Saturday, June 6, 2015

HIV PADA MASA KEHAMILAN



HIV Pada Masa Kehamilan
Efek infeksi HIV pada kehamilan berkaitan dengan abortus, prematuritas, IUGR (Intra Uterin Growth Restriction), IUFD (Intra Uterin Fetal Death), penularan pada janin, dan meningkatnya angka kematian ibu. Sebaliknya, kehamilan hampir tidak berpengaruh pada infeksi HIV, adanya penurunan CD4 terjadi karena bertambahnya volume cairan tubuh selama kehamilan, di samping itu kadar HIV stabil dan tidak mempengaruhi resiko kematian atau perkembangan menjadi AIDS.
Pemantauan kehamilan pada CD4 < 500sel/mm3 dianjurkan setiap 3 minggu sampai usia kehamilan 28 minggu dan setiap 2 minggu sampai usia kehamilan 36 minggu, kemudian seminggu sekali sampai persalinan. Pemeriksaan tambahan berupa pemeriksaan laboratorium darah lengkap, serta hitung CD4, dan USG bila fasilitas memungkinkan pada usia kehamilan 16, 28, dan 36 minggu pada wanita hamil yang menggunakan pengobatan antiretroviral atau CD4 < 200sel/mm3.
Penularan Perinatal
Penularan perinatal merupakan penularan dari ibu ODHA kepada janin pada masa perinatal. Angka penularan pada masa kehamilan berkisar sekitar 5 – 10%, saat persalinan sekitar 10 – 20%, dan saat menyusui sekitar 10 – 20% bila disusui sampai 2 tahun. Penularan pada masa menyusui terutama terjadi pada minggu – minggu pertama menyusui, terutama bila ibu baru terinfeksi saat menyusui. Bila ibu ODHA tidak menyusui bayinya, maka kemungkinan bayinya terinfeksi HIV sekitar 15 – 30%, bila menyusui sampai 6 bulan kemungkinan terinfeksi 25 – 35%, dan bila masa menyusui diperpanjang sampai 18 – 24 bulan maka resiko terinfeksi meningkat menjadi 30 – 45 %.
Pada kebanyakan wanita yang terinfeksi HIV, penularan tidak dapat melalui plasenta. Umumnya darah ibu tidak bercampur dengan darah bayi, sehingga tidak semua bayi yang dikandung ibu dengan HIV positif tertular HIV saat dalam kandungan. Plasenta bahkan melindungi janin dari HIV, namun perlindungan ini dapat rusak bila ada infeksi virus, bakteri, ataupun parasit pada plasenta, atau pada keadaan dimana daya tahan ibu sangat rendah.
Pada proses persalinan, terjadi kontak antara darah ibu, maupun lendir ibu dan bayi, sehingga virus HIV dapat masuk ke dalam tubuh bayi. Semakin lama proses persalinan berlangsung, kontak antara bayi dengan cairan tubuh ibu semakin lama, resiko penularan semakin tinggi.
ASI dari ibu yang terinfeksi HIV tmengandung HIV dalam konsentrasi yang lebih rendah dari yang ditemukan dalam darahnya. Penularan terjadi pada sekitar 10 – 20% bayi yang disusui selama 18 bulan atau lebih. Atas dasar tersebut, ibu dengan infeksi HIV dianjurkan tidak menyusui bayinya dan diganti dengan susu pengganti ASI. Frekuensi penularan dari ibu ke bayi di negara maju sekitar 15 – 25%, sedangkan di negara berkembang 25 – 45%, dihuungkan dengan kebiasaan menyusui yang tinggi di negara berkembang.
