HIV Pada Masa Kehamilan
Efek infeksi HIV pada
kehamilan berkaitan dengan abortus, prematuritas, IUGR (Intra Uterin Growth
Restriction), IUFD (Intra Uterin Fetal Death), penularan pada janin, dan
meningkatnya angka kematian ibu. Sebaliknya, kehamilan hampir tidak berpengaruh
pada infeksi HIV, adanya penurunan CD4 terjadi karena bertambahnya volume
cairan tubuh selama kehamilan, di samping itu kadar HIV stabil dan tidak
mempengaruhi resiko kematian atau perkembangan menjadi AIDS.
Pemantauan kehamilan
pada CD4 < 500sel/mm3 dianjurkan setiap 3 minggu sampai usia kehamilan 28
minggu dan setiap 2 minggu sampai usia kehamilan 36 minggu, kemudian seminggu
sekali sampai persalinan. Pemeriksaan tambahan berupa pemeriksaan laboratorium
darah lengkap, serta hitung CD4, dan USG bila fasilitas memungkinkan pada usia
kehamilan 16, 28, dan 36 minggu pada wanita hamil yang menggunakan pengobatan
antiretroviral atau CD4 < 200sel/mm3.
Penularan
Perinatal
Penularan perinatal
merupakan penularan dari ibu ODHA kepada janin pada masa perinatal. Angka penularan
pada masa kehamilan berkisar sekitar 5 – 10%, saat persalinan sekitar 10 – 20%,
dan saat menyusui sekitar 10 – 20% bila disusui sampai 2 tahun. Penularan pada
masa menyusui terutama terjadi pada minggu – minggu pertama menyusui, terutama
bila ibu baru terinfeksi saat menyusui. Bila ibu ODHA tidak menyusui bayinya,
maka kemungkinan bayinya terinfeksi HIV sekitar 15 – 30%, bila menyusui sampai
6 bulan kemungkinan terinfeksi 25 – 35%, dan bila masa menyusui diperpanjang
sampai 18 – 24 bulan maka resiko terinfeksi meningkat menjadi 30 – 45 %.
Pada kebanyakan wanita
yang terinfeksi HIV, penularan tidak dapat melalui plasenta. Umumnya darah ibu
tidak bercampur dengan darah bayi, sehingga tidak semua bayi yang dikandung ibu
dengan HIV positif tertular HIV saat dalam kandungan. Plasenta bahkan
melindungi janin dari HIV, namun perlindungan ini dapat rusak bila ada infeksi
virus, bakteri, ataupun parasit pada plasenta, atau pada keadaan dimana daya
tahan ibu sangat rendah.
Pada proses persalinan,
terjadi kontak antara darah ibu, maupun lendir ibu dan bayi, sehingga virus HIV
dapat masuk ke dalam tubuh bayi. Semakin lama proses persalinan berlangsung,
kontak antara bayi dengan cairan tubuh ibu semakin lama, resiko penularan
semakin tinggi.
ASI dari ibu yang
terinfeksi HIV tmengandung HIV dalam konsentrasi yang lebih rendah dari yang
ditemukan dalam darahnya. Penularan terjadi pada sekitar 10 – 20% bayi yang
disusui selama 18 bulan atau lebih. Atas dasar tersebut, ibu dengan infeksi HIV
dianjurkan tidak menyusui bayinya dan diganti dengan susu pengganti ASI.
Frekuensi penularan dari ibu ke bayi di negara maju sekitar 15 – 25%, sedangkan
di negara berkembang 25 – 45%, dihuungkan dengan kebiasaan menyusui yang tinggi
di negara berkembang.
Faktor
Yang Mempengaruhi Penularan HIV Dari Ibu Ke Bayi
1.
Penularan HIV dari ibu ke bayi umumnya terkait dengan daya tahan
tubuh, dan virulensi kuman.
Faktor ibu :
- Ibu yang baru terinfeksi HIV mudah menularkan ke bayinya. Hal ini disebabkan jumlah virus dalam tubuh ibu sangat tinggi dibandingkan jumlah virus pada ibu yang tertular HIV sebelum atau selama masa kehamilan.
- Ibu dengan penyakit terkait HIV seperti batuk, diare terus – menerus, kehilangan berat badan, hal ini juga disebabkan jumlah virus dalam tubuh ibu tinggi.
