Batasan (2)
Hipertensi
adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg.
Angina
pektoris adalah suatu keadaan yang terjadi karena terdapatnya ketidak seimbangan
antara penyediaan oksigen dan kebutuhan oksigen (insufisiensi koroner), pada
keadaan koroner berkurang atau bahkan pada keadaan lanjut tak ada sama sekali.
2.2 Patofisiologi
A. Hipertensi (2)
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi
menjadi dua golongan, yaitu:
1. Hipertensi esensial atau hipertensi primer
yang tidak diketahui penyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik.
Terdapat sekitar 95% kasus. Banyak faktor yang mempengaruhinya seperti
genetik, lingkungan, hiperaktivitas susunan saraf simpatis, sistem
renin-angiostensin, defek dalam ekskresi Na, peningkatan Na dan Ca
intraselular, dan faktor-faktor yang meningkatkan resiko, seperti obesitas,
alkohol, merokok, serta polisitemia.
2. Hipertensi sekunder atau hipertensi renal.
Terdapat sekitar 5% kasus. Penyebab
spesifiknya diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi
vaskular renal, hiperaldosteronisme primer, dan sindrom.
Peningkatan curah jantung akan
mempengaruhi resistensi pembuluh dengan sendirinya menyebabkan kenaikan tekanan
darah.
Gangguan pengaturan tekanan darah oleh sistem syaraf
simpatis pada SSP, yaitu:
w Terjadi
stimulasi berlebihan b1
adrenoreseptor di jantung akan meningkatkanlaju dan kekuatan kontraksi otot
jantung.
w Stimulasi
berlebih a1 adrenoreseptor terjadi di pembuluh darah
mengakibatkanpenciutan pembuluh darah.
Terjadi
gangguan sistem renin angiotensin
Turunnya konsentrasi NA dan volume cairan
tubuh akan menyebabkan pembebasan renin. Renin bekerja pada angiotensin I,
mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II sehingga menyebabkan
vasokontriksi dan pembebasan aldosteron oleh ginjal. Pembebasan aldosteron akan
menyebabkan resistensi natrium dan air sehingga akan menyebabkan kenaikan
tekanan darah.
B. Angina pektoris (3)
Sebagai
organ yang bekerja terus menerus, yang tak dapat mengalami kekurangan oksigen,
otot jantung akan bereaksi dengan sangat peka terhadap pasokan oksigen yang
kurang. Reaksi ini merupakan
keluhan pektanginosa yaitu adanya serangan angina pektoris, pada keadaan ekstrem
terjadi infark jantung.
Kecuali
akibat sklerosis koroner, penyebab terpenting angina pektoris adalah pengaturan
vegetatif yang salah, aritmia atau insufisiensi jantung atau akibat kebutuhan
oksigen yang berlebihan karena jantung yang meningkat (misalnya pada
hipertensi, kelainan katup jantung) atau kandungan oksigen darah yang terlalu
rendah (misalnya pada anemia, methemoglobinemia, keracunan karbonmonoksida).
Setelah timbulnya serangan angina pektoris
secara klinis dibedakan beberapa tipe berikut:
Y Angina pektoris yang stabil (angina
beban)
Pada angina beban, angina tidak
timbul pada keadaan istirahat, akan tetapi jika dibutuhkan aktivitas tubuh yang
lebih tinggi atau simpatikus terangsang akibat stimulasi psikis, ini akan
menyebabkan penggunaan oksigen meningkat sehingga menimbulkan serangan angiona
pektoris.
Y Angina pektoris tak stabil
Angina ini lebih kompleks,
serangan sudah timbul pada beban yang kecil atau bahkan pada keadaan istirahat.
Secara patomekanik, penyebabnya diduga skeloris koroner dengan agregasi
trombosit serta spasmus koroner pada daerah pembuluh koroner yang besar dengan
atau tanpa perubahan aterosklerotik.
2.3 Gejala Klinis
Peninggian tekanan darah merupakan satu-satunya
gejala. Bila demikian gejala baru muncul setelah terjadi komplikasi pada
ginjal, mata, otak, atau jantung. Gejala lain yang sering ditemukan adalah sakit kepala, epitaksis, marah, telinga
berdengung, rasa berat ditengkuk, sukar tidur, mata berkunang-kunang, dan
pusing (2).
Bila
hipertensi ini telah menyebabkan angina pektoris, gejala yang dirasakan akan
lebih spesifik. Serangan angina pektoris dirasakan pasien sebagai rasa tertekan
yang khas pada daerah belakang tulang dada, seakan-akan rongga dada dijerat
(karena itu istilah angina pektoris yang berarti sempitnya dada). Nyeri akan
menyebar sampai pundak dan lengan atas kiri, kadang-kadang rasa nyeri juga
terasa pada tengkuk atau daerah selangka atau dirasakan sebagai rasa tak enak
pada lambung (1).
2.4 Anamnesis
Anamnesis yang dilakukan meliputi tingkat
hipertensi dan lama menderitanya, riwayat dan gejala-gejala penyakit yang
berkaitan seperti penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan lainnya. Apakah
terdapat riwayat penyakit dalam keluarga, gejala-gejala yang berkaitan dengan
penyebab hipertensi, perubahan aktivitas atau kebiasaan (seperti merokok),
konsumsi makanan, riwayat obat-obatan bebas, hasil dan efek samping terapi antihipertensi
sebelumnya bila ada, dan faktor psikososial lingkungan (keluarga, pekerjaan,
dan sebagainya) (2).
