Tuberculosis
Tuberkulosis
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, suatu organisme aerob yang tumbuh
lambat dengan struktur dinding sel kompleks yang. mengandung asam mikolat. TB
merupakan penyebab utama morbiditas dan diperkirakan oleh WHO menyebabkan
sekitar tiga juta kematian pertahun.
Tuberculosis paru
primer pada bayi yang lebih tua dan anak biasanya merupakan infeksi yang tidak
bergejala. Pada penyakit primer progresif seperti yang dapat dilihat pada bayi
dan anak kecil, pneumonia primer dapat terjadi segera sesudah infeksi awal.
Perburukan kompleks primer pada penyakit paru atau milier tersebar, atau
perburukan granuloma SSP menjadimeningitis terjadi paling sering pada usia 1
tahun. Tuberculosis paru reaktif umumnya terjadi pada remaja.
Patofisiologi
Paru merupakan port d'entree lebih dari 98% kasus infeksi
TB. Karena ukurannya yang sangat kecil «5 urn), kuman TB dalam percik
renik(droplet nuclei)yang terhirup, dapat mencapai alveolus (Guyton, 1997).
Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis
nonspesifik.Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan
kuman TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati
sistem pertahanan mukosillier bronkus, dan terus berjalan sehinga sampai
dialveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil
berkembang biak dengan cara pembelahan diri di Paru, yang mengakibatkan
peradangan di dalam paru, saluran limfe akan membawa kuman TB ke kelenjar limfe
disekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara
terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks pnmer adalah 4 & 6 mmggu.
Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin
dari negative menjadi positif.
Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang
masuk dan besamya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya
reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB.
Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister atau
dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu mengehentikan
perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan
menjadi penderita Tuberkulosis. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan
mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan.
Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun
sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat
terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca
primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi
pleura.
Faktor
Resiko
Terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya
infeksi TB maupun timbulnya penyakit TB. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi
factor risiko infeksi dan faktor risiko progresi infeksi menjadi penyakit
(risiko penyakit).
Resiko
Infeksi TB
Faktor risiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah
sebagai berikut: anak yang memiliki kontak dengan orang dewasa dengan TB aktif,
daerah endemis, penggunaan obat-obatan intravena, kemiskinan, serta lingkungan
yang tidak sehat (tempat penampungan atau panti perawatan).
Resiko
Penyakit TB
Orang yang telah terinfeksi kuman TB, tidak selalu akan
mengalami sakit TB. Berikut ini adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan
progresi infeksi TB menjadi sakit TB. Faktor risiko yang pertama adalah usia
<5 tahun mempunyai risiko lebih besar mengalami progresi infeksi menjadi
sakit TB, mungkin karena imunitas selulemya belum berkembang sempuma (imatur).
Namun, risiko sakit TB ini akan berkurang secara bertahap seiring pertambahan
usia. Pada bayi <1 tahun yang terinfeksi TB, 43%-nya akan menjadi sakit TB,
sedangkan pada anak usia 1-5 tahun, yang menjadi sakit hanya 24%, pada usia
remaja 15%, dan pada dewasa 5-10%. Risiko tertinggi terjadinya progresivitas TB
adalah pada dua tahun pertama setelah infeksi. Pada bayi, rentang waktu antara
terjadinya infeksi dan timbulnya sakit TB sangat singkat dan biasanya timbul
gejala yang akut.