- Infeksi pada kehamilan, terutama infeksi menular seksual atau infeksi plasenta
- Kurang gizi saat hamil, terutama kekurangan mikronutrisi
- Mastitis
- KPD, partus lama, dan intervensi saat persalinan seperti amniotomi, episiotomi.
Faktor bayi :
- Bayi lahir prematur
- Menyusui pada ibu dengan HIV
- Lesi pada mulut bayi meningkatkan resiko tertular HIV, terutama pada bayi dibawah usia 6 bulan
Pencegahan Penularan HIV pada Bayi dan Anak
Dalam buku Prevention of Mother to Child
Transmission of HIV, World Health Organization menyebutkan
bahwa PMTCT (programmes of the Prevention of Mother to Child Transmission),
dapat menurunkan penularan vertikal HIV, juga menghubungkan wanita dengan
infeksi HIV, anak, serta keluarganya, untuk memperoleh pengobatan, perawatan,
serta dukungan. PMTCT merupakan program yang komperhensif dan mengikuti
protokol serta kebijakan nasional.
Intervensi PMTCT :
·
Pemeriksaan dan konseling HIV
·
Antiretroviral
·
Persalinan yang lebih aman
·
Menyusui yang lebih aman
Keterlibatan pasangan dalam PMTCT:
·
Kedua pasangan harus mengetahui pentingnya sex yang aman selama
persalinan dan masa menyusui
·
Kedua pasangan harus menjalani pemeriksaan dan konseling HIV
·
Kedua pasangan harus mengetahui dan menjalankan PMTCT
Faktor resiko MTCT selama kehamilan:
·
Viral load ibu yang tinggi (HIV / AIDS baru atau lanjutan)
·
Infeksi virus, bakteri, maupun parasit melaui plasenta (khususnya
malaria)
·
Infeksi menular seksual
·
Malnutrisi maternal (secara tidak langsung)
Faktor resiko MTCT selama persalinan:
·
Viral load ibu yang tinggi (HIV / AIDS baru atau lanjutan)
·
Pecahnya ketuban > 4 jam sebelum persalinan dimulai
·
Prosedur persalinan invasif
·
Janin pertama pada kehamilan multipel
·
Korioamnionitis
Faktor resiko MTCT selama masa menyusui:
·
Viral load ibu yang tinggi (HIV / AIDS baru atau lanjutan)
·
Lama menyusui
·
Pemberian ASI dengan pemberian makanan pengganti yang awal
·
Abses payudara / puting yang terinfeksi
·
Malnutrisi maternal
·
Penyakit oral bayi (mis: trust atau luka mulut)
Menghindari kehamilan yang tidak diinginkan pada wanita dengan HIV
positif
1.
Mencegah kehamilan yang tidak diinginkan
Kebanyakan wanita dengan
infeksi HIV di negara berkembang tidak mengetahui status serologis mereka, maka
VCT memegang peranan penting. Pelayanan KB perlu diperluas untuk semua wanita,
termasuk mereka yang terinfeksi, mendapatkan dukungan dan pelayanan untuk
mencegah kehamilan yang tidak diketahui. Bagi wanita yang sudah terinfeksi HIV
agar mendapat pelayanan esensial dan dukungan termasuk keluarga berencana dan
kesehatan reproduksinya sehingga mereka dapat membuat keputusan tentang
kehidupan reproduksinya.
2.
Menunda kehamilan berikutnya
Bila ibu tetap
menginginkan anak, WHO menyarankan minimal 2 tahun jarak antar kehamilan. Untuk
menunda kehamilan :
·
Tidak diperkenankan memakai alat kontrasepsi dalam rahim sebab dapat
menjalarkan infeksi ke atas sehingga menimbulkan infeksi pelvis. Wanita yang
menggunakan IUD mempunyai kecenderungan mengalami perdarahan yang dapat
menyebabkan penularan lebih mudah terjadi.
·
Kontrasepsi yang dianjurkan adalah kondom, sebab dapat mencegah
penularan HIV dan infeksi menular seksual, namun tidak mempunyai angka
keberhasilan yang sama tinggi dengan alat kontrasepsi lainnya seperti
kontrasepsi oral atau noorplant.
