Monday, August 24, 2015

Cedera kepala



Batasan 3
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama akibat trauma susunan syaraf pada bagian kepala.
2.2        Patofisiologi 3,4,5
Cedera kepala dapat disebabkan oleh:
·         Kecelakaan lalu lintas
·         Terjatuh
·         Dipukul
·         Luka tembus lainnya
Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, keparahan, dan morfologi cedera.
1.      Mekanisme (berdasarkan adanya penetrasi durameter) :
a.             Trauma tumpul
§  Kecepatan tinggi (tabrakan)
§  Kecepatan rendah (terjatuh, terpukul)
b.      Trauma tembus (luka tembus peluru dan cedera tembus lainnya)
2.      Keparahan cedera
Dilihat berdasarkan penilaian GCS (Glasgow Coma Scale) :
þ  Eye
§  Membuka mata spontan (4)
§  Membuka mata bila diajak bicara (3)
§  Membuka mata bila dirangsang dengan nyeri (2)
§  Tidak ada respon (1)
þ  Verbal
§  Berbicara normal (5)
§  Berbicara meracau (4)
§  Berbicara tidak jelas (3)
§  Hanya suara yang keluar (2)
§  Tidak ada respon (1)
þ  Motorik
§  Bergerak mengikuti perintah (6)
§  Bergerak terhadap nyeri dan dapat melokalisir nyeri (5)
§  Bergerak menjauh terhadap rengsangan nyeri (4)
§  Terhadap rangsangan bereaksi dengan gerak refleksi (3)
§  Terhadap rangsangan bereaksi dengan gerak ekstensi (2)
§  Tidak ada respon (1)
Dari penilaian GCS diatas tingkat keparahan cedera dapat dibagi atas :
a.        Ringan            : GCS 14-15
b.       Sedang           : GCS 9-13
c.        Berat              : GCS 3-8
3.      Morfologi
a.       Fraktur tengkorak: kranium, linear/stelatum, depresi/nondepresi, terbuka/tertutup
Basis: dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinal, dengan/tanpa kelumpuhan nervus VII.
b.      Lesi intrakranial: fokal, epidural, subdural, intracebal.
Difus : konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonal difus.
2.3 Prognosis 3,4,5
            Prognosis setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar, terutama pada pasien dengan cedera berat. Skor GCS waktu masuk rumah sakit memiliki nilai prognostik yang besar, dimana skor pasien 3-4 memiliki kemungkinan meninggal 85% atau tetap dalam kondisi vegetatif. Sedangkan pada pasien dengan skor GCS 12 atau lebih kemungkinan meninggal atau vegetatif hanya 5-10%. Sindrom pasca konkusi berhubungan dengan sindrom kronis nyeri kepala, keletihan, pusing, ketidakmampuan berkonsentrasi, iritabilitas, dan perubahan kepribadian yang berkembang pada banyak pasien setelah cedera kepala. Seringkali bertumpang tindih dengan gejala depresi.
2.4    Anamnesis 2
Diagnosis cedera kepala biasanya tidak sulit ditegakkan: riwayat kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja atau perkelahian hampir selalu ditemukan. Pada orang tua dengan kecelakaan yang terjadi di rumah, misalnya jatuh dari tangga, jatuh di kamar mandi atau sehabis bangun tidur, harus dipikirkan kemungkinan gangguan pembuluh darah otak (stroke) karena keluarga kadang-kadang tak mengetahui pasti urutan kejadiannya: jatuh kemudian tidak sadar atau kehilangan kesadaran lebih dahulu sebelum jatuh.
Anamnesis yang lebih terperinci meliputi :
1.      Sifat kecelakaan.
2.      Saat terjadinya, beberapa jam/hari sebelum dibawa ke rumah sakit.
3.      Ada tidaknya benturan kepala langsung.
4.      Keadaan penderita saat kecelakaan dan perubahan kesadaran sampai saat diperiksa.
Bila si pasien dapat diajak berbicara, tanyakan urutan peristiwanya sejak sebelum terjadinya kecelakaan, sampai saat tiba di rumah sakit untuk mengetahui kemungkinan adanya amnesia retrograd. Muntah dapat disebabkan oleh tingginya tekanan intrakranial. Pasien tidak selalu dalam keadaan pingsan (hilang/turun kesadarannya), tapi dapat kelihatan bingung/disorientasi (kesadaran berubah).

