Monday, August 24, 2015

LITERATUR Kejang demam



1 Batasan
            Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38oC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium (1).

2.2 Patofisiologi
            Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan suatu energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah glukosa. Sifat proses ini adalah oksidasi dimana oksigen disediakan dengan perantaraan fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskuler. Jadi sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah manjadi CO2 dan air (1).
            Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion Kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium (Na+) dan elektolit lainnya, kecuali ion Klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ tinggi dalam sel neuron dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di lur sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel (1).
Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya (1):
1.      Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.
2.      Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya.
3.      Perubahan patologis dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada seorang anak berumur 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh, dibanding orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu, dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya pelepasan muatan listrik. Lepasnya muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmiter dan terjadilah kejang (1).
Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang seorang anak yang menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38oC sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40oC atau lebih. Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam penggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang (1).
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umunya tidak berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai terjadinya apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, herkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat disebabkan meningkatnya aktivitas otot dan selanjutnya mengakibatkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian di atas adalah faktor penyebab hingga terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang lama. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meninggikan permebialitas kapiler dan timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak (1).
Kerusakan pada daerah mesial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi ”matang” di kemudian hari, sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak hingga terjadi epilepsi (1).
2.3 Gejala Klinis
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf pusat, misalnya tonsilitis, otitis media akuta, bronkitis, furonkulosis dan lain-lain. Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat denagn sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau akinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak akan terbangun dan sadar kembali tanpa adanya kelainan saraf (1).
Livingston (1954-1963) membuat kriteria dan membagi kejang demam atas 2 golongan, yaitu:
1.      Kejang demam sederhana (”simple febrile convulsion”)
Modifikasi criteria Livingston untuk membuat diagnosis kejang demam sederhana adalah:
·         Umur anak ketika kejang antara 6 bulan dan 4 tahun.
·         Kejang berlangsung hanya sebentar, tidak lebih dari 15 menit.
·         Kejang bersifat umum.
·         Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam.
·         Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal.
·         Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal tidak menunjukkan kelainan.
·         Frekuensi bangkitan kejang di dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali.
2.      Epilepsi yang diprovokasi oleh demam (“epilepsy triggered of by fever”)
Kejang demam yang tidak memenuhi salah satu atau lebih dari ketujuh kriteria modifikasi Livingston.

2.4 Pemeriksaan
            Pemeriksaan cairan cerebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Pada bayi-bayi kecil seringkali gejala meningitis tidak jelas sehingga fungsi lumbal harus dilakukan pada bayi berumur kurang dari 6 bulan, dan dianjurkan untuk yang berumur kurang dari 18 bulan. Elektroenselografi (EEG) ternyata kurang mempunyai nilai prognostik. EEG abnormal tidak dapat digunakan untuk menduga kemungkinan terjadinya epilepsi atau kejang demam berulang kemudian hari. Saat ini pemeriksaan EEG tidak dianjurkan untuk pasien kejang demam sederhana. Pemeriksaan laboratorium rutin tidak dianjurkan dan dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi (2).

2.5 Diagnosa
            Diagnosis kejang demam dibuat berdasarkan (1):
a.       Anamnesis (terpenting)
b.      Pemeriksaan neurologis lain dalam batas normal
·         Darah, kadar glukosa, elektrolit serum, kreatinin serum
·         Transiluminasi kepala
·         Fungsi lumbal
·         Fundoskopi
Diagnosis banding:
Ø  Meningitis
Ø  Ensefalitis
Ø  Abses otak