Faktor risiko yang lain adalah konversi tes tuberkulin
dalam 1-2 tahun terakhir, malnutrisi, keadaan imunokompromais (misalnya pada
infeksi HIV, keganasan, transplantasi organ, pengobatan imunosupresi), diabetes
melitus, gagal ginjal kronik, dan silikosis. Faktor yang tidak kalah penting
pada epidemiologi TB adalah status sosioekonomi yang rendah, penghasilan yang
kurang, kepadatan hunian, pengangguran, dan pendidikan yang rendah. kurangnya
dana untuk pelayanan masyarakat. Di negara maju, migrasi penduduk termasuk
faktor risiko, sedangkan di Indonesia hal ini belum menjadi masalah yang
berarti. Seperti telah disebutkan sebelumnya, keadaan imunokompromais merupakan
salah satu faktor risiko penyakit TB. Pada infeksi HIV, terjadi kerusakan
sistem imun sehingga kuman TB yang dorman mengalami aktivasi. Pandemi infeksi
HIV dan AIDS menyebabkan peningkatan pelaporan TB secara bermakna di beberapa
negara. Diperkirakan bahwa risiko terjadinya sakit TB pada pasien HIV dengan
tuberkulin positif adalah 7-10% setahun. Pada tahun 1990, 4,6% kematian akibat
TB disebabkan oleh infeksi HIV dan diperkirakan akan meningkat lebih dari 14%
tahun 2000. Angka kejadian tuberkulosis yang telah menurun pada awal abad ke-
20 kembali meningkat pada akhir tahun 1980. Hal tersebut terjadi bersamaan
dengan meningkatnya epidemi HIV dan resistensi multi-obat(multidrug
resistance),(Depkes, 2002).
Jenis
OAT dan Efek Samping dan Penanganan
Tatalaksana TB merupakan suatu kesatuan yang tidak
terpisahkan antara pemberian medikamentosa, penataan gizi, dan lingkungan
sekitamya. Pemberian medikamentosa tidak terlepas dari penyuluhan kesehatan
kepada masyarakat atau kepada orang tua penderita tentang pentingnya minum obat
secara teratur dalam jangka waktu yang cukup lama, serta pengawasan terhadap
jadwal pemberian obat, keyakinan bahwa obat diminum, dsb (Nastiti, 2003).
Terapi medikamentosa yang dipakai dalam first line drugs
of choice adalah Isoniazid (INH), rifampicin, pirazinamid, etambutol dan
streptomycin. Sementara second line drugs of choice antara lain PAS, viomisin,
sikloserin, etionamid dan kapriomisin, yang digunakan jika terjadimultidrug
resistance (MDR). INH dan rifampicinadalah obat pilihan utama ditambah dengan
etambutol dan streptomisin. Macam-macam OAT dan efek samping: First line drugs
of choice
a. Isoniazid (INH)
INH ( Isonikotinik hidrazil ) adalah obat
antituberkulosis yang sangat efektif saat ini, bersifat bakterisid dan sangat
efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif yaitu kuman yang sedang
berkembang dan bersifat bakteriostatik terhadap kuman yang diam, mekanisme kerja
INH telibat dalam penghambatan enzim esensial unuk sintesis asam mikolat dan
dinding sel mikobakterium (Katzung, 2002). Obat ini efektif pada intrasel dan
ekstrasel kuman, dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh
termasuk cairan serebrospinal (eSS), cairan pleura, cairan acsites dan jaringan
kaseosa. Dosis harian yang biasa diberikan (5-15 mg/kg/hari), maksimal 300
mg/hari, diberikan satu kali pemberian. INH yag tersedia umumnya dalam bentuk
tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk syrup 100 mg/5 ml. Konsentrasi
puncak di dalam darah, sputum, dan cairan serebrospinal dapat dicapai dalam 1-2
jam dan menetap selama paling sedikit 6-8 jam.
Efek samping berat berupa hepatitis yang dapat timbul
pada± 0,5% penderita. Hepatotoksisitas ditandai oleh peningkatan SGOT/SGPT
hingga 5 kali normal (40 U/L) tanpa gejala klinis , peningkatan bilirubin total
lebih dari 1,5 mg/dL, serta peningkatan SGOT/SGPT dengan nilai berapapun yang
disertai oleh anoreksia, nausea, muntah, dan ikterus (Prihatni, 2005).
Hepatitis dengan kerusakan hati yang progresif bergantung
pada usia, semakin meningkat seiring bertambahnya usia dan pada alkoholik dapat
meningkatkan resiko kerusakan hepar(Katzung, 2002). Efek samping ini jarang
terjadi pada pemberian dosis INH yang tidak melebihi 10mg/kgBB/hr.