Faktor Yang Mempengaruhi Penularan HIV Dari Ibu Ke Bayi
1.      Penularan HIV dari ibu ke bayi umumnya terkait dengan daya tahan tubuh, dan virulensi kuman.
Faktor ibu :
  • Ibu yang baru terinfeksi HIV mudah menularkan ke bayinya. Hal ini disebabkan jumlah virus dalam tubuh ibu sangat tinggi dibandingkan jumlah virus pada ibu yang tertular HIV sebelum atau selama masa kehamilan.
  • Ibu dengan penyakit terkait HIV seperti batuk, diare terus – menerus, kehilangan berat badan, hal ini juga disebabkan jumlah virus dalam tubuh ibu tinggi.
  • Infeksi pada kehamilan, terutama infeksi menular seksual atau infeksi plasenta
  • Kurang gizi saat hamil, terutama kekurangan mikronutrisi
  • Mastitis
  • KPD, partus lama, dan intervensi saat persalinan seperti amniotomi, episiotomi.
Faktor bayi :
  • Bayi lahir prematur
  • Menyusui pada ibu dengan HIV
  • Lesi pada mulut bayi meningkatkan resiko tertular HIV, terutama pada bayi dibawah usia 6 bulan
Pencegahan Penularan HIV pada Bayi dan Anak
Dalam buku Prevention of Mother to Child Transmission of HIV, World Health Organization menyebutkan bahwa PMTCT (programmes of the Prevention of Mother to Child Transmission), dapat menurunkan penularan vertikal HIV, juga menghubungkan wanita dengan infeksi HIV, anak, serta keluarganya, untuk memperoleh pengobatan, perawatan, serta dukungan. PMTCT merupakan program yang komperhensif dan mengikuti protokol serta kebijakan nasional.
Intervensi PMTCT :
·         Pemeriksaan dan konseling HIV
·         Antiretroviral
·         Persalinan yang lebih aman
·         Menyusui yang lebih aman
Keterlibatan pasangan dalam PMTCT:
·         Kedua pasangan harus mengetahui pentingnya sex yang aman selama persalinan dan masa menyusui
·         Kedua pasangan harus menjalani pemeriksaan dan konseling HIV
·         Kedua pasangan harus mengetahui dan menjalankan PMTCT
Faktor resiko MTCT selama kehamilan:
·         Viral load ibu yang tinggi (HIV / AIDS baru atau lanjutan)
·         Infeksi virus, bakteri, maupun parasit melaui plasenta (khususnya malaria)
·         Infeksi menular seksual
·         Malnutrisi maternal (secara tidak langsung)
Faktor resiko MTCT selama persalinan:
·         Viral load ibu yang tinggi (HIV / AIDS baru atau lanjutan)
·         Pecahnya ketuban > 4 jam sebelum persalinan dimulai
·         Prosedur persalinan invasif
·         Janin pertama pada kehamilan multipel
·         Korioamnionitis
Faktor resiko MTCT selama masa menyusui:
·         Viral load ibu yang tinggi (HIV / AIDS baru atau lanjutan)
·         Lama menyusui
·         Pemberian ASI dengan pemberian makanan pengganti yang awal
·         Abses payudara / puting yang terinfeksi
·         Malnutrisi maternal
·         Penyakit oral bayi (mis: trust atau luka mulut)