2.6 Penatalaksanaan (1)
            Dalam penanggulangan kejang demam ada 4 faktor yang perlu dikerjakan yaitu:
1.      Memberantas kejang secepat mungkin
Bila penderita datang dalam keadaan status konvulsifus, obat pilihan utama adalah diazepam yang diberikan secara intravena, dosis tidak melebihi 50 mg persuntikan. Odsis tergantung dari berat badan, yaitu
·         kurang dari 10 kg = 0,5-0,75 mg/kgBB dengan minimal dalam semprit 2,5 mg
·         10-20 kg = 0,5 mg/kgBB dengan minimal dalam semprit 7,5 mg
·         di atas 20 kg = 0,5 mg/kgBB
Biasanya dosis rata-rata yang terpakai 0,3 mg/kgBB/kali dengan maksimum 5 mg pada anak berumur kurang dari 5 tahun dan 10 mg pada anak yang lebih besar.
Setelah suntikan pertama secara intravena ditunggu 15 menit, bila terdapat kejang diulangi dengan suntikan kedua dengan dosis yang sama secara intravena juga. Setelah 15 menit setelah suntikan kedua masih kejang, diberikan suntikan ketiga dengan dosis yang sama tetapi pemberiannya secara intramuskular, dengan harapan kejang akan berhenti. Bila tidak berhenti dapat diberikan fenobarbital atau paraldehide 4% secara intravena.
Diazepam diberikan langsung tanpa larutan pelarut dengan perlahan-lahan kira-kira 1 ml/menit dan pada bayi sebaiknya diberikan 1 mg/menit. Pemberian diazepam secara intravena pada anak kejang demam sering kali menyulitkan, cara pemberian yang mudah, sederhana dan efektif melalui rektum. Hal ini dapat dilakukan oleh orangtua atau tenaga lain yang mengetahui dosisnya. Dosis tergantung berat badan, yaitu:
·         berat kurang dari 10 kg = 5 mg
·         berat lebih dari 10 kg = 10 mg
Rata-rata pemakaian 0,4-0,6 mg/kgBB. Kemasan terdiri dari 5 mg dan 10 mg rektiol. Bila kejang tidak berhenti dengan dosis pertama dapat diberikan lagi setelah menunggu 15 menit dengan dosis yang sama dan bila tidak berhenti setelah ditunggu 15 menit dapat diberikan secara intravena dengan dosis 0,3 mg/kgBB. Pemberian dilakukan pada anak/bayi dalam posisi miring/menungging dan dengan rektiol yang ujungnya diolesi vaselin, dimasukkanlah pipa saluran keluar rektiol ke rektum sedalam 3-5 cm. Kemudian rektiol dipijat hingga kosong betul dan selanjutnya untuk beberapa menit lubang dubur ditutup dengan cara merapatkan kedua muskulus gluteus.
Apabila diazepam tidak tersedia dapat diberikan fenobarbital secara intramuskulus dengan dosis awal:
·         untuk bayi baru lahir (neonatus) = 30 mg/kali
·         anak 1 bulan sampai 1 tahun = 50 mg/kali
·         umur 1 tahun ke atas = 75 mg/kali
Bila kejang tidak berhenti setelah ditunggu 15 menit, dapat diulangi suntikan fenobarbital dengan dosis untuk neonatus 15 mg, anak 1 bulan sampai 1 tahun 30 mg dan anak di atas 1 tahun 50 mg secara intramuskulus. Hasil yang terbaik adalah apabila tersedia fenobarbital yang dapat diberikan secara  intravena dengan dosis 5 mg/kgBB pada kecepatan 30 mg/menit.
Difenilhidantoin dipakai sebagai obat pilihan pertama untuk menanggulani status konvulsifus karena tidak mengganggu kesadaran dan tidak menekan pusat pernafasan, tetapi mengganggu frekuensi dan irama jantung. Dosisnya adalah 18 mg/kgBB dalam infus dengan kecepatan tidak lebih dari 50 mg/menit. Dengan dosis tersebut kadar terapeutik dalam darah akan menetap selama 24 jam.
Bila kejang tidak dapat dihentikan dengan obat-obatan tersebut di atas maka sebaiknya penderita di rawat di ruangan intensif untuk diberikan anestesi umum dengan tiopental yang diberikan oleh seorang ahli anetesi.
2.      Pengobatan penunjang
Semua pakaian ketat dibuka, posisi kepala sebaiknya dimiringkan untuk mencegah aspirasi isi lambung. Penting sekali mengusahakan jlan nafas yang bebas agar oksigenisasi terjamin, kalau perlu dilakukan intubasi atau trakeostomi. Pengisapan lendir dilakukan secara teratur dan pengobatan ditambah dengan pemberian oksigen.
Fungsi vital seperti kesadaran, suhu, tekanan darah, pernafasan dan fungsi jantung diawasai secara ketat. Cairan intravena sebaiknya diberikan dengan monitoring untuk kelainan metabolik dan elektrolit. Bila terdapat tanda tekanan intrakranial yang meninggi jangan diberikan cairan dengan kadar natrium yang terlalu tinggi. Bila suhu meninggi (hiperpieksia) dilakukan hibernasi dengan kompres es atau alkohol. Obat untuk hibernasi adalah klorpromazin 2-4 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis; prometazin 4-6 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis secara suntikkan.
Untuk mencegah terjadinya edema otak, diberikan kortikosteroid, yaitu dengan dosis 20-30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis atau sebaliknya glukokortikoid misalnya deksametazon 0,5-1 ampul setiap 6 jam sampai keadaan membaik.
3.      Pengobatan rumat
Setelah kejang diatasi harus disusul dengan pengobatan rumat. Daya kerja diazepam sangat singkat yaitu berkisar 45-60 menit sesudah disuntik. Oleh sebab itu harus diberikan obat antiepileptik dengan daya kerja yang lebih lama misalnya fenobarbital atau difenilhidantoin.
Pengobatan ini dibagi atas dua bagian, yaitu:
·         Profilaksis intermiten
Untuk mencegah terulangnya kejang kembali dikemudian hari, penderita yang menderita kejang demam sederhana, diberikan obat campuran antikonvulsan dan antipiretika, yang harus diberikan kepada anak bila menderita demam lagi.
·         Profilaksis jangka panjang
Profilaksis jangka panjang gunanya untuk menjamin terdapanya dosis terapeutik yang stabil dan cukup di dalam darah penderita untuk mencegah terulangnya kejang dikemudian hari.
4.      Mencari dan mengobati penyebab
Penyebab dari kejang demam baik kejang demam sederhana maupun epilepsi yang diprovokasi oleh demam biasanya infeksi traktus respiratorius bagian atas dan otitis medis akut. Pemberian antibiotik yang tepat dan adekuat perlu untuk mengobati infeksi tersebut.