2.5    Pemerikasaan 2
A.     Pemeriksaan fisik
Hal terpenting yang pertama kali dinilai ialah status fungsi vital dan status kesadaran pasien. Ini harus dilakukan sesegera mungkin bahkan mendahului anamnesis yang teliti.
1.   Status fungsi vital
Seperti halnya dengan kasus kedaruratan lainnya, hal terpenting yang dinilai ialah :
a. Jalan nafas ­ (airway)
b. Pernafasan ­ (breathing)
c. Nadi dan tekanan darah ­ (circulation)
Jalan nafas harus segera dibersihkan dari benda asing, lendir atau darah, bila perlu segera dipasang pipa naso/orofaring; diikuti dengan pemberian oksigen. Manipulasi leher harus berhati-hati bila ada riwayat/dugaan trauma servikal (whiplash injury), jamb dengan kepala di bawah atau trauma tengkuk.
Gangguan yang mungkin ditemukan dapat berupa :
a. Pernafasan Cheyne Stokes.
b. Pernafasan Biot/hiperventilasi.
 c. Pernafasan ataksik.
yang menggambarkan makin memburuknya tingkat kesadaran.
Pemantauan fungsi sirkulasi dilakukan untuk menduga adanya shock, terutama bila terdapat juga trauma di tempat lain, misalnya trauma thorax, trauma abdomen, fraktur ekstremitas. Selain itu peninggian tekanan darah yang disertai dengan melambatnya frekuensi nadi dapat merupakan gejala awal peninggian tekanan intrakranial, yang biasanya dalam fase akut disebabkan oleh hematoma epidural.
2.   Status kesadaran
Dewasa ini penilaian status kesadaran secara kualitatif, terutama pada kasus cedera kepala sudah mulai ditinggalkan karena subyektivitas pemeriksa; istilah apatik, somnolen, sopor, coma, sebaiknya dihindari atau disertai dengan penilaian kesadaran yang lebih obyektif, terutama dalam keadaan yang memerlukan penilaian/perbandingan secara ketat. Cara penilaian kesadaran yang luas digunakan ialah dengan Skala Koma Glasgow; cara ini sederhana tanpa memerlukan alat diagnostik sehingga dapat digunakan baik oleh dokter maupun perawat. Melalui cara ini pula, perkembangan/perubahan kesadaran dari waktu ke waktu dapat diikuti secara akurat.
3.   Status Neurologik Lain
Selain status kesadaran di atas pemeriksaan neurologik pada kasus trauma kapitis terutama ditujukan untuk mendeteksi adanya tanda-tanda fokal yang dapat menunjukkan adanya kelainan fokal, dalam hal ini perdarahan intrakranial.
Tanda fokal tersebut ialah :
a. Anisokori.
b. Paresis/parahisis.
c. Reties patologik sesisi.
4.   Hal-hal Lain
Selain cedera kepala, harus diperhatikan adanya kemungkinan cedera di tempat lain; trauma thorax, trauma abdomen, fraktur iga atau tulang anggota gerak harus selalu dipikirkan dan dideteksi secepat mungkin.
B. Pemeriksaan Tambahan
Peranan foto Rô tengkorak banyak diperdebatkan manfaatnya, meskipun beberapa rumah sakit melakukannya secara rutin. Selain indikasi medik, foto Rô tengkorak dapat dilakukan atas dasar indikasi legal/hukum. Foto Rô tengkorak biasa (AP dan Lateral) umumnya dilakukan pada keadaan :
  • ­Defisit neurologik fokal.
  • ­Liquorrhoe.
  • ­Dugaan trauma tembus/fraktur impresi.
  • ­Hematoma luas di daerah kepala.
Pada keadaan tertentu diperlukan proyeksi khusus, seperti proyeksi tangensial pada dugaan fraktur impresi, proyeksi basis path dugaan fraktur basis dan proyeksi khusus lain pada dugaan fraktur tulang wajah. Perdarahan intrakranial dapat dideteksi melalui pemeriksaan arterografi karotis atau CT Scan kepala yang lebih disukai, karena prosedurnya lebih sederhana dan tidak invasif, dan hasilnya lebih akurat. Meskipun demikian pemeriksaan ini tidak dapat dilakukan di setiap rumah sakit. Selain indikasi tersebut di atas, CT Scan kepala dapat dilakukan pada keadaan :
  • ­perburukan kesadaran.
  • ­dugaan fraktur basis cranii.
  • ­kejang.


