ANTIHISTAMIN (CETIRIZINE)
Pendahuluan
Antihistamin
H1 merupakan salah satu obat paling sering digunakan dan paling luas
digunakan di dunia pengobatan, khususnya bidang alergi. Kondisi ini
mengakibatkan perkembangan tehnologi kefarmasian terutama di bidang farmakologi molecular untuk
obat ini demikian pesat. Demikian pula dalam kasus gangguan alergi,
antihistamin adalah obat yang paling sering digunakan. Berbagai penyakit alergi
yang sering menggunakan obat antihistamin adalah dermatitis atopi,
rinitis alergi, asma, urtikaria dan sebagainya.
Sejak Bovet
dan Staub (1937) menemukan ikatan amine berisi ether phenolic yang bersifat
antagonis terhadap efek histamin pada reseptor H1, maka bahan tersebut kemudian
dikembangkan menjadi bahan obat antihistamin tahun 1940. Antihistamin yang aman
dan efektif untuk pengobatan pertama kali dilaporkan oleh Bovet dan Walthert
(1944) yang menggunakan mepyramine (phenothiazine) dan Leary menggunakan diphenhydramine untuk
pengobatan urtikaria kronik.Fakta menunjukkan antihistamin ini tidak seluruhnya
bisa menghambat efek histamin di mukosa lambung, ha1 ini menunjukkan adanya
reseptor histamin lain yang kemudian dikenal sebagai reseptor H2. Disusul
dengan didapatkannya reseptor H3 pada jaringan sistem syaraf pusat, syaraf
perifer dan bronkus serta reseptor Hic yang bekerja sebagai messenger
intraseluler berperan dalam pertumbuhan sel yang penerapannya di bidang
dermatologi belum diketahui. Semua antihistamin bekerja sebagai kompetitif
inhibitor terhadap histamin pada reseptor di jaringan dan beberapa diantaranya
ada yang mempunyai khasiat tambahan lain. Dalam perkembangannya dilakukan
substitusi pada cincin imidazole sehingga muncul antihistamin generasi II yang
tidak menembus sawar darah otak untuk mengurangi efek sedasi yang sering
mengganggu.
Perkembangan Antihistamin
Perubahan
dalam penggolongan antihistamin H1 yang dulu dikenal sebagai
antagonis reseptor histamin H1 saat ini digolongkan sebagai inverse
agonist ketimbang antagonis reseptor histamin H1. Disebut obat inverse
agonist bila terikat dengan sisi reseptor yang sama dengan agonis, namun
memberikan efek berlawanan. Jadi, obat ini memiliki aktivitas intrinsik
(efikasi negatif) tanpa bertindak sebagai suatu ligan. Sedangkan suatu
antagonis bekerja dengan bertindak sebagai ligan yang mengikat reseptor atau
menghentikan kaskade pada sisi yang ditempati agonis. Beda dengan inverse
agonist, suatu antagonis sama sekali tidak berefek atau tidak mempunyai
aktivitas intrinsik.
Penemuan
antihistamin H1 yang lebih spesifik tersebut, bisa menjadi
pertimbangan untuk pemberian obat secara tepat. Demikian juga dengan
perkembangan identifikasi serta pengelompokkan antihistamin. Sebelumnya
antihistamin dikelompokkan menjadi 6 grup berdasarkan struktur kimia, yakni
etanolamin, etilendiamin, alkilamin, piperazin, piperidin, dan fenotiazin.
Penemuan antihistamin baru yang ternyata kurang bersifat sedatif, akhirnya
menggeser popularitas penggolongan ini. Antihistamin kemudian lebih dikenal
dengan penggolongan baru atas dasar efek sedatif yang ditimbulkan, yakni
generasi pertama, kedua, dan ketiga.
Sebagai inverse
agonist, antihistamin H1 beraksi dengan bergabung bersama dan
menstabilkan reseptor H1 yang belum aktif, sehingga berada pada
status yang tidak aktif. Penghambatan reseptor histamine H1 ini bisa
mengurangi permiabilitas vaskular, pengurangan pruritus, dan relaksasi otot
polos saluran cerna serta napas. Tak ayal secara klinis, antihistamin H1
generasi pertama ditemukan sangat efektif berbagai gejala rhinitis alergi
reaksi fase awal, seperti rhinorrhea, pruritus, dan sneezing.
Tapi, obat ini kurang efektif untuk mengontrol nasal congestion yang
terkait dengan reaksi fase akhir.