·
Kontrasepsi oral dan kontrasepsi hormonal jangka panjang seperti
noorplant dan depo provera tidak merupakan suatu kontraindikasi pada wanita
yang terinfeksi HIV. Penelitian sedang dilakukan untuk mengetahui pengaruh
penggunaan kontrasepsi hormonal terhadap perjalanan penyakit HIV.
·
Spons dan diafragma kurang efektif untuk mencegah kehamilan maupun
mencegah penularan HIV.
·
Untuk ibu yang tidak ingin punya anak lagi, kontrasepsi yang
paling tepat adalah sterilisasi (tubektomi atau vasektomi).
Pencegahan penularan HIV dari ibu ke janin
Intervensi pencegahan penularan HIV dari ibu ke janin / bayinya
meliputi empat hal, mulai saat hamil, melahirkan, dan setelah lahir :
·
Penggunaan ARV selama kehamilan (proyek PMTCT plus)
·
Penggunaan ARV saat persalinan dan bayi yang baru dilahirkan
·
Penanganan obstetrik selama persalinan
·
Penatalaksanaan selama menyusui
Pengobatan, perawatan, dan pemberian dukungan pada wanita dengan
HIV, bayi, serta keluarganya
·
Menyediakan pengobatan yang berhubungan, perawatan, serta dukungan
yang berhubungan dengan HIV bagi para wanita
·
Menediakan diagnosis dini, perawatan, serta dukungan bagi bayi dan
anak dengan infeksi HIV positif
·
Mengusahakan hubungan antar layanan masyarakat untuk layanan
keluarga terpadu
Antiretroviral
pada Kehamilan
Menurut rekomendasi
penggunaan pengobatan antiretroviral pada wanita hamil dengan HIV-1 positif
untuk kesehatan ibu, serta intervensi untuk menurunkan penularan HIV-1
perinatal di Amerika Serikat, yang direvisi pada 24 Februari 2005 oleh
Perinatal HIV Guidelines Working Group menyatakan, pengobatan untuk wanita
hamil dengan HIV-1 positif berdasarkan keyakinan bahwa pengobatan mempunyai
kegunaan yang telah diketahui bagi wanita selama kehamilan, kecuali ada efek
yang diketahui bagi ibu maupun janin.
Pengobatan ARV pada wanita hamil
diberikan bila :
·
Mengalami gejala berat HIV atau dengan
diagnosa AIDS
·
CD4 < 200 sel/mm3
·
Viral load > 1000/ml
Pengobatan ARV juga diperlukan untuk
mencegah penularan HIV terhadap janin. Wanita hamil dengan HIV
pada trimester pertama tanpa gejala HIV, dapat menunda pengobatan sampai usia
kehamilan 10 – 12 minggu. Setelah trimester pertama, ODHA hamil harus menerima
pengobatan setidaknya dengan zidovudine (dikenal juga dengan ZDV atau AZT).
Pengobatan tambahan dapat dipertimbangkan, sesuai dengan jumlah CD4 dan jumlah
virus.
1. Nevirapine
Ibu: diberikan
nevirapine 200 mg dosis tunggal saat persalinan
Bayi: 2 mg/kgBB sebelum
umur 3 hari (dalam 72 jam pertama setelah lahir).
Regimen
ini menjadi pilihan karena mudah pemberiannya, tidak perlu terapi ulangan dan
efektif mencegah penularan dari ibu ke anak sampai 13%, serta ekonomis. Faktor
ekonomi mendapat perhatian karena harga ARV relatif mahal dan padaprinsipnya
ARV harus diberikan seumur hidup. Nevirapine dapat menimbulkan ruam kulit,
sindrom Steven-Johnson, peningkatan serum aminotransferase, serta hepatitis.
2. AZT
Ibu hamil 36 minggu: diberikan AZT
2 x 300 mg/hari, dan 300 mg setiap 3 jam selama persalinan berlangsung. Regimen
ini lebih efektif untuk menurunkan resiko penularan dari ibu ke bayi (9%). Efek
samping yang sering terjadi pada wanita hamil yang mengkonsumsi AZT adalah
anemia, karena itu perlu skrining anemia dan penanganannya bila terjadi anemia.
