1 Batasan
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi
pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38oC) yang disebabkan
oleh suatu proses ekstrakranium (1).
2.2 Patofisiologi
Untuk
mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan suatu energi
yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang
terpenting adalah glukosa. Sifat proses ini adalah oksidasi dimana oksigen
disediakan dengan perantaraan fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalui
sistem kardiovaskuler. Jadi sumber energi otak adalah glukosa yang melalui
proses oksidasi dipecah manjadi CO2 dan air (1).
Sel
dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid
dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat
dilalui dengan mudah oleh ion Kalium (K+) dan sangat sulit dilalui
oleh ion Natrium (Na+) dan elektolit lainnya, kecuali ion Klorida
(Cl-). Akibatnya
konsentrasi K+ tinggi dalam sel neuron dan konsentrasi Na+
rendah, sedangkan di lur sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena
perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat
perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk
menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim
Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel (1).
Keseimbangan potensial membran
ini dapat dirubah oleh adanya (1):
1. Perubahan konsentrasi ion di ruang
ekstraseluler.
2. Rangsangan yang datangnya mendadak
misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya.
3. Perubahan patologis dari membran sendiri
karena penyakit atau keturunan.
Pada keadaan demam kenaikan
suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10%-15% dan
kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada seorang anak berumur 3 tahun,
sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh, dibanding orang dewasa yang
hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu, dapat terjadi perubahan
keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi
difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium melalui membran tadi, dengan akibat
terjadinya pelepasan muatan listrik. Lepasnya muatan listrik ini demikian
besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran tetangganya
dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmiter dan terjadilah kejang (1).
Tiap anak mempunyai ambang
kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang seorang
anak yang menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan ambang
kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38oC sedangkan
pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40oC
atau lebih. Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang
demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam
penggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang
(1).
Kejang demam yang berlangsung
singkat pada umunya tidak berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi
pada kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai
terjadinya apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi
otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, herkapnia, asidosis laktat
disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut
jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat disebabkan
meningkatnya aktivitas otot dan selanjutnya mengakibatkan metabolisme otak
meningkat. Rangkaian kejadian di atas adalah faktor penyebab hingga terjadinya
kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang lama. Faktor terpenting
adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga
meninggikan permebialitas kapiler dan timbul edema otak yang mengakibatkan
kerusakan sel neuron otak (1).
Kerusakan pada daerah mesial
lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat
menjadi ”matang” di kemudian hari, sehingga terjadi serangan epilepsi yang
spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan
anatomis di otak hingga terjadi epilepsi (1).
2.3 Gejala Klinis
Terjadinya bangkitan kejang
pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi
dan cepat yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf pusat, misalnya
tonsilitis, otitis media akuta, bronkitis, furonkulosis dan lain-lain. Serangan
kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat
denagn sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau
akinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti anak tidak
memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit
anak akan terbangun dan sadar kembali tanpa adanya kelainan saraf (1).
Livingston
(1954-1963) membuat kriteria dan membagi kejang demam atas 2 golongan, yaitu:
1.
Kejang demam sederhana (”simple febrile convulsion”)
Modifikasi criteria Livingston
untuk membuat diagnosis kejang demam sederhana adalah:
·
Umur
anak ketika kejang antara 6 bulan dan 4 tahun.
·
Kejang
berlangsung hanya sebentar, tidak lebih dari 15 menit.
·
Kejang
bersifat umum.
·
Kejang
timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam.
·
Pemeriksaan
saraf sebelum dan sesudah kejang normal.
·
Pemeriksaan
EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal tidak menunjukkan
kelainan.
·
Frekuensi
bangkitan kejang di dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali.
2.
Epilepsi yang diprovokasi oleh demam (“epilepsy
triggered of by fever”)
Kejang demam yang tidak memenuhi salah satu atau lebih dari ketujuh
kriteria modifikasi Livingston.
2.4 Pemeriksaan
Pemeriksaan cairan cerebrospinal dilakukan untuk
menyingkirkan kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang
pertama. Pada bayi-bayi kecil seringkali gejala meningitis tidak jelas sehingga
fungsi lumbal harus dilakukan pada bayi berumur kurang dari 6 bulan, dan
dianjurkan untuk yang berumur kurang dari 18 bulan. Elektroenselografi (EEG) ternyata kurang mempunyai
nilai prognostik. EEG abnormal tidak dapat digunakan untuk menduga kemungkinan
terjadinya epilepsi atau kejang demam berulang kemudian hari. Saat ini
pemeriksaan EEG tidak dianjurkan untuk pasien kejang demam sederhana.