Menghindari kehamilan yang tidak diinginkan pada wanita dengan HIV positif
1.      Mencegah kehamilan yang tidak diinginkan
Kebanyakan wanita dengan infeksi HIV di negara berkembang tidak mengetahui status serologis mereka, maka VCT memegang peranan penting. Pelayanan KB perlu diperluas untuk semua wanita, termasuk mereka yang terinfeksi, mendapatkan dukungan dan pelayanan untuk mencegah kehamilan yang tidak diketahui. Bagi wanita yang sudah terinfeksi HIV agar mendapat pelayanan esensial dan dukungan termasuk keluarga berencana dan kesehatan reproduksinya sehingga mereka dapat membuat keputusan tentang kehidupan reproduksinya.
2.      Menunda kehamilan berikutnya
Bila ibu tetap menginginkan anak, WHO menyarankan minimal 2 tahun jarak antar kehamilan. Untuk menunda kehamilan :
·   Tidak diperkenankan memakai alat kontrasepsi dalam rahim sebab dapat menjalarkan infeksi ke atas sehingga menimbulkan infeksi pelvis. Wanita yang menggunakan IUD mempunyai kecenderungan mengalami perdarahan yang dapat menyebabkan penularan lebih mudah terjadi.
·   Kontrasepsi yang dianjurkan adalah kondom, sebab dapat mencegah penularan HIV dan infeksi menular seksual, namun tidak mempunyai angka keberhasilan yang sama tinggi dengan alat kontrasepsi lainnya seperti kontrasepsi oral atau noorplant.
·   Kontrasepsi oral dan kontrasepsi hormonal jangka panjang seperti noorplant dan depo provera tidak merupakan suatu kontraindikasi pada wanita yang terinfeksi HIV. Penelitian sedang dilakukan untuk mengetahui pengaruh penggunaan kontrasepsi hormonal terhadap perjalanan penyakit HIV.
·   Spons dan diafragma kurang efektif untuk mencegah kehamilan maupun mencegah penularan HIV.
·   Untuk ibu yang tidak ingin punya anak lagi, kontrasepsi yang paling tepat adalah sterilisasi (tubektomi atau vasektomi).
Pencegahan penularan HIV dari ibu ke janin
Intervensi pencegahan penularan HIV dari ibu ke janin / bayinya meliputi empat hal, mulai saat hamil, melahirkan, dan setelah lahir :
·         Penggunaan ARV selama kehamilan (proyek PMTCT plus)
·         Penggunaan ARV saat persalinan dan bayi yang baru dilahirkan
·         Penanganan obstetrik selama persalinan
·         Penatalaksanaan selama menyusui
Pengobatan, perawatan, dan pemberian dukungan pada wanita dengan HIV, bayi, serta keluarganya
·         Menyediakan pengobatan yang berhubungan, perawatan, serta dukungan yang berhubungan dengan HIV bagi para wanita
·         Menediakan diagnosis dini, perawatan, serta dukungan bagi bayi dan anak dengan infeksi HIV positif
·         Mengusahakan hubungan antar layanan masyarakat untuk layanan keluarga terpadu
Antiretroviral pada Kehamilan
Menurut rekomendasi penggunaan pengobatan antiretroviral pada wanita hamil dengan HIV-1 positif untuk kesehatan ibu, serta intervensi untuk menurunkan penularan HIV-1 perinatal di Amerika Serikat, yang direvisi pada 24 Februari 2005 oleh Perinatal HIV Guidelines Working Group menyatakan, pengobatan untuk wanita hamil dengan HIV-1 positif berdasarkan keyakinan bahwa pengobatan mempunyai kegunaan yang telah diketahui bagi wanita selama kehamilan, kecuali ada efek yang diketahui bagi ibu maupun janin.
Pengobatan ARV pada wanita hamil diberikan bila :
·         Mengalami gejala berat HIV atau dengan diagnosa AIDS
·         CD4 < 200 sel/mm3
·         Viral load > 1000/ml
Pengobatan ARV juga diperlukan untuk mencegah penularan HIV terhadap janin. Wanita hamil dengan HIV pada trimester pertama tanpa gejala HIV, dapat menunda pengobatan sampai usia kehamilan 10 – 12 minggu. Setelah trimester pertama, ODHA hamil harus menerima pengobatan setidaknya dengan zidovudine (dikenal juga dengan ZDV atau AZT). Pengobatan tambahan dapat dipertimbangkan, sesuai dengan jumlah CD4 dan jumlah virus.
1.      Nevirapine
Ibu: diberikan nevirapine 200 mg dosis tunggal saat persalinan
Bayi: 2 mg/kgBB sebelum umur 3 hari (dalam 72 jam pertama setelah lahir).
Regimen ini menjadi pilihan karena mudah pemberiannya, tidak perlu terapi ulangan dan efektif mencegah penularan dari ibu ke anak sampai 13%, serta ekonomis. Faktor ekonomi mendapat perhatian karena harga ARV relatif mahal dan padaprinsipnya ARV harus diberikan seumur hidup. Nevirapine dapat menimbulkan ruam kulit, sindrom Steven-Johnson, peningkatan serum aminotransferase, serta hepatitis.
2.      AZT
Ibu hamil 36 minggu: diberikan AZT 2 x 300 mg/hari, dan 300 mg setiap 3 jam selama persalinan berlangsung. Regimen ini lebih efektif untuk menurunkan resiko penularan dari ibu ke bayi (9%). Efek samping yang sering terjadi pada wanita hamil yang mengkonsumsi AZT adalah anemia, karena itu perlu skrining anemia dan penanganannya bila terjadi anemia. Efek samping lain zidovudine adalah netropenia, intoleransi gastrointestinal, sakit kepala, insomnia, miopati, asidosis laktat.