Efek samping lain zidovudine adalah netropenia, intoleransi gastrointestinal,
sakit kepala, insomnia, miopati, asidosis laktat.
HIV Pada Masa Kehamilan
Efek infeksi HIV pada
kehamilan berkaitan dengan abortus, prematuritas, IUGR (Intra Uterin Growth
Restriction), IUFD (Intra Uterin Fetal Death), penularan pada janin, dan
meningkatnya angka kematian ibu. Sebaliknya, kehamilan hampir tidak berpengaruh
pada infeksi HIV, adanya penurunan CD4 terjadi karena bertambahnya volume
cairan tubuh selama kehamilan, di samping itu kadar HIV stabil dan tidak
mempengaruhi resiko kematian atau perkembangan menjadi AIDS.
Pemantauan kehamilan
pada CD4 < 500sel/mm3 dianjurkan setiap 3 minggu sampai usia kehamilan 28
minggu dan setiap 2 minggu sampai usia kehamilan 36 minggu, kemudian seminggu
sekali sampai persalinan. Pemeriksaan tambahan berupa pemeriksaan laboratorium
darah lengkap, serta hitung CD4, dan USG bila fasilitas memungkinkan pada usia
kehamilan 16, 28, dan 36 minggu pada wanita hamil yang menggunakan pengobatan
antiretroviral atau CD4 < 200sel/mm3.
Penularan
Perinatal
Penularan perinatal
merupakan penularan dari ibu ODHA kepada janin pada masa perinatal. Angka penularan
pada masa kehamilan berkisar sekitar 5 – 10%, saat persalinan sekitar 10 – 20%,
dan saat menyusui sekitar 10 – 20% bila disusui sampai 2 tahun. Penularan pada
masa menyusui terutama terjadi pada minggu – minggu pertama menyusui, terutama
bila ibu baru terinfeksi saat menyusui. Bila ibu ODHA tidak menyusui bayinya,
maka kemungkinan bayinya terinfeksi HIV sekitar 15 – 30%, bila menyusui sampai
6 bulan kemungkinan terinfeksi 25 – 35%, dan bila masa menyusui diperpanjang
sampai 18 – 24 bulan maka resiko terinfeksi meningkat menjadi 30 – 45 %.
Pada kebanyakan wanita
yang terinfeksi HIV, penularan tidak dapat melalui plasenta. Umumnya darah ibu
tidak bercampur dengan darah bayi, sehingga tidak semua bayi yang dikandung ibu
dengan HIV positif tertular HIV saat dalam kandungan. Plasenta bahkan
melindungi janin dari HIV, namun perlindungan ini dapat rusak bila ada infeksi
virus, bakteri, ataupun parasit pada plasenta, atau pada keadaan dimana daya
tahan ibu sangat rendah.
Pada proses persalinan,
terjadi kontak antara darah ibu, maupun lendir ibu dan bayi, sehingga virus HIV
dapat masuk ke dalam tubuh bayi. Semakin lama proses persalinan berlangsung,
kontak antara bayi dengan cairan tubuh ibu semakin lama, resiko penularan
semakin tinggi.
ASI dari ibu yang
terinfeksi HIV tmengandung HIV dalam konsentrasi yang lebih rendah dari yang
ditemukan dalam darahnya. Penularan terjadi pada sekitar 10 – 20% bayi yang
disusui selama 18 bulan atau lebih. Atas dasar tersebut, ibu dengan infeksi HIV
dianjurkan tidak menyusui bayinya dan diganti dengan susu pengganti ASI.
Frekuensi penularan dari ibu ke bayi di negara maju sekitar 15 – 25%, sedangkan
di negara berkembang 25 – 45%, dihuungkan dengan kebiasaan menyusui yang tinggi
di negara berkembang.
Faktor
Yang Mempengaruhi Penularan HIV Dari Ibu Ke Bayi
1.
Penularan HIV dari ibu ke bayi umumnya terkait dengan daya tahan
tubuh, dan virulensi kuman.
Faktor ibu :
- Ibu yang baru terinfeksi HIV mudah menularkan ke bayinya. Hal ini disebabkan jumlah virus dalam tubuh ibu sangat tinggi dibandingkan jumlah virus pada ibu yang tertular HIV sebelum atau selama masa kehamilan.
