Saturday, June 6, 2015

EKLAMPSIA INTRAPARTUM



EKLAMPSIA INTRAPARTUM


Hipertensi dalam Kehamilan
Hipertensi dalam kehamilan adalah salah satu komplikasi obstetri yang banyak menimbulkan morbiditas dan mortalitas dalam bidang obstetri, selain pendarahan dan infeksi. Insiden preeklampsia hanya 5-10% dari seluruh kehamilan, tetapi merupakan penyebab utama kematian ibu dan janin dan merupakan penyebab utama kematian ibu dan janin dan merupakan penyumbang terbesar untuk terjadinya persalinan preterm.
Hipertensi dalam kehamilan digunakan untuk menggambarkan suatu spektrum dari ibu hamil yang mengalami peningktaan tekanan darah ringan atau berat dengan berbagai disfungsi organ. Sebagai batasan, hipertensi dalam kehamilan adalah setiap onset kenaikan tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau diastolik ≥90 mmHg yang terjadi dalam kehamilan.
The National Blood Pressure Education Program (NHBPEP) telah membagi hipertensi dalam kehamilan menjadi (1) hipertensi gestasional, (2) sindrom preeklampsia dan eklampsia, (3) sindrom preeklampsia yang menyertai hipertensi kronik, dan (4) hipertensi kronik.

Definisi
Pre-eklampsia adalah keadaan hipertensi yang disertai proteinuria dan edema akibat kehamilan sesudah usia kehamilan 20 minggu atau segera sesudah persalinan. Pada penyakit trofoblas gejala ini dapat timbul sebelum usia kehamilan 20 minggu.
Eklampsia adalah kelainan akut pada wanita hamil dalam kehamilan, persalinan atau nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang dan atau koma, yang sebelumnya wanita tersebut menunjukkan gejala preeklampsia.

Etiologi
Sampai dengan saat ini etiologi pasti dari preeklampsia/eklampsi masih belum diketahui. Ada beberapa teori mencoba menjelaskan perkiraan etiologi dari kelainan tersebut di atas, sehingga kelainan ini sering dikenal sebagai the diseases of theory. Adapun teori-teori tersebut antara lain:
1) Peran Prostasiklin dan Tromboksan
Pada PE-E didapatkan kerusakan pada endotel vaskuler, sehingga terjadi penurunan produksi prostasiklin (PGI 2) yang pada kehamilan normal meningkat, aktivasi penggumpalan dan fibrinolisis, yang kemudian akan diganti trombin dan plasmin. Trombin akan mengkonsumsi antitrombin III, sehingga terjadi deposit fibrin. Aktivasi trombosit menyebabkan pelepasan tromboksan (TXA2) dan serotonin, sehingga terjadi vasos-pasme dan kerusakan endotel.
Pengeluaran hormone ini memunculkan efek “perlawanan” pada tubuh. Pembuluh-pembuluh darah menjadi menciut, terutama pembuluh darah kecil, akibatnya tekanan darah meningkat. Organ-organ pun akan kekurangan zat asam. Pada keadaan yang lebih parah, bisa terjadi penimbunan zat pembeku darah yang ikut menyumbat pembuluh darah pada jaringan-jaringan vital.
2) Peran Faktor Imunologis
Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama dan tidak timbul lagi pada kehamilan berikutnya. Hal ini dapat diterangkan bahwa pada kehamilan pertama pembentukan blocking antibodies terhadap antigen placenta tidak sempurna, yang semakin sempurna pada kehamilan berikutnya.
Fierlie FM (1992) mendapatkan beberapa data yang men-dukung adanya sistem imun pada penderita PE-E:
a.  Beberapa wanita dengan PE-E mempunyai komplek imun dalam serum.
b.  Beberapa studi juga mendapatkan adanya aktivasi sistem komplemen pada PE-E diikuti dengan proteinuri.
Stirat (1986) menyimpulkan meskipun ada beberapa pen-dapat menyebutkan bahwa sistem imun humoral dan aktivasi komplemen terjadi pada PE-E, tetapi tidak ada bukti bahwa sistem imunologi bisa menyebabkan PE-E.
3) Peran Faktor Genetik/Familial
Beberapa bukti yang menunjukkan peran faktor genetik pada kejadian PE-E antara lain:
  • Preeklampsia hanya terjadi pada manusia.
  • Terdapatnya kecendrungan meningkatnya frekwensi PE-E pada anak-anak dari ibu yang menderita PE-E.
  • Kecendrungan meningkatnya frekwensi PE-E pada anak dan cucu ibu hamil dengan riwayat PE-E dan bukan pada ipar mereka.
  • Peran Renin-Angiotensin-Aldosteron System (RAAS)

