Batasan
Patofisiologi
Klasifikasi hispatologi karsinoma
tiroid epitel adalah:
1. Adenokarsinoma berdeferesiansi baik,
terdiri dari:
·
Papiler
·
Folikuler
·
Campuran
papiler dan folikuler
2. Adenokarsinoma berdeferensiasi buruk,
terdiri dari:
·
Karsinoma sel kecil (small cell carsinoma)
·
Karsinoma sel besar (giant cell carsinoma)
·
Karsinoma sel spindle (spindle cell carsinoma)
3.
Karsinoma meduler
4.
Karsinoma sel skuamosa
Sedangkan klasifikasi hispatologi karsinoma tiroid non epitel adalah
limfoma, metastatik tumor, teratoma malignan, dan yang tidak dapat
diklasifikasikan.
Gejala Klinis
Gejala klinis tiroid adalah sebagai berikut:
1. Kista bisa cepat membesar, nodul jinak
perlahan, sedang nodul ganas agak cepat, dan nodul anplastika cepat sekali
(dihitung dalam minggu), tanpa nyeri.
2. Terdapat faktor resiko, yaitu:
·
Masa
kanak pernah mendapat terapi sinar di bawah leher atau sekitarnya.
·
Anggota
keluarga lainnya menderita kelainan kelenjer gondok (endemis).
·
Tetangga
atau penduduk sekampungnya ada menderita kelainan kelenjer gondok endemis.
3. Merasakan adanya gangguan mekanik di
daerah leher, seperti gangguan menelan yang menunjukkan adanya desakan
esophagus, atau perasaan sesak yang menunjukkan adanya desakan/infiltrasi ke
trakea.
4. Pembesaran kelenjer getah bening didaerah
leher (mungkin metastatis).
5. Penonjolan atau kelainan tulang tempurung
kepala (metastatis di tengkorak)
6. Persaan sesak dan batuk-batuk yang
disertai dahak berdarah (*metastatis di paru-paru bagi jenis folikular)
2.4 Anamnesis
Anamnesis
(keterangan riwayat penyakit) merupakan bagian penting dalam menegakkan
diagnosis. Pasien dengan nodul tiroid nontoksik baik jinak maupun ganas,
biasanya datang dengan keluhan kosmetik atau takut timbulnya keganasan.
Sebagian besar keganasan tiroid tidak menimbulkan keluhan, kecuali jenis
anaplastik yang sangat cepat membesar dalam beberapa minggu saja. Pasien biasanya mengeluh
adanya gejala penekanan pada jalan napas (sesak) atau pada jalan makanan (sulit
menelan). Pada nodul dengan adanya perdarahan atau disertai infeksi, bisa
menimbul keluhan nyeri. Keluhan lain pada keganasan tiroid yang mungkin timbul
adalah suara serak.
2.5 Pemeriksaan
a. Pemeriksaan
Fisik
Perlu
dibedakan antara nodul tiroid jinak dan ganas. Yang jinak, dari riwayat
keluarga: nodul jinak, strumadifus, multinoduler. Pertumbuhannya relatif
besarnya tetap. Konsistensinya lunak, rata dan tidak terfiksir. Gejala
penekanan dan penyebarannya tidak ada.
Sedangkan
yang ganas, dari riwayat keluarga: karsinoma medulare, nodul soliter, Usia
kurang dari 20 tahun atau di atas 60 tahun. Pria berisiko dua kali daripada wanita
dan riwayat terekspos radiasi leher. Pertumbuhannya cepat membesar. Konsistensi, padat, keras,
tidak rata dan terfiksir. Gejala penekanan, ada gangguan menelan dan suara
serak. Penyebarannya terjadi pembesaran kelenjar limfe leher.
b. Pemeriksaan
Penunjang
Pemeriksaan
penunjang diagnostik untuk mengevaluasi nodul tiroid dapat berupa pemeriksaan
laboratorium untuk penentuan status fungsi dengan memeriksa kadar TSHs dan
hormon tiroid, pemeriksaan Ultrasonografi, sidik tiroid, CT scan atau MRI,
serta biopsi aspirasi jarum halus dan terapi supresi Tiroksin untuk diagnostik.
·
Pemeriksaan laboratorium
Dimaksudkan
untuk memperoleh hasil pemeriksaan fungsi tiroid baik hipertiroid maupun
hipotiroid tidak menyingkirkan kemungkinan keganasan. Pemeriksaan TSH
yang meningkat berguna untuk tiroiditis. Pemeriksaan kadar antibodi
antitiroid peroksidase dan antibodi antitiroglobulin penting untuk
diagnosis tiroiditis kronik Hashimoto yang sering timbul nodul
uni/bilateral. Sehingga masih mungkin terdapat keganasan.