Pemeriksaan laboratorium rutin tidak dianjurkan dan dikerjakan untuk
mengevaluasi sumber infeksi (2).
2.5 Diagnosa
Diagnosis kejang demam dibuat berdasarkan (1):
a. Anamnesis (terpenting)
b. Pemeriksaan neurologis lain dalam batas
normal
·
Darah,
kadar glukosa, elektrolit serum, kreatinin serum
·
Transiluminasi
kepala
·
Fungsi
lumbal
·
Fundoskopi
Diagnosis banding:
Ø Meningitis
Ø Ensefalitis
Ø Abses otak
2.6 Penatalaksanaan (1)
Dalam penanggulangan kejang demam ada 4 faktor
yang perlu dikerjakan yaitu:
1.
Memberantas kejang secepat mungkin
Bila penderita datang dalam
keadaan status konvulsifus, obat pilihan utama adalah diazepam yang diberikan
secara intravena, dosis tidak melebihi 50 mg persuntikan. Odsis tergantung dari
berat badan, yaitu
·
kurang
dari 10 kg = 0,5-0,75 mg/kgBB dengan minimal dalam semprit 2,5 mg
·
10-20
kg = 0,5 mg/kgBB dengan minimal dalam semprit 7,5 mg
·
di
atas 20 kg = 0,5 mg/kgBB
Biasanya dosis rata-rata yang
terpakai 0,3 mg/kgBB/kali dengan maksimum 5 mg pada anak berumur kurang dari 5
tahun dan 10 mg pada anak yang lebih besar.
Setelah suntikan pertama
secara intravena ditunggu 15 menit, bila terdapat kejang diulangi dengan
suntikan kedua dengan dosis yang sama secara intravena juga. Setelah 15 menit
setelah suntikan kedua masih kejang, diberikan suntikan ketiga dengan dosis
yang sama tetapi pemberiannya secara intramuskular, dengan harapan kejang akan
berhenti. Bila tidak berhenti dapat diberikan fenobarbital atau paraldehide 4%
secara intravena.
Diazepam diberikan langsung
tanpa larutan pelarut dengan perlahan-lahan kira-kira 1 ml/menit dan pada bayi
sebaiknya diberikan 1 mg/menit. Pemberian diazepam secara intravena pada anak
kejang demam sering kali menyulitkan, cara pemberian yang mudah, sederhana dan
efektif melalui rektum. Hal ini dapat dilakukan oleh orangtua atau tenaga lain
yang mengetahui dosisnya. Dosis tergantung berat badan, yaitu:
·
berat
kurang dari 10 kg = 5 mg
·
berat
lebih dari 10 kg = 10 mg
Rata-rata pemakaian 0,4-0,6
mg/kgBB. Kemasan terdiri dari
5 mg dan 10 mg rektiol. Bila kejang tidak berhenti dengan dosis pertama dapat
diberikan lagi setelah menunggu 15 menit dengan dosis yang sama dan bila tidak
berhenti setelah ditunggu 15 menit dapat diberikan secara intravena dengan
dosis 0,3 mg/kgBB. Pemberian dilakukan pada anak/bayi dalam posisi
miring/menungging dan dengan rektiol yang ujungnya diolesi vaselin,
dimasukkanlah pipa saluran keluar rektiol ke rektum sedalam 3-5 cm. Kemudian
rektiol dipijat hingga kosong betul dan selanjutnya untuk beberapa menit lubang
dubur ditutup dengan cara merapatkan kedua muskulus gluteus.
Apabila diazepam tidak
tersedia dapat diberikan fenobarbital secara intramuskulus dengan dosis awal:
·
untuk
bayi baru lahir (neonatus) = 30 mg/kali
·
anak
1 bulan sampai 1 tahun = 50 mg/kali
·
umur
1 tahun ke atas = 75 mg/kali
Bila kejang tidak berhenti
setelah ditunggu 15 menit, dapat diulangi suntikan fenobarbital dengan dosis
untuk neonatus 15 mg, anak 1 bulan sampai 1 tahun 30 mg dan anak di atas 1
tahun 50 mg secara intramuskulus. Hasil yang terbaik adalah apabila tersedia
fenobarbital yang dapat diberikan secara intravena dengan dosis 5 mg/kgBB pada kecepatan
30 mg/menit.