- Ibu dengan penyakit terkait HIV seperti batuk, diare terus – menerus, kehilangan berat badan, hal ini juga disebabkan jumlah virus dalam tubuh ibu tinggi.
- Infeksi pada kehamilan, terutama infeksi menular seksual atau infeksi plasenta
- Kurang gizi saat hamil, terutama kekurangan mikronutrisi
- Mastitis
- KPD, partus lama, dan intervensi saat persalinan seperti amniotomi, episiotomi.
Faktor bayi :
- Bayi lahir prematur
- Menyusui pada ibu dengan HIV
- Lesi pada mulut bayi meningkatkan resiko tertular HIV, terutama pada bayi dibawah usia 6 bulan
Pencegahan Penularan HIV pada Bayi dan Anak
Dalam buku Prevention of Mother to Child
Transmission of HIV, World Health Organization menyebutkan
bahwa PMTCT (programmes of the Prevention of Mother to Child Transmission),
dapat menurunkan penularan vertikal HIV, juga menghubungkan wanita dengan
infeksi HIV, anak, serta keluarganya, untuk memperoleh pengobatan, perawatan,
serta dukungan. PMTCT merupakan program yang komperhensif dan mengikuti
protokol serta kebijakan nasional.
Intervensi PMTCT :
·
Pemeriksaan dan konseling HIV
·
Antiretroviral
·
Persalinan yang lebih aman
·
Menyusui yang lebih aman
Keterlibatan pasangan dalam PMTCT:
·
Kedua pasangan harus mengetahui pentingnya sex yang aman selama
persalinan dan masa menyusui
·
Kedua pasangan harus menjalani pemeriksaan dan konseling HIV
·
Kedua pasangan harus mengetahui dan menjalankan PMTCT
Faktor resiko MTCT selama kehamilan:
·
Viral load ibu yang tinggi (HIV / AIDS baru atau lanjutan)
·
Infeksi virus, bakteri, maupun parasit melaui plasenta (khususnya
malaria)
·
Infeksi menular seksual
·
Malnutrisi maternal (secara tidak langsung)
Faktor resiko MTCT selama persalinan:
·
Viral load ibu yang tinggi (HIV / AIDS baru atau lanjutan)
·
Pecahnya ketuban > 4 jam sebelum persalinan dimulai
·
Prosedur persalinan invasif
·
Janin pertama pada kehamilan multipel
·
Korioamnionitis
Faktor resiko MTCT selama masa menyusui:
·
Viral load ibu yang tinggi (HIV / AIDS baru atau lanjutan)
·
Lama menyusui
·
Pemberian ASI dengan pemberian makanan pengganti yang awal
·
Abses payudara / puting yang terinfeksi
·
Malnutrisi maternal
·
Penyakit oral bayi (mis: trust atau luka mulut)
Menghindari kehamilan yang tidak diinginkan pada wanita dengan HIV
positif
1.
Mencegah kehamilan yang tidak diinginkan
Kebanyakan wanita dengan
infeksi HIV di negara berkembang tidak mengetahui status serologis mereka, maka
VCT memegang peranan penting. Pelayanan KB perlu diperluas untuk semua wanita,
termasuk mereka yang terinfeksi, mendapatkan dukungan dan pelayanan untuk
mencegah kehamilan yang tidak diketahui. Bagi wanita yang sudah terinfeksi HIV
agar mendapat pelayanan esensial dan dukungan termasuk keluarga berencana dan
kesehatan reproduksinya sehingga mereka dapat membuat keputusan tentang
kehidupan reproduksinya.
2.
Menunda kehamilan berikutnya
Bila ibu tetap
menginginkan anak, WHO menyarankan minimal 2 tahun jarak antar kehamilan. Untuk
menunda kehamilan :
·
Tidak diperkenankan memakai alat kontrasepsi dalam rahim sebab dapat
menjalarkan infeksi ke atas sehingga menimbulkan infeksi pelvis. Wanita yang
menggunakan IUD mempunyai kecenderungan mengalami perdarahan yang dapat
menyebabkan penularan lebih mudah terjadi.
·
Kontrasepsi yang dianjurkan adalah kondom, sebab dapat mencegah
penularan HIV dan infeksi menular seksual, namun tidak mempunyai angka
keberhasilan yang sama tinggi dengan alat kontrasepsi lainnya seperti
kontrasepsi oral atau noorplant.