2.6    Penatalaksanaan 2,3,4,5
1. Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital
Usahakan agar jalan nafas selalu bebas, bersihkan lendir dan darah yang dapat menghalangi aliran udara pernafasan. Bila perlu dipasang pipa naso/orofaringeal dan pemberian oksigen. Infus dipasang terutama untuk membuka jalur intravena : gunakan cairan NaCl 0,9% atau Dextrose in saline.
2. Mengurangi edema otak
Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak:
·         Hiperventilasi.
·         Cairan hiperosmoler.
·         Kortikosteroid.
·         Barbiturat.
a. Hiperventilasi
Bertujuan untuk menurunkan tekanan oksigen darah sehingga mencegah vasodilatasi pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga dapat membantu menekan metabolisme anaerob, sehingga dapat mengurangi kemungkinan asidosis. Bila dapat diperiksa, tekanan oksigen dipertahankan >100 mmHg dan tekanan CO2 diantara 25­-30 mmHg.
b. Cairan hiperosmoler
Umumnya digunakan cairan Manitol 10­-15% per infus untuk menarik air dari ruang intersel ke dalam ruang intravaskular untuk kemudian dikeluarkan melalui diuresis. Untuk memperoleh efek yang dikehendaki, manitol harus diberikan
dalam dosis yang cukup dalam waktu singkat, umumnya diberikan: 0,5­1 gram/kg BB dalam 10­-30 menit. Cara ini berguna pada kasus-kasus yang menunggu tindakan bedah. Pada kasus biasa, harus dipikirkan kemungkinan efek rebound; mungkin dapat dicoba diberikan kembali (diulang) setelah beberapa jam atau keesokan harinya.
c. Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak beberapa waktu yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung menyatakan bahwa kortikosteroid tidak/kurang bermanfaat pada kasus cedera kepala. Penggunaannya berdasarkan pada asumsi bahwa obat ini menstabilkan sawar darah otak. Dosis parenteral yang pernah dicoba juga bervariasi: Dexametason pernah dicoba dengan dosis sampai 100 mg bolus yang diikuti dengan 4 dd 4 mg. Selain itu juga Metilprednisolon pernah digunakan dengan dosis 6 dd 1­5 mg dan Triamsinolon dengan dosis 6 dd 10 mg.
d. Barbiturat
Digunakan untuk menenangkan pasien sehingga metabolisme otak dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari kemungkinan kerusakan akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen berkurang. Cara ini hanya dapat digunakan dengan pengawasan yang ketat.
e. Cara lain
Pada 24­-48 jam pertama, pemberian cairan dibatasi sampai 1500-­2000 ml/24 jam agar tidak memperberat edema jaringan. Ada laporan yang menyatakan bahwa posisi tidur dengan kepala (dan leher) yang diangkat 30° akan menurunkan tekanan
intrakranial. Posisi tidur yang dianjurkan, terutama pada pasien yang berbaring lama, ialah :
  • ­kepala dan leher diangkat 30°.
  • ­sendi lutut diganjal, membentuk sudut 150°.
  • ­telapak kaki diganjal, membentuk sudut 90° dengan tungkai bawah
3. Obat-obat Nootropik
Dewasa ini banyak obat yang dikatakan dapat membantu mengatasi kesulitan/gangguan metabolisme otak, termasuk pada keadaan koma.
a.      Piritinol
 Piritinol merupakan senyawa mirip piridoksin (vitamin B6) yang dikatakan mengaktivasi metabolisme otak dan memperbaiki struktur serta fungsi membran sel. Pada fase akut diberikan dalam dosis 800-4000 mg/hari lewat infus. Tidak dianjurkan pemberian intravena karena sifatnya asam sehingga mengiritasi vena.