DAFTAR PUSTAKA

1.      Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Ilmu Kesehatan Anak 2, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Jakarta, 1985, Hal. 847-850.

2.      Mansjoer, A., Kapita Selekta Kedokteran, Edisi III, Jilid II, Media Aesculapius, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2000, Hal. 434-436.

3.      Drug Information, 15th Ed., America Society of Healthy-System Inc., Winconsin avenue, 2002, Hal. 2126.

4.      Martindale The Extra Pharmacopeia, 32th ed., Pharmaceutical Convention, Rockville, Hal. 74, 152.

5.      Muri, D.Gregory, Antimicrobial Use Guidelines, University of Wisconsion Hospital, Twelfth Ed., Farmedi, 2001, Hal.2

6.      Dollery, C., Therapeutic Drugs, Churcill Living Stone, New York, 1991. Hal. P.13-15.

7.      Formularium Rumah Sakit M. Djamil, Padang, 2003.

8.      Drug Evaluation Annual 1991, AMA Drug, 1986. Hal.

9.      Stockley, I.H., Drug Interactions, Third Edition, Balckwell Science, London, 1994.

10.  Anonim, Drug Interaction Facts, Second Edition, Facts and Comparisons Division J.B. Lippincott Company, St. Louis, Missiouri, USA, 1990.

No comments:

Post a Comment