Sementara
itu antihistamin generasi kedua dan ketiga memiliki profil farmakologi yang
lebih baik. Keduanya lebih selektif pada reseptor perifer dan juga bisa
menurunkan lipofilisitas, sehingga efek samping pada SSP lebih minimal. Di
samping itu, obat ini juga memiliki kemampuan antilergi tambahan, yakni sebagai
antagonis histamin. Antihistamin generasi baru ini mempengaruhi pelepasan
mediator dari sel mast dengan menghambat influks ion kalsium melintasi sel
mast/membaran basofil plasma, atau menghambat pelepasan ion kalsium
intraseluler dalam sel. Obat ini menghambat reaksi alergi dengan bekerja pada
leukotriene dan prostaglandin, atau dengan menghasilkan efek anti-platelet
activating factor.
Selain
berefek sebagai anti alergi, antihistamin H1 diduga juga memiliki efek anti
inflamasi. Hal ini terlihat dari studi in vitro desloratadine, suatu
antihistamin H1 generasi ketiga. Studi menunjukkan, desloratadine memiliki efek
langsung pada mediator inflamatori, seperti menghambat pelepasan
intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) oleh sel epitel nasal, sehingga
memperlihatkan aktivitas anti-inflamatori dan imunomodulatori. Kemampuan
tambahan inilah yang mungkin menjelaskan kenapa desloratadine secara signifikan
bisa memperbaiki nasal congestion pada beberapa double-blind,
placebo-controlled studies. Efek ini tak ditemukan pada generasi
sebelumnya, generasi pertama dan kedua. Sehingga perlu dilakukan studi lebih
lanjut untuk menguak misteri dari efek tambahan ini.
Generasi
pertama dan kedua berbeda dalam dua hal yang signifikan. Generasi pertama lebih
menyebabkan sedasi dan menimbulkan efek antikolinergik yang lebih nyata. Hal
ini dikarenakan generasi pertama kurang selektif dan mampu berpenetrasi pada
sistem saraf pusat (SSP) lebih besar dibanding generasi kedua. Sementara itu,
generasi kedua lebih banyak dan lebih kuat terikat dengan protein plasma,
sehingga mengurangi kemampuannya melintasi otak.
Sedangkan
generasi ketiga merupakan derivat dari generasi kedua, berupa metabolit
(desloratadine dan fexofenadine) dan enansiomer (levocetirizine).
Pencarian generasi ketiga ini dimaksudkan untuk memperoleh profil antihistamin
yang lebih baik dengan efikasi tinggi serta efek samping lebih minimal.
Faktanya, fexofenadine memang memiliki risiko aritmia jantung yang lebih rendah
dibandingkan obat induknya, terfenadine. Demikian juga dengan levocetirizine
atau desloratadine, tampak juga lebih baik dibandingkan dengan cetrizine atau
loratadine.
Pada garis
besarnya antihistamin dibagi dalam 2 golongan besar, yang menghambat reseptor
H1 dan yang menghambat reseptor H2. Yang lazim disebut antihistamin adalah
antagonis reseptor histamin H1 (AH1). Semua kelas antihistamin H1 struktur
kimianya menyerupai histamin. Antihistamin H1 dikelompokkan dalam AH1
tradisional atau konvensional (generasi I), dan AH1 non-sedatif (generasi I).
Mereka dibagi dalam beberapa subkelas.
- Alkilamin : Klorfeniramin, deksklorfeniramin, dimetinden, feniramin.
- Piperazin : Setirizin, homoklorsiklizin, hidroksizin, oksatomid.
- Etanolamin: difenhidramin, doksilamin. Karbinoksamin,
- Etilendiamin : tripelanamin, pirilamin. Antazolin,
- Piperidin Siproheptadin.
- Fenotiasin Prometasin.
- Lain-Lain : loratadin, mebhidrolin, terfenadin, ketotifen. Akrivastin, astemizol, azatadin, klemastin, levokobastin
- Golongan antihistamin generasi baru adalah setirizin, akrivastin, astemizol, levokobastin, loratadin, dan terfenadin.
CETIRIZINE
Antihistamin
yang saat ini menjadi perhatian para klinisi dan lebih mulai dipertimbangkan
dalam penggnaan klinis adalah Cetirizine yang merupakan antihistamin yang
sangat kuat dan spesifik. Cetirizine merupakan antagonis reseptor
histamin-1(H1) generasi kedua yang aman digunakan pada terapi alergi. Selain
mempunyai efek antihistamin, cetirizine juga mempunyai efek antiinflamasi. Efek
antiinflamasi cetirizine terutama ditunjukkan melalui penghambatan kemotaksis
sel inflamasi. Efek antiinflamasi cetirizine juga tercapai melalui penghambatan
ekspresi molekul adhesi yang berperan dalam proses penarikan sel inflamasi.
