Tuesday, August 25, 2015

PENGARUH METABOLIT OBAT TERHADAP FARMAKOKINETIK DAN FARMAKODINAMIK



PENGARUH METABOLIT OBAT TERHADAP FARMAKOKINETIK DAN FARMAKODINAMIK

Banyak contoh obat yang setelah mengalami proses metabolisme di tubuh menghasilkan metabolit aktif. Senyawa induk obat tersebut disebut pro-drug, yang pada in vitro tidak menimbulkan aktivitas biologis. Pro-drug  bersifat labil, di dalam tubuh (in vivo) mengalami perubahan, melalui proses kimia atau enzimatik, menjadi senyawa aktif, kemudian berinteraksi dengan reseptor menghasilkan respon farmakologis.
Adapun factor-farmakodinamik yang mempengaruhi aktifitas metabolisme obat, yaitu :
1        Sitokrom P450 yang merupakan enzim pereduksi
2        Pembentukan metabolit yang dapat memberikan efek farmakologi yang lebih kompleks dibanding obat awalnya.
3        Lokasi atau tempat kerja dari metabolit yang dihasilkan.
4        Perbedaan antara profil farmakokinetik dan farmakodinamik dari metabolit aktif dan obat awal. Perbedaan ini menyebabkan  konsentrasi dan intensitas efek farmakologik metabolit dan obat awal sulit dibedakan.
Efek obat kadang-kadang ditimbulkan oleh metabolitnya. Metabolit itu mempunyai peran penting sebagai obat oleh karena :
a.      Metabolit kemungkinan menimbulkan toksisitas atau efek samping lebih rendah dibanding pro-drugnya.
b.      Secara umum metabolit mengurangi variasi respon klinik dalam populasi yang disebabkan perbedaan kemampuan metabolisme oleh individu-individu atau oleh adanya penyakit tertentu.
Metabolisme obat
Organ utama yang bertanggung jawab untuk biotransformasi obat adalah hati. Akan tetapi jaringan intestine, paru dan ginjal juga mengandung sejumlah enzim biotransformasi. Jaringan lain dan mikroflora intestine dapat pula berperan dalam biotransformasi obat.
Proses biotransformasi difasilitasi oleh enzim yang akan mengubah obat yang bersifat lipofilik menjadi yang larut air. Metabolit yang larut air, cenderung membentuk ion pada pH fisiologik manusia dan lebih siap untuk diekresikan oleh ginjal. Reaksi biotranformasi dikelompokkan jadi dua, yaitu reaksi kimia fase I dan fase II. Reaksi fase I menghasilkan metabolit  yang lebih polar dari pada metabolit awalnya. Reaksi fase I terdiri dari reaksi oksidasi, reduksi dan hidrolisis. Sedangkan reaksi fase II merupakan reaksi konjugasi antara obat awal atau metabolit yang dihasilkan dengan substrat endogen seperti asam glukoronat, sulfat dan glisin. Metilasi dan asetilasi juga termasuk dalam reaksi konjugasi fase II.
System enzim mikrosomal hati yang berperan dalam biotransformasi obat terletak di dalam Retikulum Endoplasma halus di sel hepatosit. Konjugasi glukoronidase dan reaksi oksidase lainnya dikatalisis oleh enzim-enzim mikrosomial tersebut. Meskipun tidak terlalu dibutuhkan, pengaruh solubilitas suatu obat dalam lemak merupakan factor penting dari obat-obat yang dimetabolisme oleh sistem mikrosomal.
Enzim non mikrosomal seperti halnya enzim mikrosomal,mempunyai kemampuan untuk mengkatalisis hidrolisis dari suatu obat. Pengaruh patologi seperti halnya penyakit hati dapat mempengaruhi biotransformasi obat secara signifikan. Sebagai contoh sirosis.
Biotransformasi obat-obat dapat digolongkan menurut aktivitas farmakologik dari metabolit atau menurut mekanisme biokimia untuk setiap reaksi biotransformasi. Untuk sebagian besar biotransformasi obat-obat dihasilkan bentuk metabolit yang lebih polar yang tidak aktif secara farmakologik dan dieliminasi lebih cepat daripada obat induknya. Untuk beberapa obat, metabolit dapat aktif secara farmakologik atau menghasilkan efek toksik.