HIV Pada Masa Kehamilan
Efek infeksi HIV pada kehamilan berkaitan dengan abortus, prematuritas, IUGR (Intra Uterin Growth Restriction), IUFD (Intra Uterin Fetal Death), penularan pada janin, dan meningkatnya angka kematian ibu. Sebaliknya, kehamilan hampir tidak berpengaruh pada infeksi HIV, adanya penurunan CD4 terjadi karena bertambahnya volume cairan tubuh selama kehamilan, di samping itu kadar HIV stabil dan tidak mempengaruhi resiko kematian atau perkembangan menjadi AIDS.
Pemantauan kehamilan pada CD4 < 500sel/mm3 dianjurkan setiap 3 minggu sampai usia kehamilan 28 minggu dan setiap 2 minggu sampai usia kehamilan 36 minggu, kemudian seminggu sekali sampai persalinan. Pemeriksaan tambahan berupa pemeriksaan laboratorium darah lengkap, serta hitung CD4, dan USG bila fasilitas memungkinkan pada usia kehamilan 16, 28, dan 36 minggu pada wanita hamil yang menggunakan pengobatan antiretroviral atau CD4 < 200sel/mm3.
Penularan Perinatal
Penularan perinatal merupakan penularan dari ibu ODHA kepada janin pada masa perinatal. Angka penularan pada masa kehamilan berkisar sekitar 5 – 10%, saat persalinan sekitar 10 – 20%, dan saat menyusui sekitar 10 – 20% bila disusui sampai 2 tahun. Penularan pada masa menyusui terutama terjadi pada minggu – minggu pertama menyusui, terutama bila ibu baru terinfeksi saat menyusui. Bila ibu ODHA tidak menyusui bayinya, maka kemungkinan bayinya terinfeksi HIV sekitar 15 – 30%, bila menyusui sampai 6 bulan kemungkinan terinfeksi 25 – 35%, dan bila masa menyusui diperpanjang sampai 18 – 24 bulan maka resiko terinfeksi meningkat menjadi 30 – 45 %.
Pada kebanyakan wanita yang terinfeksi HIV, penularan tidak dapat melalui plasenta. Umumnya darah ibu tidak bercampur dengan darah bayi, sehingga tidak semua bayi yang dikandung ibu dengan HIV positif tertular HIV saat dalam kandungan. Plasenta bahkan melindungi janin dari HIV, namun perlindungan ini dapat rusak bila ada infeksi virus, bakteri, ataupun parasit pada plasenta, atau pada keadaan dimana daya tahan ibu sangat rendah.
Pada proses persalinan, terjadi kontak antara darah ibu, maupun lendir ibu dan bayi, sehingga virus HIV dapat masuk ke dalam tubuh bayi. Semakin lama proses persalinan berlangsung, kontak antara bayi dengan cairan tubuh ibu semakin lama, resiko penularan semakin tinggi.
ASI dari ibu yang terinfeksi HIV tmengandung HIV dalam konsentrasi yang lebih rendah dari yang ditemukan dalam darahnya. Penularan terjadi pada sekitar 10 – 20% bayi yang disusui selama 18 bulan atau lebih. Atas dasar tersebut, ibu dengan infeksi HIV dianjurkan tidak menyusui bayinya dan diganti dengan susu pengganti ASI. Frekuensi penularan dari ibu ke bayi di negara maju sekitar 15 – 25%, sedangkan di negara berkembang 25 – 45%, dihuungkan dengan kebiasaan menyusui yang tinggi di negara berkembang.
Faktor Yang Mempengaruhi Penularan HIV Dari Ibu Ke Bayi
1.      Penularan HIV dari ibu ke bayi umumnya terkait dengan daya tahan tubuh, dan virulensi kuman.
Faktor ibu :
  • Ibu yang baru terinfeksi HIV mudah menularkan ke bayinya. Hal ini disebabkan jumlah virus dalam tubuh ibu sangat tinggi dibandingkan jumlah virus pada ibu yang tertular HIV sebelum atau selama masa kehamilan.
  • Ibu dengan penyakit terkait HIV seperti batuk, diare terus – menerus, kehilangan berat badan, hal ini juga disebabkan jumlah virus dalam tubuh ibu tinggi.
  • Infeksi pada kehamilan, terutama infeksi menular seksual atau infeksi plasenta
  • Kurang gizi saat hamil, terutama kekurangan mikronutrisi
  • Mastitis
  • KPD, partus lama, dan intervensi saat persalinan seperti amniotomi, episiotomi.
Faktor bayi :
  • Bayi lahir prematur
  • Menyusui pada ibu dengan HIV
  • Lesi pada mulut bayi meningkatkan resiko tertular HIV, terutama pada bayi dibawah usia 6 bulan
Pencegahan Penularan HIV pada Bayi dan Anak
Dalam buku Prevention of Mother to Child Transmission of HIV, World Health Organization menyebutkan bahwa PMTCT (programmes of the Prevention of Mother to Child Transmission), dapat menurunkan penularan vertikal HIV, juga menghubungkan wanita dengan infeksi HIV, anak, serta keluarganya, untuk memperoleh pengobatan, perawatan, serta dukungan. PMTCT merupakan program yang komperhensif dan mengikuti protokol serta kebijakan nasional.
Intervensi PMTCT :
·         Pemeriksaan dan konseling HIV
·         Antiretroviral
·         Persalinan yang lebih aman
·         Menyusui yang lebih aman
Keterlibatan pasangan dalam PMTCT:
·         Kedua pasangan harus mengetahui pentingnya sex yang aman selama persalinan dan masa menyusui
·         Kedua pasangan harus menjalani pemeriksaan dan konseling HIV
·         Kedua pasangan harus mengetahui dan menjalankan PMTCT
Faktor resiko MTCT selama kehamilan:
·         Viral load ibu yang tinggi (HIV / AIDS baru atau lanjutan)
·         Infeksi virus, bakteri, maupun parasit melaui plasenta (khususnya malaria)
·         Infeksi menular seksual
·         Malnutrisi maternal (secara tidak langsung)
Faktor resiko MTCT selama persalinan:
·         Viral load ibu yang tinggi (HIV / AIDS baru atau lanjutan)
·         Pecahnya ketuban > 4 jam sebelum persalinan dimulai
·         Prosedur persalinan invasif
·         Janin pertama pada kehamilan multipel
·         Korioamnionitis
Faktor resiko MTCT selama masa menyusui:
·         Viral load ibu yang tinggi (HIV / AIDS baru atau lanjutan)
·         Lama menyusui
·         Pemberian ASI dengan pemberian makanan pengganti yang awal
·         Abses payudara / puting yang terinfeksi
·         Malnutrisi maternal
·         Penyakit oral bayi (mis: trust atau luka mulut)