Efek samping INH yang ringan dapat berupa:
1.
Tanda-tanda
keracunan saraf tepi, kesemutan, dan nyeri otot atau gangguan kesadaran.
2.
Kelainan
yang menyerupai defisiensi piridoksin
3.
Kelainan
kulit yang bervariasi antara lain gatal-gatal
Pemberian piridoksin pada penderita yang mendapatkan
terapi INH tidak mempengaruhi kerja tuberkulostatik tetapi berguna untuk
mencegah neuritis, piridoksin harus diberikan sebanyak 10 mg/l00mg INH, bila
terjadi efek samping pada INH maka dapat diberikan piridoksin dalam jumlah INH
yang dimakan.
b. Rifampisin
Rifampisin bersifat bakteriosid pada intrasel dan
ekstrasel, dapat memasuki semua jaringan, dapat membunuh kuman semi -dormand
yang tidak dapat dibunuh oleh INH, Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui
sistem gastrointestinal pada saat perut kosong, dan kadar serum puncak tercapai
dalam 2 jam. Bila rifampicin diberikan bersama dengan INH, maka akan bersifat
sebagai bakterisidal terhadap mikobakterium dan cenderung mensterilisasi
jaringan yang terinfeksi, rongga atau sputum. Rifampicin mempenetrasi sel
fagositik dengan baik serta membunuh mikobakterium intraseluler (Katzung ,
2002).
Rifampisin 85-90% di metabolisme di hati dan metabolit
aktifnya diekskresikan melalui urine dan saluran cerna, bekerja secara sinergis
dengan INH. Pada penderita dengan kelainan hepar akan ditemukan kadar
rifampisin serum yang lebih tinggi. Rifampisin akan menginduksi sistem enzim
sitokrom P 450 yang akan terus berlangsung hingga 7-14 hari setelah obat
dihentikan. Efek hepatotoksik dipengaruhi oleh dosis yang digunakan, dan proses
metabolisme obat dipengaruhi oleh faktor umur, jenis kelamin, lingkungan dalam
lambung dan penyakit hepar (Prihatni, 2005).
Saat ini, Rifampisin diberikan dalam bentuk oral dengan
dosis 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari, dengan dosis satu kali
pemberian perhari. Jika diberikan dosis Rifampisin tidak melebihi 15
mg/kgBB/hari maka efek sampingjarang terjadi. Seperti halnya INH, Rifampisin
didistribusikan secara luas ke jaringan dan cairan tubuh, termasuk CSS.
Rifampisin dapat diberikan sesuai dosis yang dianjurkan,
jarang menimbukan efek samping, terutama pada pemakaian terus-menerus setiap
hari. Salah satu efek samping berat dari rifampisin adalah hepatitis, walaupun
ini sangat jarang terjadi. Apabila terjadi ikterik ataupun hepatitis maka
hentikan pengobatan dan lanjutkan apabila gejala tersebut hilang atau sembuh,
Hepatotoksisitas ditandai oleh peningkatan SGOTISGPT hingga 5 kali normal (40
U/L) tanpa gejala klinis , peningkatan bilirubin totallebih dari 1,5 mg/dL,
serta peningkatan SGOT/SGPT dengan nilai berapapun yang disertai oleh
anoreksia, nausea, muntah, dan ikterus (Prihatni, 2005).
1. Efek samping rifampisin yang berat tetapi jarang
terjadi adalah :
§
Sindrom
respirasi yang ditandai dengan sesak nafas, kadang disertai kolaps atau syok
sehingga perlu penanganan darurat.
§
Purpura,
anemia hemolitik akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala ini
terjadi maka hentikan pengobatan dengan rifampisin meskipun gejalanya sudah
hilang.
2. Efek samping rifampisin yang ring an adalah :
§
Sindrom
kulit seperti gatal-gatal kemerahan
§
Sindrom
flu berupa demam, menggigil, nyeri tulang
§
Sindrom
perut berupa nyeri perut, mual, muntah kadang-kadang diare
Efek samping ringan sering terjadi pada pemberian berkala
dan dapat sembuh sendiri atau hanya memerlukan pengobatan simtomatik.
Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata, air
liur. Warna merah terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya.
c. Etambutol
Etambutol (EMB) jarang diberikan pada anak karena potensi
toksisitasnya pada mata. Dosis EMB 15-20 mg/kg/hari, maksimal1,25 gramlhari,
dengan dosis tunggal. Resistensi akan timbul bila obat diberikan secara
tunggalsehingga selalu diberikan bersama dengan obat antituberkulosis yang
lain. Kadar serum puncak 5 ug dalam waktu 2-4 jam. Eksresi terutama melalui
ginjal dan saluran cerna. Interaksi obat dengan EMB tidak dikenal. EMB tersedia
dalam tablet 250 mg dan 500 mg. Memiliki aktivitas bakteriostatik, dapat
mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain. EMB dapat bersifat
bakteriosid, jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermit en
(Katzung, 2002).
EMB tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian Juga pada
keadaan meningitis. EMB ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada
pemberian oral dengan dosis satu atau dua kali sehari. Etambutol dapat
menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya penglihatan, buta wama
untuk wama merah dan hijau, keracunan tersebut tergantung pada dosis yang
dipakai. Efek samping jarang terjadi bila dosisnya 15mg/Kg BB/hr yang diberikan
tiga (3) kali seminggu.
Setiap penderita yang menerima etambutol harus diingatkan
bahwa bila terjadi gejala-gejala gangguan penglihatan supaya segera dilakukan
pemeriksaan mata. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa
minggu setelah obat dihentikan. Karena resiko keruskan okuler pada anak-anak
sulit dideteksi maka etambutol sebaiknya tidak diberikan pada anak sehingga
pemeriksaan mata selama pengobatan sebaiknya dilakukan.
d. Pirazinamid
Pirazinamid adalah derivat dari nikotinamid, berpenetrasi
baik pada jaringan dan cairan tubuh termasuk SSP, cairan serebrospinal,
bakterisid hanya pada intrasel pada suasana asam, diresorbsi baik pada saluran
pencemaan. Pemberian PZA secara oral dengan dosis 15-30 mg/kg/hari dengan dosis
maksimal 2 gram/hari. Kadar serum puncak 45 ug/ml dalam waktu 2 jam(Katzung,
2002). Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500 mg. Penggunaan PZA aman
pada anak. PZA diberikan pada fase intensif karena PZA sangat baik diberikan
pada saat suasana asam yang timbul akibat jumlah kuman masih sangat banyak.
Efek samping utama dari penggunaan pirazinamid adalah
hepatitis. Hepatotoksisitas ditandai oleh peningkatan SGOTISGPT hingga 5 kali
normal(40 U/L) tanpa gejala klinis , peningkatan bilirubin totallebih dari1,5
mg/dL, serta peningkatan SGOTISGPT dengan nilai berapapun yang disertai oleh
anoreksia, nausea, muntah, dan ikterus (Prihatni,2005). Juga dapat terjadi
nyeri sendi dan kadang-kadang dapat menimbulkan serangan arthritis gout yang
kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi danpenimbunan asam urat.
Kadang-kadang terjadi reaksi hipersensitas misalnya demam, mual, kemerahan, dan
reaksi kulit yang lain.
e. Streptomisin
Streptomisin bersifat bakteriosid dan bakteriostatik
kuman ekstraseluler pada keadaan basal atau netral, jadi tidak efektif membunuh
kuman intraseluler (Katzung,2002). Saat ini, streptomisin jarang digunakan
dalam pengobatan TB, tetapi penggunaanya penting dalam pengobatan TB yang
resisten-obat. Streptomisin dapat diberikan secara intramuscular dengan
dosis15-40 mg/kgBB/hari, maksimal1 gram/hari, kadar puncak40--50 ug/ml dalam
waktu 1-2jam. Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang,
tetapi tidak dapat melewati selaput otak yang tidak meradang. Sterptomisin
berdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan pleura, dieksresi melalui
ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika terdapat kecurigaan resistensi
awal terhadap INH atau jika anak menderita tuberkulosis berat.