·
Kontrasepsi oral dan kontrasepsi hormonal jangka panjang seperti
noorplant dan depo provera tidak merupakan suatu kontraindikasi pada wanita
yang terinfeksi HIV. Penelitian sedang dilakukan untuk mengetahui pengaruh
penggunaan kontrasepsi hormonal terhadap perjalanan penyakit HIV.
·
Spons dan diafragma kurang efektif untuk mencegah kehamilan maupun
mencegah penularan HIV.
·
Untuk ibu yang tidak ingin punya anak lagi, kontrasepsi yang
paling tepat adalah sterilisasi (tubektomi atau vasektomi).
Pencegahan penularan HIV dari ibu ke janin
Intervensi pencegahan penularan HIV dari ibu ke janin / bayinya
meliputi empat hal, mulai saat hamil, melahirkan, dan setelah lahir :
·
Penggunaan ARV selama kehamilan (proyek PMTCT plus)
·
Penggunaan ARV saat persalinan dan bayi yang baru dilahirkan
·
Penanganan obstetrik selama persalinan
·
Penatalaksanaan selama menyusui
Pengobatan, perawatan, dan pemberian dukungan pada wanita dengan
HIV, bayi, serta keluarganya
·
Menyediakan pengobatan yang berhubungan, perawatan, serta dukungan
yang berhubungan dengan HIV bagi para wanita
·
Menediakan diagnosis dini, perawatan, serta dukungan bagi bayi dan
anak dengan infeksi HIV positif
·
Mengusahakan hubungan antar layanan masyarakat untuk layanan
keluarga terpadu
Antiretroviral
pada Kehamilan
Menurut rekomendasi
penggunaan pengobatan antiretroviral pada wanita hamil dengan HIV-1 positif
untuk kesehatan ibu, serta intervensi untuk menurunkan penularan HIV-1
perinatal di Amerika Serikat, yang direvisi pada 24 Februari 2005 oleh
Perinatal HIV Guidelines Working Group menyatakan, pengobatan untuk wanita
hamil dengan HIV-1 positif berdasarkan keyakinan bahwa pengobatan mempunyai
kegunaan yang telah diketahui bagi wanita selama kehamilan, kecuali ada efek
yang diketahui bagi ibu maupun janin.
Pengobatan ARV pada wanita hamil
diberikan bila :
·
Mengalami gejala berat HIV atau dengan
diagnosa AIDS
·
CD4 < 200 sel/mm3
·
Viral load > 1000/ml
Pengobatan ARV juga diperlukan untuk
mencegah penularan HIV terhadap janin. Wanita hamil dengan HIV
pada trimester pertama tanpa gejala HIV, dapat menunda pengobatan sampai usia
kehamilan 10 – 12 minggu. Setelah trimester pertama, ODHA hamil harus menerima
pengobatan setidaknya dengan zidovudine (dikenal juga dengan ZDV atau AZT).
Pengobatan tambahan dapat dipertimbangkan, sesuai dengan jumlah CD4 dan jumlah
virus.
1. Nevirapine
Ibu: diberikan
nevirapine 200 mg dosis tunggal saat persalinan
Bayi: 2 mg/kgBB sebelum
umur 3 hari (dalam 72 jam pertama setelah lahir).
Regimen
ini menjadi pilihan karena mudah pemberiannya, tidak perlu terapi ulangan dan
efektif mencegah penularan dari ibu ke anak sampai 13%, serta ekonomis. Faktor
ekonomi mendapat perhatian karena harga ARV relatif mahal dan padaprinsipnya
ARV harus diberikan seumur hidup. Nevirapine dapat menimbulkan ruam kulit,
sindrom Steven-Johnson, peningkatan serum aminotransferase, serta hepatitis.
2. AZT
Ibu hamil 36 minggu: diberikan AZT
2 x 300 mg/hari, dan 300 mg setiap 3 jam selama persalinan berlangsung. Regimen
ini lebih efektif untuk menurunkan resiko penularan dari ibu ke bayi (9%). Efek
samping yang sering terjadi pada wanita hamil yang mengkonsumsi AZT adalah
anemia, karena itu perlu skrining anemia dan penanganannya bila terjadi anemia.