Patofisiologi
Vasokonstriksi merupakan dasar patogenesis PE-E. Vasokonstriksi menimbulkan peningkatan total perifer resisten dan menimbulkan hipertensi. Adanya vasokonstriksi juga akan menimbulkan hipoksia pada endotel setempat, sehingga terjadi kerusakan endotel, kebocoran arteriole disertai perdarahan mikro pada tempat endotel. Adanya vasokonstriksi arteri spiralis akan menyebabkan terjadinya penurunan perfusi uteroplasenter yang selanjutnya akan menimbulkan maladaptasi plasenta. Hipoksia/ anoksia jaringan merupakan sumber reaksi hiperoksidase lemak, sedangkan proses hiperoksidasi itu sendiri memerlukan peningkatan konsumsi oksigen, sehingga dengan demikian akan mengganggu metabolisme di dalam sel Peroksidase lemak adalah hasil proses oksidase lemak tak jenuh yang menghasilkan hiperoksidase lemak jenuh. Peroksidase lemak merupakan radikal bebas. Apabila keseimbangan antara perok-sidase terganggu, dimana peroksidase dan oksidan lebih domi-nan, maka akan timbul keadaan yang disebut stess oksidatif.
Pada PE-E serum anti oksidan kadarnya menurun dan plasenta menjadi sumber terjadinya peroksidase lemak. Se-dangkan pada wanita hamil normal, serumnya mengandung transferin, ion tembaga dan sulfhidril yang berperan sebagai antioksidan yang cukup kuat. Peroksidase lemak beredar dalam aliran darah melalui ikatan lipoprotein. Peroksidase lemak ini akan sampai kesemua komponen sel yang dilewati termasuk sel-sel endotel yang akan mengakibatkan rusaknya sel-sel endotel tersebut. Rusaknya sel-sel endotel tersebut akan meng-akibatkan antara lain:
a.       Adhesi dan agregasi trombosit.
b.      Gangguan permeabilitas lapisan endotel terhadap plasma.
c.       Terlepasnya enzim lisosom, tromboksan dan serotonin sebagai akibat dari rusaknya trombosit.
d.      Produksi prostasiklin terhenti.
e.       Terganggunya keseimbangan prostasiklin dan tromboksan.
f.       Terjadi hipoksia plasenta akibat konsumsi oksigen oleh peroksidase lemak.

Gejala
Preeklampsia ringan (PER) ditandai dengan:
  1. Hipertensi disertai proteinuria dan edema setelah kehamilan 20 minggu.
  2. Hipertensi dengan kenaikan tekanan sistolik 30 mmHg, diastolik 15mmHg, edema positif pretibial, proteinuria kulitatif positif.
Preeklampsia berat (PEB) ditandai dengan:
  1. Tekanan darah sistolik ≥160mmHg atau tekanan darah diastolik ≥110mmHg, tekanan darah ini tidak akan menurun meskipun ibu hamil sudah rawat baring di rumah sakit.
  2. Proteinuria lebih 5 gram atau lebih per 24 jam atau kwalitatif positif 3 atau 4.
  3. Oliguria yaitu produksi urine kurang 500 ml per jam yang disertai dengan kenaikankadar kreatinin plasma.
  4. Gangguan visus dan serebral.
  5. Nyeri epigastrium atau nyri pada kuadran kanan atas abdomen.
  6. Edema paru-paru, sianosis.
  7. Pertumbuhan janin intra uterin terlambat.
  8. Adanya “The HELLP Syndrome” (hemolisis, elevated liver enzymes, low platelet count).
Eklampsia ditandai dengann terjadinya kejang akut/koma tanpa kelainan neurologik saat kehamilan persalinan atau nifas.