b.     Piracetam
Piracetam merupakan senyawa mirip GABA - suatu neurotransmitter penting di otak. Diberikan dalam dosis 4-12 gram/hari intravena.
c.     Citicholine
Disebut sebagai koenzim pembentukan lecithin di otak. Lecithin sendiri diperlukan untuk sintesis membran sel dan neurotransmitter di dalam otak. Diberikan dalam dosis 100-500 mg/hari intravena.
4. Hal-hal lain
Perawatan luka dan pencegahan dekubitus harus mulai diperhatikan sejak dini; tidak jarang pasien trauma kepala juga menderita luka lecet/luka robek di bagian tubuh lainnya. Antibiotika diberikan bila terdapat luka terbuka yang luas, trauma tembus kepala, fraktur tengkorak yang antara lain dapat menyebabkan liquorrhoe. Luka lecet dan jahitan kulit hanya memerlukan perawatan lokal. Hemostatik tidak digunakan secara rutin; pasien trauma kepala umumnya sehat dengan fungsi pembekuan normal. Pendarahan intrakranial tidak bisa diatasi hanya dengan hemostatik.
Antikonvulsan diberikan bila pasien mengalami kejang, atau pada trauma tembus kepala dan fraktur impresi; preparat parenteral yang ada ialah fenitoin, dapat diberikan dengan dosis awa12-50 mg intravena dalam waktu 10 menit diikuti dengan 250-500 mg fenitoin per infus selama 4 jam. Setelah itu diberikan 3 dd 100 mg/hari per oral atau intravena. Diazepam 10 mg iv diberikan bila terjadi kejang. Phenobarbital tidak dianjurkan karena efek sampingnya berupa penurunan kesadaran dan depresi pernapasan.
Penatalaksanaan khusus :
1.      Cedera kepala ringan
Pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat dipulangkan ke rumah tanpa perlu dilakukan CT Scan dengan kriteria sebagai berikut :
§  Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental dan gaya berjalan) dalam batas normal.
§  Foto servikal jelas normal
§  Adanya orang yang bertanggungjawab untuk mengamati pasien selama 24 jam, dengan intstruksi segera kembali ke bagian gawat darurat jika timbul gejala pemburukan.
2.      Cedera kepala sedang
Pasien yang menderita konkusi otak (komsio otak), dengan CGS 15 (sadar penuh, orientasi baik, dan mengikuti perintah) dan CT Scan normal, tidak perlu dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan untuk observasi di rumah meskipun terdapat nyeri kepala, mual, muntah, pusing, atau amnesia. Resiko timbulnya lesi intrakranial lanjut yang bermakna pada pasien dengan cedera kepala sedang adalah minimal.
3.      Cedera kepala berat
Setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital, keputusan segera pada pasien ini adalah apakah terdapat indikasi intervensi bedah saraf segera (hematoma intrakranial yang besar). Jika ada indikasi, harus segera dikonsulkan ke bedah saraf untuk tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera kepala sebaiknya dilakukan di unit rawat intensif.


DAFTAR PUSTAKA


1.      Arifin, Muhammmad, Peranan Senyawa Oksigen Reaktif pada Cedera Kepala Berat: Pengaruhnya pada Gangguan Fungsi Enzim Akonitase dan Kondisi Asidosis Primer Otak, Tesis Sarjana S3, UNAIR, 2003.

2.      Riyanto, B., Penatalaksanaan Fase Akut Cedera Kepala, Cermin Dunia Kedokteran, No.77, 1992.

3.      Mansjoer, A., Kapita Selekta Kedokteran, Edisi III, Jilid II, Media Awsculapius, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2000. Hal 3-6.

4.      Anonim, Pedoman Diagnosis dan Terapi Lab/UPF Ilmu Bedah, Rumah Sakit Umum Daerah DR. Soetomo, Surabaya, 1994.

5.      Woodly, M., dan Alison, W., Pedoman Pengobatan, Yayasan Medica, yogyakarta, 1995. Hal 714-715.

6.      Pedoman Penggunaan cairan Infus, edisi IV, PT. Otsuka, Indonesia, Jakarta, 1996. Hal 17.

7.      Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Infomatorium Obat nasional Indonesia, Jakarta, 1996. Hal 95-98, 334-336

8.      Drug Information for The Health Care Proffessional, 5th Ed., USPDI, 1994.

9.      Drug Evaluation Annual 1991, AMA Drug, 1986.

10.  Dollery, C., Therapeutic Drugs, Churcill Living Stone, New York, 1991. Hal 99-102.

11.  Formularium Rumah Sakit M. Djamil, Padang, 2003.

12.  Stockley, I.H., Drug Interactions, Third Edition, Balckwell Science, London, 1994.

No comments:

Post a Comment