Menghindari kehamilan yang tidak diinginkan pada wanita dengan HIV positif
1.      Mencegah kehamilan yang tidak diinginkan
Kebanyakan wanita dengan infeksi HIV di negara berkembang tidak mengetahui status serologis mereka, maka VCT memegang peranan penting. Pelayanan KB perlu diperluas untuk semua wanita, termasuk mereka yang terinfeksi, mendapatkan dukungan dan pelayanan untuk mencegah kehamilan yang tidak diketahui. Bagi wanita yang sudah terinfeksi HIV agar mendapat pelayanan esensial dan dukungan termasuk keluarga berencana dan kesehatan reproduksinya sehingga mereka dapat membuat keputusan tentang kehidupan reproduksinya.
2.      Menunda kehamilan berikutnya
Bila ibu tetap menginginkan anak, WHO menyarankan minimal 2 tahun jarak antar kehamilan. Untuk menunda kehamilan :
·   Tidak diperkenankan memakai alat kontrasepsi dalam rahim sebab dapat menjalarkan infeksi ke atas sehingga menimbulkan infeksi pelvis. Wanita yang menggunakan IUD mempunyai kecenderungan mengalami perdarahan yang dapat menyebabkan penularan lebih mudah terjadi.
·   Kontrasepsi yang dianjurkan adalah kondom, sebab dapat mencegah penularan HIV dan infeksi menular seksual, namun tidak mempunyai angka keberhasilan yang sama tinggi dengan alat kontrasepsi lainnya seperti kontrasepsi oral atau noorplant.
·   Kontrasepsi oral dan kontrasepsi hormonal jangka panjang seperti noorplant dan depo provera tidak merupakan suatu kontraindikasi pada wanita yang terinfeksi HIV. Penelitian sedang dilakukan untuk mengetahui pengaruh penggunaan kontrasepsi hormonal terhadap perjalanan penyakit HIV.
·   Spons dan diafragma kurang efektif untuk mencegah kehamilan maupun mencegah penularan HIV.
·   Untuk ibu yang tidak ingin punya anak lagi, kontrasepsi yang paling tepat adalah sterilisasi (tubektomi atau vasektomi).
Pencegahan penularan HIV dari ibu ke janin
Intervensi pencegahan penularan HIV dari ibu ke janin / bayinya meliputi empat hal, mulai saat hamil, melahirkan, dan setelah lahir :
·         Penggunaan ARV selama kehamilan (proyek PMTCT plus)
·         Penggunaan ARV saat persalinan dan bayi yang baru dilahirkan
·         Penanganan obstetrik selama persalinan
·         Penatalaksanaan selama menyusui
Pengobatan, perawatan, dan pemberian dukungan pada wanita dengan HIV, bayi, serta keluarganya
·         Menyediakan pengobatan yang berhubungan, perawatan, serta dukungan yang berhubungan dengan HIV bagi para wanita
·         Menediakan diagnosis dini, perawatan, serta dukungan bagi bayi dan anak dengan infeksi HIV positif
·         Mengusahakan hubungan antar layanan masyarakat untuk layanan keluarga terpadu
Antiretroviral pada Kehamilan
Menurut rekomendasi penggunaan pengobatan antiretroviral pada wanita hamil dengan HIV-1 positif untuk kesehatan ibu, serta intervensi untuk menurunkan penularan HIV-1 perinatal di Amerika Serikat, yang direvisi pada 24 Februari 2005 oleh Perinatal HIV Guidelines Working Group menyatakan, pengobatan untuk wanita hamil dengan HIV-1 positif berdasarkan keyakinan bahwa pengobatan mempunyai kegunaan yang telah diketahui bagi wanita selama kehamilan, kecuali ada efek yang diketahui bagi ibu maupun janin.
Pengobatan ARV pada wanita hamil diberikan bila :
·         Mengalami gejala berat HIV atau dengan diagnosa AIDS
·         CD4 < 200 sel/mm3
·         Viral load > 1000/ml
Pengobatan ARV juga diperlukan untuk mencegah penularan HIV terhadap janin. Wanita hamil dengan HIV pada trimester pertama tanpa gejala HIV, dapat menunda pengobatan sampai usia kehamilan 10 – 12 minggu. Setelah trimester pertama, ODHA hamil harus menerima pengobatan setidaknya dengan zidovudine (dikenal juga dengan ZDV atau AZT). Pengobatan tambahan dapat dipertimbangkan, sesuai dengan jumlah CD4 dan jumlah virus.
1.      Nevirapine
Ibu: diberikan nevirapine 200 mg dosis tunggal saat persalinan
Bayi: 2 mg/kgBB sebelum umur 3 hari (dalam 72 jam pertama setelah lahir).
Regimen ini menjadi pilihan karena mudah pemberiannya, tidak perlu terapi ulangan dan efektif mencegah penularan dari ibu ke anak sampai 13%, serta ekonomis. Faktor ekonomi mendapat perhatian karena harga ARV relatif mahal dan padaprinsipnya ARV harus diberikan seumur hidup. Nevirapine dapat menimbulkan ruam kulit, sindrom Steven-Johnson, peningkatan serum aminotransferase, serta hepatitis.
2.      AZT
Ibu hamil 36 minggu: diberikan AZT 2 x 300 mg/hari, dan 300 mg setiap 3 jam selama persalinan berlangsung. Regimen ini lebih efektif untuk menurunkan resiko penularan dari ibu ke bayi (9%). Efek samping yang sering terjadi pada wanita hamil yang mengkonsumsi AZT adalah anemia, karena itu perlu skrining anemia dan penanganannya bila terjadi anemia. Efek samping lain zidovudine adalah netropenia, intoleransi gastrointestinal, sakit kepala, insomnia, miopati, asidosis laktat.