Pemeriksaan
calcitonin merupakan pertanda untuk kanker tiroid jenis medulare,
sedangkan pemeriksaan kadar tiroglobulin cukup sensitif untuk keganasan
tiroid tetapi tidak spesifik. Karena bisa ditemukan pada keadaan lain seperti
tiroiditis dan adenoma tiroid.
·
Pemeriksaan Ultrasonografi
Pemeriksaan
dengan menggunakan USG merupakan pemeriksaan noninvasif dan ideal. Khususnya
dengan menggunakan ''high frequency real-time'' (generasi baru USG). Dengan
alat ini akan diperoleh gambaran anatomik secara detail dari nodul tiroid, baik
volume (isi), perdarahan intra-noduler, serta membedakan nodul
solid/kistik/campuran solid-kistik. Gambaran yang mengarah keganasan seperti
massa solid yang hiperkoik, irregularitas, sementara gambaran neovaskularisasi
dapat dijumpai pada pemeriksaan dengan USG.
Dari
satu penelitian USG nodul tiroid didapatkan 69% solid, 12% campuran dan 19%
kista. Dari kista
tersebut hanya 7% yang ganas, sedangkan dari nodul yang solid atau campuran
berkisar 20%.
·
Pemeriksaan sidik tiroid
Pemeriksaan tersebut dapat memberikan gambaran
morfologi fugsional, berarti hasil pencitraan merupakan refleksi dari fungsi
jaringan tiroid. Bahan radioaktif yang digunakan I-131 dan Tc-99m.
Pada
sidik tiroid 80-85% nodul tiroid memberikan hasil dingin (cold), sedangkan
10-15% mempunyai risiko ganas. Nodul panas (hot) dijumpai sekitar 5% dengan
risiko ganas paling rendah, sedang nodul hangat (warm) 10-15% dari seluruh nodul
dengan risiko ganas kurang dari 10%.
·
Pemeriksaan CT scan dan MRI
Pemeriksaan CT scan (Computed Tomographic scanning) dan MRI (Magnetic
Resonance Imaging) tidak direkomendasikan untuk evaluasi keganasan tiroid. Karena disamping tidak
memberikan keterangan berarti untuk diagnosis, juga sangat mahal. CT scan atau
MRI baru diperlukan bila ingin mengetahui adanya perluasan struma substernal
atau terdapat kompresi/penekanan pada jalan nafas.
·
Pemeriksaan Biopsi Aspirasi Jarum Halus
Pemeriksaan ini dianggap sebagai metode yang
efektif untuk membedakan nodul jinak atau ganas pada nodul tiroid yang soliter
maupun pada yang multinoduler. Dilaporkan pemeriksaan biopsi aspirasi jarum
halus ini mempunyai sensitivitas sebesar 83% dan spesifisitas 92%. Angka
negatif palsu sekitar 1-6% dan positif palsu sekitar 1%. Ini bisa karena kesalahan pengambilan
sampel (nodul kurang 1 cm atau lebih 4 cm). Hasil biopsi aspirasi jarum halus
dapat digolongkan dalam 4 kategori, yakni jinak, mencurigakan, ganas dan tidak
adekuat.
·
Terapi supresi Tiroksin (untuk
diagnostik)
Rasionalisasi dari tindakan ini adalah bahwa
TSH merupakan stimulator kuat untuk fungsi kelenjar tiroid dan pertumbuhannya.
Tes ini akan meminimalisasi hasil negatif palsu pada biopsi aspirasi jarum
halus. Dengan
cara ini diharapkan dapat memilah nodul yang memberi respon dan tidak. Kelompok
terakhir ini lebih besar kemungkinan ganasnya. Tetapi dengan adanya reseptor
TSH di sel kanker tiroid, terapi tersebut akan memberikan pengecilan nodul pada
13-15% kasus.
Diagnosa
Secara klinis ditegakkan
diagnosis struma nodosa dengan persangkaan jinak atau ganas. Diagnosa yang diperoleh dapat berupa:
·
Kelainan
yang bukan neoplasma
·
Neoplasma
jinak
·
Neoplasma
ganas
Bila diagnosisnya suatu proses
keganasan tiroid, maka harus dinilai apakah masih operable ataukah sudah non
operable.
Diagnosis pasti dengan hispatologio.
Sediaan dapat diperoleh dengan pemeriksaan potongan beku atau pemeriksaan
dengan parafin coupe (gold standard).