Efek samping lain zidovudine adalah netropenia, intoleransi gastrointestinal,
sakit kepala, insomnia, miopati, asidosis laktat.
Panduan
Pengobatan ARV pada PMTCT
No.
|
Kondisi Klinis
|
Regimen bagi Ibu
|
Regimen bagi Bayi
|
1.
|
ODHA
dengan indikasi ARV yang mungkin dapat hamil
|
·
Pastikan tidak sedang dalam keadaan hamil sebelum memulai ARV
·
Hindari penggunaan EFV
·
AZT + 3TC + NVP atau
·
d4T + 3TC + NVP
|
|
2
|
ODHA
dengan ARV yang kemudian hamil
|
·
Lanjutkan regimen ARV yang sekarang digunakan
·
Bila mendapat pengobatan dengan EFV diganti dengan NVP atau PI
pada kehamilan trimester I
·
Lanjutkan pengobatan ARV yang sama selama persalinan dan pasca
persalinan
|
·
AZT (4mg/kgBB setiap 12 jam) selama 1 minggu atau
·
NVP (2mg/kgBB) dosis tunggal atau
·
NVP dosis tunggal + AZT selama 1 minggu
|
3
|
ODHA
hamil dengan inidikasi ARV
|
·
Tunda ARV sampai setelah trimester I bila mungkin. Bila kondisi
buruk perlu pertimbangkan untung – rugi pemakaian ART dini
·
ARV seperti pada ODHA biasa
·
ARV lini I: AZT + 3TC + NVP atau
·
d4T + 3TC + NVP
·
EFV tidak boleh diberikan pada kehamilan trimester I
|
·
NVP dosis tunggal dalam 72 jam pertama + AZT selama 1 minggu
atau
·
AZT selama 1 minggu atau
·
NVP dosis tunggal dalam 72 jam pertama
|
4
|
ODHA
hamil namun belum ada indikasi ARV
|
·
AZT dimulai pada usia kehamilan 28 minggu atau segera setelah
itu, dilanjutkan selama masa persalinan, +
·
NVP dosis tunggal pada awal persalinan
|
NVP dosis tunggal dalam 72 jam pertama
+ AZT selama 1 minggu
|
·
AZT dimulai pada usia kehamilan 28 minggu atau segera setelah
itu, dilanjutkan selama persalinan
·
AZT + 3TC: sejak kehamilan 36 minggu atau segera setelah itu,
dilanjutkan selama masa persalinan hingga 1 minggu pasca persalinan
|
·
AZT selama 1 minggu
·
AZT + 3TC (2mg/kgBB) selama 1 minggu
|
||
5
|
ODHA
hamil dengan indikasi ARV namun tidak mulai ARV
|
Sesuai butir 4, namun lebih baik
menggunakan regimen yang paling efektif dari yang ada
|
6
|
ODHA hamil dengan TB aktif OAT yang
sesuai untuk wanita hamil tetap diberikan
|
Bila dipertimbangkan
untuk menggunakan ARV:
·
AZT + 3TC + SQV/r atau
·
D4T + 3TC + SQV/r
Bila pengobatan
dimulai pada trimester III:
·
AZT + 3TC + EFV atau d4T + 3TC + EFV
·
Bila tidak akan menggunakan ARV, ikuti butir 4
|
|
7
|
Ibu hamil dalam masa persalinan dengan
status HIV tidak diketahui
|
Bila sempat tawarkan
pemeriksaan dan konseling pada ibu yang belum diketahui status HIV-nya, bila
tidak, lakukan pemeriksaan dan konseling segera setelah persalinan (dengan
persetujuan) dan ikuti butir 8
|
|
ODHA yang datang saat persalinan
tetapi belum pernah mendapat ARV
|
·
Berikan NVP dosis tunggal
·
Bila persalinan sudah terjadi jangan berikan NVP, namun ikuti
butir 8, atau
·
AZT + 3TC saat persalinan hingga 1 minggu pasca persalinan
|
·
NVP dosis tunggal dalam 72 jam pertama
·
AZT + 3TC selama 1 minggu
|
|
8
|
Bayi lahir dari ODHA yang belum pernah
mendapat obat ARV
|
NVP dosis tunggal
sesegera mungkin + AZT selama 1 minggu. Bila diberikan setelah > 2 hari
kurang bermanfaat
|
Penanganan
Persalinan
Kebanyakan penularan HIV terhadap janin
/ bayi terjadi saat persalinan, maka pemberian pengobatan pada saat ini
merupakan hal yang sangat penting untuk melindungi infeksi HIV terhadap bayi.