Panduan Pengobatan ARV pada PMTCT
No.
 Kondisi Klinis
Regimen bagi Ibu
Regimen bagi Bayi
1.
ODHA dengan indikasi ARV yang mungkin dapat hamil
·         Pastikan tidak sedang dalam keadaan hamil sebelum memulai ARV
·         Hindari penggunaan EFV
·         AZT + 3TC + NVP atau
·         d4T + 3TC + NVP

2
ODHA dengan ARV yang kemudian hamil
·         Lanjutkan regimen ARV yang sekarang digunakan
·         Bila mendapat pengobatan dengan EFV diganti dengan NVP atau PI pada kehamilan trimester I
·         Lanjutkan pengobatan ARV yang sama selama persalinan dan pasca persalinan
·         AZT (4mg/kgBB setiap 12 jam) selama 1 minggu atau
·         NVP (2mg/kgBB) dosis tunggal atau
·         NVP dosis tunggal + AZT selama 1 minggu
3
ODHA hamil dengan inidikasi ARV
·         Tunda ARV sampai setelah trimester I bila mungkin. Bila kondisi buruk perlu pertimbangkan untung – rugi pemakaian ART dini
·         ARV seperti pada ODHA biasa
·         ARV lini I: AZT + 3TC + NVP atau
·         d4T + 3TC + NVP
·         EFV tidak boleh diberikan pada kehamilan trimester I
·         NVP dosis tunggal dalam 72 jam pertama + AZT selama 1 minggu atau
·         AZT selama 1 minggu atau
·         NVP dosis tunggal dalam 72 jam pertama
4
ODHA hamil namun belum ada indikasi ARV
·         AZT dimulai pada usia kehamilan 28 minggu atau segera setelah itu, dilanjutkan selama masa persalinan, +
·         NVP dosis tunggal pada awal persalinan
NVP dosis tunggal dalam 72 jam pertama + AZT selama 1 minggu
·         AZT dimulai pada usia kehamilan 28 minggu atau segera setelah itu, dilanjutkan selama persalinan
·         AZT + 3TC: sejak kehamilan 36 minggu atau segera setelah itu, dilanjutkan selama masa persalinan hingga 1 minggu pasca persalinan
·         AZT selama 1 minggu