Diagnosis Banding
1. Struma difusa toksik merupakan pembesaran
kelenjer tiroid yang umumnya difusa. Terdapat gejala hipertiroid yang jelas
berupa berdebar-debar, gelisah, palpitasi, banyak keringat, kulit halus dan
hangat, tremor, kadang-kadang dijumpai eksiofalmus, dll.
2. Struma nodosa non toksik, dapat multidosa
atau soliter dan unidosa. Disebabkan kekurangan masukan iodium dalam makanan
(biasanya di daerah pegunungan) atau dishomogenesis (defek bawaan).
3. Thyroditis sub akut, biasanya sehabis
infeksi saluran pernafasan. Pembesaran yang terjadi simetris dan nyeri dengan
gejala-gejala penurunan berat badan, nervositas, disfagia, dan otalgia.
4. Thyroiditis Riedel, terutama pada wanita
berusia lebih dari 20 tahun. Gejalanya terdapat nyeri, disfagia, paralis
laring, dan pembesaran tiroid unilateral yang keras seperti batu atau papan
yang melekat kejaringan sekitarnya.
5. Struma Hashimoto, sering pada wanita
merupakan penyakit autoimun. Biasanya ditandai dengan adanya benjolan struma
difusa disertai keadaan hipotiroid, tanpa rasa nyeri. Pada kasus yang jarang
dapat terdi hipertiroid.
6. Adenoma para tiroid, biasanya tidak teraba
dan terdapat perubahan kadar kalsium dan fosfor.
7. Metastatis tumor.
8. Teratoma, biasanya pada anak-anak dan
berbatasan dengankelenjer tiroid.
9. Limfoma malignum.
Penatalaksanaan
·
Operasi
Pada Kanker Tiroid yang masih berdeferensiasi baik,
tindakan tiroidektomi (operasi pengambilan tiroid) total merupakan pilihan
untuk mengangkat sebanyak mungkin jaringan tumor. Pertimbangan dari tindakan ini antara
lain 60-85% pasien dengan kanker jenis papilare ditemukan di kedua lobus. 5-10%
kekambuhan terjadi pada lobus kontralateral, sesudah operasi unilateral. Terapi ablasi iodium radioaktif menjadi lebih efektif.
·
Terapi Ablasi
Iodium Radioaktif
Terapi ini diberikan pada pasien yang sudah
menjalani tiroidektomi total dengan maksud mematikan sisa sel kanker post
operasi dan meningkatkan spesifisitas sidik tiroid untuk deteksi kekambuhan
atau penyebaran kanker. Terapi ablasi tidak dianjurkan pada pasien dengan tumor
soliter berdiameter kurang 1mm, kecuali ditemukan adanya penyebaran.
·
Terapi Supresi L-Tiroksin
Supresi terhadap TSH pada kanker tiroid
pascaoperasi dipertimbangkan. Karena adanya reseptor TSH di sel kanker tiroid
bila tidak ditekan akan merangsang pertumbuhan sel-sel ganas yang tertinggal.
Harus juga dipertimbangkan segi untung ruginya dengan terapi ini. Karena pada
jangka panjang (7-15 tahun) bisa menyebabkan gangguan metabolisme tulang dan
bisa meningkatkan risiko patah tulang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Merdikoputro, D., Sulit Dibedakan Kanker Tiroid
Jinak dan Ganas, http//www.suara merdeka.com, 2005.
2. Mansjoer, A., Kapita Selekta Kedokteran, Edisi III, Jilid I, Media Awsculapius, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2000.
3.
The Martindale
Extra Pharmacopeia, Ed.28, Pharmaceutical Press, London, 1996.
4. Dollery,
C., Therapeutic Drugs, Churcill
Living Stone, New York,
1991. Hal.C.130-131
5.
AHFS, Drug Information,
15th Ed., American Society of Healthy-System Inc., Winconsin avenue,
2002, Hal.1987, 1993-1999.
6.
Vermuelen, L., G. DeMuri, D. Maki, G. Mejicano, E.
Smith, C. Spiegel, and T. Rough, Antimicrobial
Use Guidelines, Twelfth Ed., Farmedia, Jakarta, 2000, Hal.17, 94.
7.
Antibiotic
Guidelines, 6th Ed., Victoria Medical Postgraduate Foundation
Inc., Australia,
1991, Hal. 72.
8.
Daftar Plafon
Harga Obat, PT. ASKES, 2006.
9.
Formularium Rumah
Sakit M. Djamil, Padang,
2003.
10. Stockley,
I.H., Drug Interactions, Third
Edition, Balckwell Science, London,
1994. Hal. 875, 898-899.
No comments:
Post a Comment