Penatalaksanaan
1.      Preeklampsia ringan
1.      Rawat jalan
  • Istirahat yang banyak (berbaring/tidur miring)
  • Diet cukup protein, rendah karbohidrat,lemak dan garam
  • Sedative ringan (kalau tidak bias istirahat)
  • Tablet Phenobarbital 3x30mg/oral selama 7 hari
  • Roboransia
  • Kunjungan ulang tiap minggu
2.      Rawat inap
·         Pada kehamilan preterm (kurang dari 37 minggu): Tekanan darah normal selama perawatan, persalinannya di tunggu sampai aterm. Tekanan darah turun tetapi tidak mencapai normal selama perawatan kehamilan dapat diakhiri pada kehamilan kecil dari 37 minggu.
·         Kehamilan aterm (lebih dari 37 minggu): Persalinan dapat ditunggu spontan atau dipertimbangkan untuk induksi pada tanggal taksiran persalinan, kala II tidak perlu diperpendek.
2.      Preeklampsia berat
1. Aktif
Bila ditemukan 1 atau lebih keadaan dibawah ini:
·         Ibu dengan:
-            Kehamilan lebih dari 37 minggu
-            Adanya tanda-tanda impending eklampsia
-            Kegagalan terapi konservatif, setelah 6 jam pengobatan medikamentosa terdapat kenaikan tekanan darah
-            Setelah 24 jam terapi medikamentosa tidak ada perbaikan
§   Janin dengan:
-            Adanya tanda-tanda gawat janin
-            Adanya tanda-tanda IUGR
§   Ditemuinya Hellp Syndrom
Pengobatan medikamentosa
1.      Segera masuk Rumah Sakit
2.      Tidur baring, miring kesalah satu sisi (sebaiknya kearah kiri)
3.      Infus dextrose 5% setiap 1 liter diselinggi dengan larutan ringer laktat 500ml (60-125ml/jam)
4.      Antasida
5.      Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam
6.      Pemberian obat anti kejang MgSO4
Cara pemberian:
§   Londinodose 4gr MgSO4 dalam 250 ml dextrose 10% dalam 15 menit
§   Maintenance dose: diberikan 8gr dalam larutan 500cc dextrose 10% diberikan dalam 4-6 jam
Syarat-syarat pemberian MgSO4:
1.      Harus tersedia antidotum MgSO4 yaitu kasium glukosa 10% diberikan intravena 3 menit
2.      Reflek patella positif
3.      Frekuensi pernafasan lebih 16 kali per menit
4.      produksi urine lebih 100 ml dalam 4 jam sebelumnya (0,5 ml/kg berat badan/jam)
Sulfas magnesium dihentikan bila :
§   Adanya tanda intoksikasi
§   Setelah 24 jam pasca persalinan
§   Dalam 26 jam pasca persalinan sudah terjadi perbaikan (normotensi)
7.      Bila persyaratan MgSO4 tidak dipenuhi, diberikan diazepam, 20mg diberikan intravena dilanjutkan 40mg dalam dextrose 10% selama 4-6 jam.
8.      Diuretika diberikan bila terdapat tanda-tanda :
§ Edema paru-paru
§ Payah jamtung kongestif
§ Edema ansarka
9.      Anti hipertensi diberikan bila tekanan darah sistolik diatas 180mmHg, diastolic lebih dari 110 mmHg.
10.  Kardiotonika diberikan bila ada tanda-tanda mengarah ke payah jantung. Perawatan dilkukan bersama-sama bagian kardiologi
11.  Obat-obatan lain :
§ Anti piretika diberikan bila suhu rectal diatas 38,5 C. Dapat dibantu dengan pemberian kompres dingin atau alcohol.
§ Antibiotika diberikan bila ada indikasi
§ Anti nyeri diberikan bila penderita kesakitan gelisah, karena kontraksi rahim dapat diberikan pethidin HCl 50-75 mg pada fase aktif persalinan, sekali saja 2jam sebelum janin lahir.
Tindakan obstetrik:
1. Terminasi kehamilan
                            a. belum inpartu
§ Induksi persalinan
§ Dilakukan amniotomi dan oksitosin drip bila skor bishop lebih dari 4.
§ Seksio sesaria bila :
  1. Syarat oksitoksin tidak dipenuhi atau adanya kontra indikasi oksitosin drip
  2. 12 jam sejak dimulainya drip oksitoksin belum masuk fase aktif atau 4 jam tidak ditemui respon oksitosin pada primigravida lebih diarahkan terminasi dengan seksio sesarea.
                            b. Inpartu
§  Kala I
§  Fase laten : seksio sesarea
§  Fase aktif
1.      Amniotomi
2.      bila 6 jam setelah amniotomi tidak terjadi pembukaan lengkap, dilakukan seksio sesarea.
§  Kala II persalinan pervaginam diselesaikan dengan partus buatan.
§  Amniotomi dan oksitosin drip diberikan minimal 30 menit setelah pengobatan medika mentosa
§  Pada kehamilan kecil dari 37 minggu bila memungkinkan terminasi kehamilan ditunda 2x24 jam untuk pemberian kortikosteroid
2.  Tindakan konservatif
Berarti kehamilan tetap dipertahankan bersamaan dengan pemberian pengobatan medisinal.
  • Indikasi: Kehamilan dibawah 37 minggu tanpa disertai tanda-tanda impending eklampsia dan keadaan janin baik.
  • tindakan medikamentosa sama dengan perawatan medisinal pengelolaan aktif.
  • Pengobatan obstetric.
Selama pengobatan konservatif observasi dan evaluasi sama seperti perawatan aktif hanya disini tidak ada terminasi.
MgSO4 dihentikan bila ibu sudah mencapai tanda-tanda preeklampsia ringan selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam. Bila setelah 24 jam tidak didapatkan perbaikan dianggap pengobatan medisinal gagal dan harus diterminasi.
Penatalaksanaan eklampsia disamakan dengan penatalaksanaan PEB.

No comments:

Post a Comment