·         AZT + 3TC (2mg/kgBB) selama 1 minggu

5
ODHA hamil dengan indikasi ARV namun tidak mulai ARV
Sesuai butir 4, namun lebih baik menggunakan regimen yang paling efektif dari yang ada


6
ODHA hamil dengan TB aktif OAT yang sesuai untuk wanita hamil tetap diberikan
Bila dipertimbangkan untuk menggunakan ARV:
·         AZT + 3TC + SQV/r atau
·         D4T + 3TC + SQV/r
Bila pengobatan dimulai pada trimester III:
·         AZT + 3TC + EFV atau d4T + 3TC + EFV
·         Bila tidak akan menggunakan ARV, ikuti butir 4

7
Ibu hamil dalam masa persalinan dengan status HIV tidak diketahui
Bila sempat tawarkan pemeriksaan dan konseling pada ibu yang belum diketahui status HIV-nya, bila tidak, lakukan pemeriksaan dan konseling segera setelah persalinan (dengan persetujuan) dan ikuti butir 8

ODHA yang datang saat persalinan tetapi belum pernah mendapat ARV
·         Berikan NVP dosis tunggal
·         Bila persalinan sudah terjadi jangan berikan NVP, namun ikuti butir 8, atau

·         AZT + 3TC saat persalinan hingga 1 minggu pasca persalinan
·         NVP dosis tunggal dalam 72 jam pertama

·         AZT + 3TC selama 1 minggu

8
Bayi lahir dari ODHA yang belum pernah mendapat obat ARV

NVP dosis tunggal sesegera mungkin + AZT selama 1 minggu. Bila diberikan setelah > 2 hari kurang bermanfaat