Menurut Perinatal HIV Guidlines Working Group tahun 2005, terdapat beberapa
regimen pengobatan yang dapat menurunkan resiko penularan terhadap bayi.
Regimen yang biasa digunakan adalah three part ZDV regimen :
·
Wanita hamil dengan HIV
ZDV
dimulai pada kehamilan 14 – 34 minggu dengan dosis 5 x 100 mg, atau 3 x 200 mg,
atau 2 x 300 mg
·
Persalinan
Pada
saat persalinan, dilakukan pemberian ZDV intravena
·
Bayi
Bayi yang
dilahirkan diberikan ZDV dalam bentuk cair setiap 6 jam selam 6 minggu setelah
dilahirkan.
Pasca
Persalinan bagi Wanita dengan HIV Positif dan bayinya
Pengobatan bagi wanita postpartum dengan
HIV, sedapat mungkin harus sudah dibicarakan salama kehamilan atau segera
setelah melahirkan. Perinatal HIV Guidlines Working Group tahun 2005
menyebutkan, bayi yang lahir dari wanita dengan HIV positif, mendapat
pemeriksaan HIV yang berbeda dari orang dewasa. Pada orang dewasa dilakukan
pemeriksaan untuk mencari antibodi HIV dalam darah. Bayi menyimpan antibodi ibu
dalam darahnya, termasuk antibodi HIV, selama beberapa bulan setelah
dilahirkan. Maka, tes antibodi yang diberikan sebelum bayi berusia 1 tahun akan
memperoleh hasil positif walaupun bayi tersebut tidak menderita HIV. Untuk
tahun pertama, bayi diperiksa untuk HIV secara langsung, bukan untuk mencari
antibodi HIV. Bayi berusia > 1 tahun, tidak lagi memiliki antibodi dari
ibunya, sehingga dapat diperiksa antibodi HIV.
Pemeriksaan preliminary HIV untuk bayi
biasanya dilakukan pada:
·
Antara 48 jam setelah lahir
·
Antara 1 – 2 bulan
·
Antara 3 – 6 bulan
Pada usia 12 bulan, bayi yang memiliki
hasil pemeriksaan preliminary positif, harus dilakukan pemeriksaan antibodi HIV
untuk memastikan infeksi. Bayi dengan hasil pemeriksaan antibodi HIV negatif,
pada saat ini tidak terinfeksi HIV. Bayi dengan hasil pemeriksaan antibodi HIV
positif, harus diperiksa ulang pada usia 15 – 18 bulan.
Bayi yang yang lahir dari wanita dengan
HIV positif harus dilakukan pemeriksaan Complete Blood Count (CBC) setelah
dilahirkan. Bayi harus diawasi juga dari tanda anemia, yang merupakan efek
samping negatif yang ditimbulkan pengobatan ZDV selama 6 minggu yang diberikan
kepada bayi. Bayi tersebut juga harus dilakukan pemeriksaan darah rutin, serta
imunisasi lainnya.
Semua bayi yang dilahirkan dari wanita
dengan HIV positif direkomendasikan untuk mendapat pengobatan ZDV oral selama 6
minggu untuk mencegah penularan HIV dari ibunya. Regimen ZDV oral ini harus
mulai diberikan 6 – 12 jam setelah bayi lahir. Pemberian ZDV dapat juga
dikombinasikan dengan ARV lainnya.
Sebagai tambahan dalam pengobatan ARV,
bayi juga harus memperoleh pengobatan untuk mencegah P. carinii/jiroveci
pneumonia (PCP). Pengobatan yang direkomendasikan adalah dengan kombinasi
sulfamethoxazole dan trimethoprim. Pengobatan ini harus dimulai saat bayi
berusia 4 – 6 minggu dan dilanjutkan sampai bayi diyakinkan HIV negatif. Bila
hasil pemeriksaan bayi HIV positif, maka pengobatan terus dilanjutkan.
No comments:
Post a Comment