Untuk sebagian besar reaksi biotransformasi,metabolit obat adalah lebih polar daripada senyawa induk. Pengubahan obat menjadi metabolit yang lebih polar memungkinkan obat tereliminasi lebih cepat dibandingkan bila obat larut dalam lemak.
Aliran darah ke hati memegang peranan penting dalam jumlah obat termetabolisme sesudah pemberian oral. Perubahan aliran darah ke hati secara substansial mengubah prosen obat termetabolisme dan dengan demikian mengubah prosen obat yang terdapat dalam sistemik.
Sistem P-450 adalah sebuah keluarga enzim (isozim) yang terjadi dalam kebanyakan sel, tetapi terutama sangat banyak dalam hati. Banyak obat dapat menginduksi peningkatan kadar sitokrom P-450, yang menyebabkan suatu peningkatan kecepatan metabolisme obat penginduksi tersebut atau obat-obat lain yang dibiotransformasi oleh system P-450. Banyak obat  menghambat  system P-450 dan bisa memperkuat kerja obat lain yang dimetabolisme oleh enzim sitokrom.
Signifikan klinik dari polimorfi genetic, yang terkait dengan debrisoquin hidroksilase atau secara genetic diregulasi oleh system metabolisme obat, adalah beberapa konsekuansi metabolit yang biasa terjadi. Enzim mungkin meng-inaktifkan obat aktif, produk metabolit aktif dari suatu prekursor inaktif ( pro-drug ), atau mungkin akan membentuk metabolit aktif dari metabolit aktif yang lainnya. Sebagian dari akumulasi obat induk dan metabolit aktif,  metabolizers yang lambat akan mendemonstrasikan kecenderungan untuk mengurangi pembentukan metabolit aktif. Hasil farmakokinetik dari proses ini adalah untuk menaikkan variasi dalam Clearance obat. Peningkatan dalam variasi ini akan diekspresikan sebagai variasi farmakodinamik, dan ini akan ditingkatkan jika jalur yang digunakan adalah jalur metabolit utama. Beberapa karakteristik dari sitokrom P-450 merupakan isoenzim yang bertanggung jawab terhadap debrisoquin hidroksilasi
Polimorfi pembentukan N-asetilasi dikenal pertama kali tahun 1950 dengan isoniazid untuk tuberculosis paru pada pasien. Dari beberapa karakteristik yang dikenal mencakup autosomal resesif tidak diwariskan, dimana tidak ada perbedaan gender dan tidak ada perbedaan warna kulit Amerika putih dan hitam. Polimorfi ini terkait dengan perbedaan aktivitas N-asetiltransferase. Beberapa terapeutik sebagaimana  campuran senyawa-senyawa di lingkungan  adalah substrat untuk N-asetiltransferase.
Karakteristik individual sebagai asetilator cepat atau asetilator lambat dan mungkin akan lebih didefinisikan secara etis daripada debrisoquin hidroksilase. Bagaimanapun, ketika ke metabolisme obat, polimorfi terjadi dalam hubungan antara sistem sitokrom     P-450 dengan konsekuensi farmakodinamik.
Apakah seorang individu itu adalah asetilator cepat/lambat akan mengalami beberapa keterlibatan  ketika mengambil obat yang akan dimetabolisme oleh N-asetiltransferase. Dalam beberapa kasus yang jadi point adalah Isoniazid, yang mana asetilator lambat akan lebih dicondongkan untuk membentuk neurotoksik dan hepatotoksik. Sebaliknya asetilator cepat tidak akan berespon dengan baik untuk diterima treatment regimen.
Adanya genetik polimorfi dalam metabolisme obat, akan mengarah pada farmakokinetik signifikan dan variasi farmakodinamik. Pada genetik polimorfi penting dalam mendesain therapeutik regimen yang optimal, yang juga mempengaruhi desain dari fase      klinik 1.
Reaksi metabolt fase 2, prevalensi yang paling banyak yaitu asam konjugasi glucoronik. D- asam glucoronic diaktivasi oleh reaksi dengan uridine diphosphat (UDP) dan glukosa, yang mana berasal dari UDPGA. Pembentukan ini dikatalisasi oleh dehidrogenase dalam liver. Enzim mikrosomal, secara jelasnya glukoronil transferase, yang juga ditemukan dihati menyebabkan terjadinya interaksi antara UDPGA dan obat atau metabolit. Bagaimanapun, transferase seperti itu adalah numerus, dan bisa ditemukan dalam jaringan yang bervariasi dan organ lain, seperti saluran gastrointestinal, ginjal, dan kulit, dan spesifitas dari transferase ke substrat yang sukar dimengerti.
