Sunday, July 12, 2015

Neonatal Cholestasis



Neonatal Cholestasis
Bayi kuning merupakan hal yang umum pada minggu 1 atau 2 setelah kelahiran dan biasanya akan berkurang dengan sendirinya. Bayi yang kuning hingga 2-3 minggu setelah kelahiran memerlukan evaluasi lebih jauh. Neonatal Cholestasis didefinisikan sebagai gangguan aliran empedu yang mengakibatkan akumulasi substansi empedu (bilirubin, asam empedu, dan kolesterol) pada darah dan jaringan ekstra hepatik. Manifestasi klinisnya diakibatkan oleh hiperbilirubinemia yang terkonjugasi dan sebaiknya dibedakan dari hiperbilirubinemia tak terkonjugasi yang biasanya ringan. Insiden neonatal cholestasis diperkirakan 1 : 2.500. Penyebab paling umum neonatal cholestasis adalah atresia bilier dan hepatitis neonatal idiopatik (Venigalla and Gourley, 2004)
Proses normal  produksi empedu melibatkan 2 proses utama, uptake  asam empedu oleh sel hati dari darah dan ekskresi asam empedu ke kanalikuli bilier. Pengambilan asam empedu dari darah merupakan proses aktif di membran sinusoid sel hati. Na taurocholate cotransporting polypeptide (NTCP) dan organic anion transporting proteins (OATP) merupakan 2 reseptor utama yang terlibat dalam pengambilan asam empedu terkonjugasi oleh sel hati. Reseptor-reseptor ini juga bertanggungjawab terhadap transport anion lain seperti obat dan toksin melalui membran sel-sel hati.
Pada bayi yang baru lahir sistem empedu baik secara struktural maupun fungsional masih belum matang sehingga lebih rentan untuk terjadinya kolestasis. Pada hepatitis dan sepsis, terdapat down regulation NTCP dan OATP yang menyebabkan penurunan produksi empedu dan kolestasis (Venigalla and Gourley, 2004).
Etiologi kolestasis bermacam-macam, dan secara garis besar dapat dirangkum sebagaimana dalam tabel berikut (Moyer, et. al.,2004):
Neonatal Cholestasis dapat diklasifikasikan menjadi intrahepatik dan ekstrahepatik. Hepatitis neonatal idiopatik merupakan contoh penyebab intrahepatik dan atresia bilier dan choledochal cyst merupakan contoh penyebab ekstrahepatik (Venigalla and Gourley, 2004)
Konsekuensi kolestasis adalah retensi komponen empedu. Bilirubin menyebabkan jaundice, kolesterol terdeposit di lipatan kulit dan tendon dan juga di membran sel hati, ginjal, dan eritrosit. Pruritus diperkirakan diakibatkan oleh endorfin yang tertinggal dan garam empedu. Ketiadaan empedu di saluran pencernaan menyebabkan tinja yang berlemak dan malabsorpsi (Silbernagl, 2000).
Selain itu biasanya terdapat gejala koagulopati sebagai akibat dari defisiensi faktor penjendalan darah atau vitamin K.  Pemeriksaan fisik, selain jaundice, biasanya juga terdapat hepatosplenomegali. Pemeriksaan fisik lain dapat menunjukkan adanya gangguan pertumbuhan.
Pemeriksaan yang dibutuhkan untuk kolestasis adalah:
               1.        Pemeriksaan awal: Riwayat, pemeriksaan fisik, warna tinja, serum bilirubin, AST, ALT, Alkaline Phosphatase, GGT, albumin, prothtrombin time, glukosa darah
               2.        Deteksi kondisi untuk perawatan segera: CBC, kultur bakteri, T4 TSH, urinalisis
               3.        Pemeriksaan pembeda intra-ekstra hepatik: USG, heptobiliary scintigraphy, liver biopsy, Duodenal Aspirate Analysis.

          Manajemen kolestasis biasanya suportif dan tidak menghilangkan penyebab utama penyakit. Tujuan utamanya adalah untuk mencegah komplikasi dari kolestasis kronik. Manajemen kolestasis dapat dilihat pada tabel berikut (Venigalla and Gourley, 2004).

No comments:

Post a Comment