Efek samping utama dari streptomisin adalah kerusakan
saraf kedelapan yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Resiko efek
samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan
dan umur penderita. Kerusakan alat keseimbangan biasanya terjadi pada 2 bulan
pertama dengan tanda-tanda telinga mendenging (tinitus), pusing, dan kehilangan
keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan. Jika pengobatan
diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan
keseimbangan dan tuli). Resiko ini terutama terutama akan meningkat pada
penderita dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Reaksi hipersensitas
kadang-kadang berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai dengan sakit kepala,
muntah dan eritema pada kulit.
Efek samping sementara dan ringan misalnya reaksi
setempat pada bekas setempat pada bekas suntikan, rasa kesemutan pada sekitar
mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi setelah suntikan. Bila reaksi
ini mengganggu (jarang terjadi) maka dosis dapat dikurangi.
Second
line drugs of choice
Obat-obat dibawah ini biasanya dipertimbangkan pada
keadaan : resistensi terhadap obat pilihan utama, pada kasus dengan respon klinik
yang gaga 1terhadap terapi konvensional, bila ada ahli yang tersedia untuk
menangani efek toksik. Obat-obat jenis ini belum diketahui secara pasti
resistensi dan toksisitas jangka panjangnya.
a. Kapreomisin
Merupakan suatu antibiotika peptida yang diperoleh dari
Streptomices capreolus. Kapreomisin diberikan 20 mg/kgBB/Hr, toksisitas serius
yaitu pada ginjal, menimbulkan adanya retensi nitrogen, dan pada saraf VIII,
menimbulkan gangguan pendengaran dan keseimbangan. Toksisitas obat akan
berkurang bila 1 gr obat ini diberikan 2 atau 3 kali/minggu dan jadwal tersebut
sering digunakan.
b. Sikloserin
Dosis pemberian sikloserin pada tuberculosis 0,5 -1
gr/hari.Reaksi toksik yang paling serius yaitu berbagai gangguan fungsi susunan
saraf pusat dan reaksi psikotik. Berbagai gangguan tersebut dapat diatasi
dengan pemberian fenitoin 100 mg/ hr per oral.
c. Etionamid
Merupakan suatu zat kristalin kuning yang stabil dan
hampir tidak larut dalam air. Obat ini secara kimiawi mirip dengan isoniazid
danjuga menghambat sintesis asam mikolat. Dosis pemberian lgr/hr, dosis
tersebut efekif pada pengobatan klinik dalam menangani tuberculosis tetapi
toleransinya buruk karena menimbulkan iritasi lambung dan gejala neurologik.
d. Asam Aminosalisilat (PAS)
Dahulu asam amino salisilat diberikan bersamaan dengan
isoniazid atau streptomisin atau keduanya dalam pengobatan tuberculosis jangka
panjang Sekarang jarang digunakan karena obat-obat oral lainnya ditoleransi
lebih baik.
Dosis oral 8-12gr/hr untuk dewasa dan 300 mg/kg/hr untuk anak-anak.
Gejala saluran cerna sering berkaitan dengan dosis penuh pemberian obat ini.
e. Viomisin
Antibiotik ini dihasilkan oleh orgamsme streptomyces
tertentu, dosis pemberian suntikan intramuscular sebanyak 2 gr, 2 x perminggu.
Efek toksik yang paling serius adalah rusaknya ginjal dan gangguan sarafVIII
berupa hilangnya keseimbangan dan pendengaran, efek toksik lebih serius dari
streptomisin.
f. Rifabutin
Obat ini mempunyai efektivitas yang bermakna terhadap M.
avrum- intracellulare dan M. Fortuitum, dengan dosis obat 0,15-0,5 g/hari per
oral, namun peranannya dalam terapi dan toksisitasnya belum diketahui.
No comments:
Post a Comment