Penanganan Persalinan
Kebanyakan penularan HIV terhadap janin / bayi terjadi saat persalinan, maka pemberian pengobatan pada saat ini merupakan hal yang sangat penting untuk melindungi infeksi HIV terhadap bayi. Menurut Perinatal HIV Guidlines Working Group tahun 2005, terdapat beberapa regimen pengobatan yang dapat menurunkan resiko penularan terhadap bayi. Regimen yang biasa digunakan adalah three part ZDV regimen :
·         Wanita hamil dengan HIV
ZDV dimulai pada kehamilan 14 – 34 minggu dengan dosis 5 x 100 mg, atau 3 x 200 mg, atau 2 x 300 mg
·         Persalinan
Pada saat persalinan, dilakukan pemberian ZDV intravena
·         Bayi
Bayi yang dilahirkan diberikan ZDV dalam bentuk cair setiap 6 jam selam 6 minggu setelah dilahirkan.
Pasca Persalinan bagi Wanita dengan HIV Positif dan bayinya
Pengobatan bagi wanita postpartum dengan HIV, sedapat mungkin harus sudah dibicarakan salama kehamilan atau segera setelah melahirkan. Perinatal HIV Guidlines Working Group tahun 2005 menyebutkan, bayi yang lahir dari wanita dengan HIV positif, mendapat pemeriksaan HIV yang berbeda dari orang dewasa. Pada orang dewasa dilakukan pemeriksaan untuk mencari antibodi HIV dalam darah. Bayi menyimpan antibodi ibu dalam darahnya, termasuk antibodi HIV, selama beberapa bulan setelah dilahirkan. Maka, tes antibodi yang diberikan sebelum bayi berusia 1 tahun akan memperoleh hasil positif walaupun bayi tersebut tidak menderita HIV. Untuk tahun pertama, bayi diperiksa untuk HIV secara langsung, bukan untuk mencari antibodi HIV. Bayi berusia > 1 tahun, tidak lagi memiliki antibodi dari ibunya, sehingga dapat diperiksa antibodi HIV.
Pemeriksaan preliminary HIV untuk bayi biasanya dilakukan pada:
·         Antara 48 jam setelah lahir
·         Antara 1 – 2 bulan
·         Antara 3 – 6 bulan
Pada usia 12 bulan, bayi yang memiliki hasil pemeriksaan preliminary positif, harus dilakukan pemeriksaan antibodi HIV untuk memastikan infeksi. Bayi dengan hasil pemeriksaan antibodi HIV negatif, pada saat ini tidak terinfeksi HIV. Bayi dengan hasil pemeriksaan antibodi HIV positif, harus diperiksa ulang pada usia 15 – 18 bulan.
Bayi yang yang lahir dari wanita dengan HIV positif harus dilakukan pemeriksaan Complete Blood Count (CBC) setelah dilahirkan. Bayi harus diawasi juga dari tanda anemia, yang merupakan efek samping negatif yang ditimbulkan pengobatan ZDV selama 6 minggu yang diberikan kepada bayi. Bayi tersebut juga harus dilakukan pemeriksaan darah rutin, serta imunisasi lainnya.
Semua bayi yang dilahirkan dari wanita dengan HIV positif direkomendasikan untuk mendapat pengobatan ZDV oral selama 6 minggu untuk mencegah penularan HIV dari ibunya. Regimen ZDV oral ini harus mulai diberikan 6 – 12 jam setelah bayi lahir. Pemberian ZDV dapat juga dikombinasikan dengan ARV lainnya.
Sebagai tambahan dalam pengobatan ARV, bayi juga harus memperoleh pengobatan untuk mencegah P. carinii/jiroveci pneumonia (PCP). Pengobatan yang direkomendasikan adalah dengan kombinasi sulfamethoxazole dan trimethoprim. Pengobatan ini harus dimulai saat bayi berusia 4 – 6 minggu dan dilanjutkan sampai bayi diyakinkan HIV negatif. Bila hasil pemeriksaan bayi HIV positif, maka pengobatan terus dilanjutkan.


No comments:

Post a Comment