Difenilhidantoin dipakai
sebagai obat pilihan pertama untuk menanggulani status konvulsifus karena tidak
mengganggu kesadaran dan tidak menekan pusat pernafasan, tetapi mengganggu
frekuensi dan irama jantung. Dosisnya adalah 18 mg/kgBB dalam infus dengan
kecepatan tidak lebih dari 50 mg/menit. Dengan dosis tersebut kadar terapeutik dalam darah akan menetap selama 24
jam.
Bila kejang tidak dapat
dihentikan dengan obat-obatan tersebut di atas maka sebaiknya penderita di
rawat di ruangan intensif untuk diberikan anestesi umum dengan tiopental yang
diberikan oleh seorang ahli anetesi.
2.
Pengobatan penunjang
Semua pakaian ketat dibuka,
posisi kepala sebaiknya dimiringkan untuk mencegah aspirasi isi lambung. Penting
sekali mengusahakan jlan nafas yang bebas agar oksigenisasi terjamin, kalau
perlu dilakukan intubasi atau trakeostomi. Pengisapan lendir dilakukan secara
teratur dan pengobatan ditambah dengan pemberian oksigen.
Fungsi vital seperti
kesadaran, suhu, tekanan darah, pernafasan dan fungsi jantung diawasai secara
ketat. Cairan intravena sebaiknya diberikan dengan monitoring untuk kelainan
metabolik dan elektrolit. Bila terdapat tanda tekanan intrakranial yang
meninggi jangan diberikan cairan dengan kadar natrium yang terlalu tinggi. Bila
suhu meninggi (hiperpieksia) dilakukan hibernasi dengan kompres es atau
alkohol. Obat untuk hibernasi adalah klorpromazin 2-4 mg/kgBB/hari dibagi dalam
3 dosis; prometazin 4-6 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis secara suntikkan.
Untuk mencegah terjadinya
edema otak, diberikan kortikosteroid, yaitu dengan dosis 20-30 mg/kgBB/hari
dibagi dalam 3 dosis atau sebaliknya glukokortikoid misalnya deksametazon 0,5-1
ampul setiap 6 jam sampai keadaan membaik.
3.
Pengobatan rumat
Setelah kejang diatasi harus
disusul dengan pengobatan rumat. Daya kerja diazepam sangat singkat yaitu
berkisar 45-60 menit sesudah disuntik. Oleh sebab itu harus diberikan obat
antiepileptik dengan daya kerja yang lebih lama misalnya fenobarbital atau
difenilhidantoin.
Pengobatan ini dibagi atas dua
bagian, yaitu:
·
Profilaksis
intermiten
Untuk mencegah terulangnya kejang
kembali dikemudian hari, penderita yang menderita kejang demam sederhana,
diberikan obat campuran antikonvulsan dan antipiretika, yang harus diberikan
kepada anak bila menderita demam lagi.
·
Profilaksis
jangka panjang
Profilaksis jangka panjang
gunanya untuk menjamin terdapanya dosis terapeutik yang stabil dan cukup di
dalam darah penderita untuk mencegah terulangnya kejang dikemudian hari.
4.
Mencari dan mengobati penyebab
Penyebab dari kejang demam
baik kejang demam sederhana maupun epilepsi yang diprovokasi oleh demam
biasanya infeksi traktus respiratorius bagian atas dan otitis medis akut.
Pemberian antibiotik yang tepat dan adekuat perlu untuk mengobati infeksi
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
1. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Ilmu
Kesehatan Anak 2, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Jakarta, 1985, Hal. 847-850.
2. Mansjoer, A., Kapita Selekta Kedokteran, Edisi III, Jilid II, Media Aesculapius, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2000, Hal. 434-436.
3.
Drug Information,
15th Ed., America Society of Healthy-System
Inc., Winconsin avenue,
2002, Hal. 2126.
4.
Martindale The
Extra Pharmacopeia, 32th ed., Pharmaceutical Convention, Rockville, Hal. 74, 152.
5.
Muri, D.Gregory, Antimicrobial
Use Guidelines, University of Wisconsion
Hospital, Twelfth Ed.,
Farmedi, 2001, Hal.2
6.
Dollery, C., Therapeutic
Drugs, Churcill Living Stone, New
York, 1991. Hal. P.13-15.
7. Formularium
Rumah Sakit M. Djamil,
Padang, 2003.
8. Drug Evaluation Annual 1991, AMA Drug,
1986. Hal.
9.
Stockley, I.H., Drug
Interactions, Third Edition, Balckwell Science, London, 1994.
10. Anonim,
Drug Interaction Facts, Second
Edition, Facts and Comparisons Division J.B. Lippincott Company, St. Louis,
Missiouri, USA, 1990.
No comments:
Post a Comment