Cetirizine
merupakan metabolit aktif asam karboksilat dari antagonis reseptor H1 generasi
pertama yaitu hidroksizin. Efek samping yang dapat muncul yaitu somnolen yang
bersifat dose-dependent, sakit kepala dan masalah saluran cerna. Efek sistem
saraf pusat (SSP) dari antihistamin generasi memperpanjang interval QTc
dibandingkan plasebo. Reseptor H1 tersebar luas di berbagai sel, seperti sel
otot polos, sel endotel, sel mast, basofil dan eosinofil. Semua reseptor
tersebut mudah dicapai dari sirkulasi darah. Oleh karena itu, antagonis
reseptor H1 tidak memerlukan distribusi jaringan yang luas untuk aksi kerjanya.
Pada sel mast dan basofil, hasil akhirnya adalah pelepasan mediator. Target
antagonis H1 adalah reseptor eksternal, sehingga efek farmakologik dicapai
tanpa penetrasi sel dan tidak memerlukan penembusan kedua jarang terjadi, dibandingkan
dengan generasi pertama dan tidak berinteraksi dengan agen aktif lain di SSP
seperti diazepam. Cetirizine juga tidak mempunyai efek samping terhadap hepar
dan jantung.
Metabolit
cetirizine tidak diolah di hepar dan diekskresi ke urin dan feses dalam bentuk
yang tidak berubah. Penggunaan cetirizine selama 7 hari tidak membran sel atau
sitosol. Sebagian besar antagonis H1 tidak dapat melewati sawar darah otak,
namun beberapa obat dengan liposolubilitas yang tinggi dapat melewati sawar
tersebut. Dengan adanya volume distribusi yang rendah dari antagonis H1, maka
penembusan sawar darah otak dapat diminimalisasi. Selain mempunyai efek
antagonis terhadap reseptor H1, cetirizine juga mempunyai efek antiinflamasi.
Efek antiinflamasi cetirizine terutama ditunjukkan
melalui penghambatan migrasi eosinofil (in vivo) ke lokasi kulit yang
terstimulasi oleh alergen dan secara in vitro menghambat kemotaksis eosinofil
dan adhesi ke sel endotel kultur serta aktivasi platelet, juga mempengaruhi
platelet dan neutrofil.
Efek
antiinflamasi cetirizine juga tercapai melalui penghambatan ekspresi ICAM-1 in
vivo di nasal dan epitel konjungtiva selama inflamasi alergi dan penarikan
eosinofil di kulit, hidung, mata dan paru. Efek tersebut bukan disebabkan oleh
kemampuan cetirizine menghambat efek histamin, karena histamin tidak
menyebabkan ekspresi ICAM-1. Oleh karena itu, dalam hal ini efek cetirizine
bukan merupakan efek antihistamin klasik, namun lebih menunjukkan efek
antiinflamasi.
Pada suatu
penelitian, didapatkan potensi loratadin dalam menghambat reaksi “wheal and
flare” dan lama kerja merupakan dose-dependent. Namun, bila dibandingkan dengan
cetirizine, loratadin membutuhkan dosis yang lebih besar dibandingkan
cetirizine untuk memberikan efek yang sama, sehingga cetirizine mempunyai
potensi sampai 6 kali lebih kuat dibandingkan loratadin. Hal ini juga berlaku
apabila cetirizine dibandingkan dengan antihistamin generasi kedua lainnya.
Perbedaan ini disebabkan oleh proses metabolisme. Komponen cetirizine tidak
dimetabolisme di hati, sehingga efek terapetiknya tidak tergantung pada
biotransformasi. Obat lain seperti terfenadine, secara cepat dimetabolisme di
hati, dan hasil metabolit tersebut yang memberikan efek H1. Oleh karena itu,
kemampuan metabolisme obat-obat tersebut sangat bervariasi di antara setiap
orang.
Kemampuan
cetirizine, agen antihistamin baru, untuk menghambat aktivasi
eosinofil vivo manusia,
neutrofil dan monosit telah diteliti menggunakan C3b-dan IgG-tergantung
pembentukan roset, sitotoksisitas terhadap larva parasit opsonised dan
kepatuhan dengan plasma-dilapisi
kaca (PCG ). Obat
menghambat platelet-activating factor (PAF)-diinduksi
peningkatan eosinofil dan neutrofil IgG
(Fc) dan komplemen (C3b) mawar dengan IC50
2 × 10 - 5M. Ada juga penghambatan sebanding PAF-bergantung peningkatan sitotoksisitas eosinofil (untuk melengkapi dilapisi
schistosomula dari Schistosoma mansoni). Cetirizine menghambat PAF-induced eosinofil,
tapi tidak neutrofil, hyperadherence untuk PCG.