2.5 Pemeriksaan
Pemerikasaan laboratorium rutin yang dilakukan
sebelum memulai terapi bertujuan menentukan adanya kerusakan organ dan faktor
resiko lain atau mencari penyebab hipertensi. Biasanya diperiksa urinalisa,
darah perifer lengkap, kimia darah (kalium, natrium, kreatinin, gula darah
puasa, kolesterol total, kolesterol HDL, dan EKG. Sebagai tambahan dapat
dilakukan pemeriksaan lain, seperti klirens kreatinin, protein urin 24 jam,
asam urat, kolesterol LDL, dan TSH (2).
2.6 Diagnosa
Diagnosa hipertensi tidak dapat ditegakkan dalam
satu kali pengukuran, hanya dapat ditetapkan setelah dua kali atau lebih
pengukuran pada kunjungan yang berbeda, kecuali terdapat kenaikan tinggi atau
gejala-gejala klinis. Pengukuran tekanan darah dilakukan dalam keadaan pasien
duduk bersandar, setelah beristirahat 5 menit, dengan ukuran pembungkus lengan
yang sesuai (menutupi) 80% lengan). Tensimeter dengan air raksa mash dianggap alat pengukur yang terbaik (2).
Sedangkan
diagnosis dari angina pektoris dilakukan dengan EKG, didapatkan depresi segmen
ST lebih dari 1 mm pada waktu melakukan latihan/aktivitas dan biasanya disertai
rasa sakit dada mirip seperti saat serangan angina (2).
2.7 Penatalaksanaan (2)
1.
Hipertensi
Tujuan terapi adalah
mempertahankan tekanan sistolik di bawah 140 mmHg dan tekanan diastolikdi bawah
90 mmHg dan mengontrol faktor resiko. Hal ini dapat dicapai melalui modifikasi
gaya hidup saja, atau dengan obat antihipertensi.
Modifikasi gaya hidup cukup
efektif, dapat menurunkan resiko kardiovaskular dengan biaya sedikit, dan
resiko minimal. Tata laksana ini tetap dianjurkan meskipun harus disertai obat
antihipertensi karena dapat menurunkan jumlah dan dosis obat. Langkah-langkah
yang dianjurkan:
1. Menurunkan berat badan bila terdapat
kelebihan
2. Membatasi alkohol
3. Meningkatkan aktivitas fisik aerobik
(30-45 menit/hari)
4. Mengurangi asupan natrium
5. Mempertahankan asupan kalium yang adekuat
6. Mempertahankan asupan kalsium dan
magnesium yang adekuat
7. Berhenti merokok dan mengurangi asupan
lemak jenuh dan kolesterol dalam makanan.
Penatalaksanaan dengan obat
antihipertensi bagi sebagian besar pasien dimulai dari dosis rendah kemudian
ditingkatkan sesuai dengan umur, kebutuhan, dan usia. Terapi yang optimal harus
efektif selama 24 jam, dan lebih disukai dalam dosis tunggal karena kepatuhan
lebih baik, lebih murah, dapat mengontrol hipertensi terus-menerus dan lancar,
dan melindungi pasien terhadap berbagai resiko dari kematian mendadak, serangan
jantung, atau strok akibat peningkatan tekanan darah mendadak saat bangun
tidur. Sekarang terdapat kombinasi obat berisi dosis rendah dua obat dari
golongan berbeda. Kombinasi ini terbukti memberikan efektivitas tambahan dan
mengurangi efek samping.
2.
Angina pektoris
Penatalaksanaan
untuk angina pektoris terdapat beberapa tindakan:
1. Pengobatan terhadap serangan akut, berupa
nitrogliserin sublingual 0,5-1 tablet yang merupakan obat pilihan yang bekerja
sekitar 1-2 menit dan dapat diulang dengan interval 3-5 menit.
2. Pencegahan serangan lanjutan:
·
Long-action nitrat, yaitu ISDN 3x10-40 mg oral
·
β-bloker: propanolol, metoprolol, nadolol,
atenolol, dan pindolol.
·
Ca-antagonis: verapamil, diltiazem, nifedipin,
nikardipin, atau isradipin.
3.
Tindakan invasif: Percutaneus
transluminal coronary angioplasty (PTCA), laser coronary angioplasty, coronary artery bypass grafting (CABG).
4.
Olahraga disesuaikan.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Price, S.A., dan L. M. Wilson., Patofisiologi
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Jilid 1, Edisi 4, Terjemahan Peter
Anugerah, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1995. Hal 533-536
2. Mansjoer, A., Kapita Selekta Kedokteran, Edisi III, Jilid I, Media Awsculapius, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2000. Hal 440-441, 518-520.
3.
Anonim, AHFS:
Drug Information, American Society of Health System Pharmacists, USA,
1995. Hal.1880, 1987, 2389
4.
Anonim, Clinical
Pharmacy and Therapeutics 3rd Ed., Churchill Livingstone, New York, 1996. Hal 254-257
5.
Stockley, I.H., Drug
Interactions, Third Edition, Balckwell Science, London, 1994. Hal 72, 660
6. Formularium
Rumah Sakit M. Djamil,
Padang, 2003.
No comments:
Post a Comment