Konjugasi dengan asam ini mengembangkan atau meningkatkan tujuan utama dari metabolisme, yaitu membuat obat dan produk metabolisme fase I lebih larut air dengan hidrofilik separuh karbohidrat. Produk dari konjugasi glukoronic cenderung menjadi asam daripada obat induk, yang memberikan kemampuan untuk mempenetrasi membran dan lebih mudah di eliminasi dari tubuh. Secara umum, property yang mendeaktivasiakan senyawa yang seperti ini dengan penerimaan dari rekonversi dengan b-glukoronidase. Perbaikan seperti ini bisa jadi toksik. Glucoronic adalah  eliminasi umum lewat ekskresi renal. Alkohol dan fenol cenderung membentuk eter glucoronoic, asam karboksilat dan alifatik membentuk ester.
 Farmakokinetika dari metabolit
Metabolit obat tertentu mempunyai kekuatan sangat tinggi dalam karakteristik disposisi, farmakokinetik, toksikologi dan farmakodinamik daripada obat induknya. Informasi farmakokinetika dari obat induk dan metabolit aktif merupakan hal yang penting sebelum dilakukan uji praklinik dan uji klinik yang dicobakan ke manusia, dan merupakan factor kritis dalam suatu rancangan obat pada fase 1 sebelum memasuki fase 2.
Beberapa metabolit mempunyai potensi menarik dan khusus. Dalam suatu contoh kita melihat beberapa dari angiotensin mengubah enzim inhibitor dari obat induk yang tidak aktiv (pro-drug) menjadi metabolit aktiv. Beberapa metabolit mempunyai cara yang sulit dimengerti dalam aksi mekanisme farmakologi yang berbeda-beda. Jika eliminasi metabolit adalah tahapan batasan kecepatan laju (waktu paroh dari metabolit adalah panjang daripada obat induknya), metabolit akan terakumulasi dalam tubuh. Beberapa contoh dari fenomena obat-obatan dan metabolitnya, seperti  diazepam dan desmethyldiazepam, procainamide dan N-acethylprocainamide.
First-pass hepatic metabolism mempunyai pengaruh yang signifikan/penting difarmakokinetika dan farmakodinamika dari obat induk dan metabolit aktif. Obat-obat dengan clearen  hati yang tinggi akan menjaga sehingga konsentrasi plasma dari metabolit itu yang lebih tinggi dan lebih cepat daripada obat induk. Farmakodinamik berakhir tergantung dari aktivitas obat induk dan metabolit setiap ikatan protein dan aliran darah kehati.
Interaksi Farmakokinetik dan Farmakodinamik dari Metabolit Aktif
Informasi yang berharga mengenai efek dari metabolit aktif obat pada data farmakodinamik bisa didapatkan dari penggunaan link model dari farmakodinamik dan farmakokinetik. Hasil studi model farmakodinamik dari metabolit aktif yang dipublikasikan oleh Meredith et al, yaitu trimazosin. Trimazosin dimetabolisme di hati (liver) melalui hidroksilasi menjadi metabolit aktif utama. Pada trimazosin, efek farmakodinamik dari metabolit aktif dideterminasikan dengan kecepatan pembentukan dan bukan eliminasi.
Ada banyak asumsi yang dibuat ketika pengujian pada metabolit aktif memproduksi anticlockwise hysteresis. Salah satu dari asumsi tersebut merupakan efek yang diatur dari efek tambahan obat induk dan metabolit aktif. Kekuatan dari efek sinergik tidak dapat terlihat jelas. Selalu terdapat kemungkinan bahwa metabolit tidak mempunyai aksi pada tempat reseptor yang sama dengan obat induk.
Pada hasil studi yang dilakukan oleh Valeriola et al., aktivitas sitotoksik plasma untuk daunorubicin dan metabolit aktifnya daunorubicinol, lebih tinggi daripada efek tambahan yang diharapkan dapat diprediksi pada beberapa pasien yang menjalani treatmen myeloblastic leukemia akut.

No comments:

Post a Comment