Data ini mendukung pandangan bahwa
cetirizine dapat mengerahkan
beberapa anti-alergi yang efek dengan
menghambat aktivasi granulosit
manusia dan bahwa hal itu juga bisa selektif menghambat
PAF-diinduksi hyperadherence
eosinofil
Telah
dipelajari efek
dari dihidroklorida, antihistamin
cetirizine nonsedating, di dalam kemotaksis
leukosit in vitro dari darah perifer manusia.
Kami mengamati bahwa 0,25 pg / ml cetirizine dihidroklorida
in vitro menghambat kemotaksis signifikan monosit
terhadap N-formil-methionyl-leucyl-fenilalanin
dan leukotriene B4. Konsentrasi yang lebih tinggi cetirizine,
1,0 dan 2,5 pg
/ ml, benar-benar
menghambat kemotaksis monosit tanpa mempengaruhi kelangsungan hidup sel. T-limfosit migrasi juga
secara signifikan depresi tetapi
tidak dihapuskan. Pyrilamine
(mepyramine) tidak inhibisi dalam konsentrasi molar yang sama. Menurut pengamatan in
vitro, kami diperpanjang studi
kami untuk mengukur kemotaksis
monosit dan T-limfosit
dalam sebuah studi terbuka, di mana empat sukarelawan sehat dan enam pasien dengan dermatitis atopik mengambil 10 dan
20 mg / hari cetirizine
3 hari. Kami mengamati penurunan kemotaksis monosit
ex vivo dan T-limfosit
terhadap N-formil-methionyl-leucyl-fenilalanin
dan leukotriene B4 tanpa pengurangan jumlah
sel darah. Hasilnya dikonfirmasi dalam sebuah studi double-blind berikutnya, placebo-dikontrol dari 16 subyek sehat dan 14 pasien
dewasa dengan dermatitis atopik,
mana ex vivo kemotaksis
monosit dikurangi atau dihapuskan selama terapi cetirizine. Tingkat serum
dua eosinofil yang
diturunkan protein granul,
eosinophilcationic protein P dan eosinofil protein
X, tidak berubah
selama periode 7 hari pengobatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
cetirizine dihidroklorida memiliki efek penghambatan pada monosit dan limfosit T in
vitro dan ex vivo. Temuan kami mendukung
pengamatan klinis yang cetirizine dihidroklorida memiliki efek antiinflamasi selain H1-menghalangi
pada penelitian yang lain juga telah
Menggunakan eosinofil manusia diisolasi dari pasien dengan rhinitis alergi, sel-sel dikultur in vitro selama
48 sampai 72 jam dengan media,
cetirizine, atau deksametason di hadapan IL-5, IL-3,
atau GM-CSF. Eosinofil
bertahan hidup dinilai dengan eksklusi biru tripanMeskipun
konsentrasi vitro cetirizine diminta cukup
tinggi, cetirizine dapat mempengaruhi peradangan saluran napas
dalam vivo melalui
penghambatan IL-5
tergantung pada kelangsungan hidup
eosinofil.
Terbaru dalam
penelitian in vitro menunjukkan bahwa P-glikoprotein (PGP) dan permeabilitas membran pasif
dapat mempengaruhi konsentrasi otak non-penenang
(generasi kedua) antihistamin. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menentukan pentingnya PGP-dimediasi penghabisan di
dalam distribusi otak in vivo dari antihistamin cetirizine non-penenang
(Zyrtec ®), dan
penenang struktural terkait (generasi pertama) antihistamin
hidroksizin (Atarax ®). In vitro MDR1-MDCKII penghabisan tes
monolayer menunjukkan bahwa cetirizine adalah substrat
PGP (B → A / A → B + GF120918 rasio = 5,47)
dengan rendah / sedang permeabilitas pasif (Papp B → A = 56,5 nm / s). Dalam vivo, cetirizine otak-ke-rasio
konsentrasi plasma bebas (0,367-4,30) adalah 2,3-menjadi
8,7 kali lipat lebih tinggi pada PGP-kekurangan tikus
dibandingkan dengan tikus wild type.
Sebaliknya, hidroksizin bukan substrat PGP
in vitro (B →
A / A → B rasio = 0,86), memiliki permeabilitas pasif
tinggi (Papp B →
A + = 296 nm GF120918 / s), dan memiliki otak-ke-bebas
plasma rasio konsentrasi>
73 di kedua tikus PGP-kekurangan dan
wild type. Studi ini menunjukkan bahwa PGP-dimediasi
penghabisan dan permeabilitas pasif berkontribusi pada konsentrasi rendah dalam otak tikus cetirizine
dan bahwa sifat rekening
ini untuk perbedaan dalam profil
efek samping sedasi dari cetirizine dan
hidroksizin.
No comments:
Post a Comment