotermia, kejang (pada 40% kasus), dan ubun-ubun besar menonjol (pada 33,3%
kasus).
b.
Dari
pemeriksaan fisik: tergantung stadium penyakit. Tanda rangsang meningen seperti
kaku kuduk biasanya tidak ditemukan pada anak berusia kurang dari 2 tahun
(Herry Garna dan Nataprawira., 2005).
c.
Uji
tuberkulin positif. Pada 40% kasus, uji tuberkulin dapat negatif.
Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan screening
tuberkulosis yang paling bermanfaat. Penelitian menunjukkan bahwa
efektivitas uji tuberkulin pada anak dapat mencapai 90%. Ada beberapa cara
melakukan uji tuberkulin, tetapi hingga saat ini cara mantoux lebih
sering dilakukan. Pada uji mantoux, dilakukan penyuntikan PPD (Purified
Protein Derivative) dari kuman Mycobacterium tuberculosis.Lokasi
penyuntikan uji mantoux umumnya pada ½ bagian atas lengan bawah kiri
bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin
dilakukan 48–72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan
(indurasi) yang terjadi.
d. Cairan
otak dan tulang belakang / liquor cerebrospinalis (dengan cara pungsi
lumbal) :
-
Warna: jernih (khas), bila dibiarkan mengendap akan membentuk
batang-batang. Dapat juga berwarna xanhtochrom bila penyakitnya telah
berlangsung lama dan ada hambatan di medulla spinalis.
-
Jumlah sel: 100 – 500 sel / μl. Mula-mula, sel polimorfonuklear dan
limfosit sama banyak jumlahnya, atau kadang-kadang sel polimorfonuklear lebih
banyak (pleositosis mononuklear). Kadang-kadang, jumlah sel pada fase akut
dapat mencapai 1000 / mm3.
- Kadar protein: meningkat (dapat lebih dari
200 mg / mm3). Hal ini menyebabkan liquor cerebrospinalis
dapat berwarna xanthochrom dan pada permukaan dapat tampak sarang
laba-laba ataupun bekuan yang menunjukkan tingginya kadar fibrinogen (Iskandar
Japardi, 2002).
- Kadar glukosa: biasanya menurun
(<>liquor cerebrospinalis dikenal sebagai hipoglikorazia. Adapun kadar
glukosa normal pada liquor cerebrospinalis adalah ±60% dari kadar
glukosa darah.
- Kadar
klorida normal pada stadium awal, kemudian menurun.
-
Pada pewarnaan Gram dan kultur liquor cerebrospinalis dapat
ditemukan kuman (Darto Suharso. 1999., Herry Garna dan Nataprawira., 2005.,
Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).
Untuk
mendapatkan hasil positif, dianjurkan untuk melakukan pungsi lumbal selama 3
hari berturut-turut. Terapi dapat langsung diberikan tanpa menunggu hasil
pemeriksaan pungsi lumbal kedua dan ketiga (Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).
e.
Dari
pemeriksaan radiologi:
- Foto toraks :
dapat menunjukkan adanya gambaran tuberkulosis.
- Pemeriksaan EEG (electroencephalography)
menunjukkan kelainan kira-kira pada 80% kasus berupa kelainan difus atau fokal
- CT-scan kepala : dapat
menentukan adanya dan luasnya kelainan di daerah basal, serta adanya dan
luasnya hidrosefalus.
Gambaran dari
pemeriksaan CT-scan dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) kepala
pada pasien meningitis tuberkulosis adalah normal pada awal penyakit. Seiring
berkembangnya penyakit, gambaran yang sering ditemukan adalah enhancement
di daerah basal, tampak hidrosefalus komunikans yang disertai dengan
tanda-tanda edema otak atau iskemia fokal yang masih dini. Selain itu, dapat
juga ditemukan tuberkuloma yang silent, biasanya di daerah korteks
serebri atau talamus (Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).
5.
PENATALAKSANAAN TERAPI
-
Fase
intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai 5 obat anti tuberkulosis, yakni
isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol.
-
Terapi
dilanjutkan dengan 2 obat anti tuberkulosis, yakni isoniazid dan rifampisin
hingga 12 bulan (Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).
No comments:
Post a Comment