HAMIL : MAU MELAHIRKAN ?
OKSITOSIN PELANCAR KELAHIRAN
Mengapa Perlu Oksitosin ?
Dewasa
ini ilmu kebidanan sangat berkembang pesat, seiring dengan itu kualitas
pelayanan kepada ibu hamil, persalinan dan nifas juga sangat membanggakan.
Kehidupan janin didalam rahim pun menjadi kajian yang berkembang pesat dimana
janin sudah dijadikan sebagai pasien/ klien
tersendiri yang sangat menentukan apakah janin tetap dipertahankan dalam
kehidupan dalam rahim ataukah harus hidup diluar rahim yang berarti harus
dilahirkan. Apabila janin diputuskan harus dilahirkan maka kita akan dihadapkan
pada masalah induksi persalinan dimana saat ini pemakaian oksitosin sebagai
induksi persalinan sangat banyak digunakan.
Perdarahan
pasca persalinan masih menjadi momok sebagai salah satu penyebab kematian ibu
terutama dinegara berkembang seperti negara kita Indonesia. Berbagai kebijakan
telah dicanangkan antara lain Gerakan Sayang Ibu maupun Making Pregnancy Saver
yang salah satu pesan kuncinya adalah penanganan masalah kegawat daruratan
kebidanan dimana salah satu focus gerakannya adalah pencegahan dan penanganan
perdarahan pasca persalianan. Untuk pencegahan perdarahan pasca persalinan saat
ini setiap petugas kesehatan dituntut harus melaksanankan asuhan persalinan
normal dengan salah satu terobosan adalah penatalaksanaan aktif kala tiga
dimana penggunaan oksitosin secara tepat guna harus diterapkan.
Baik dalam hal
induksi persalinan, maupun masalah pencegahan dan penanganan perdaran pasca
persalinan sangat berkaitan dengan penggunaan oksitosin. Setiap petugas
kesehatan yang menangani masalah ini dituntut mempunyai pengetahuan memadai
tentang oksitosin, baik tentang cara kerjanya, cara pemberianya maupun tentang
efek yang tidak diinginkan.
Tujuan penulisan dan pemaparan tetang oksitosin
disini tidak lain adalah untuk memberi pengetahuan yang memadai kepada para petugas
kesehatan khususnya para bidan terutama yang berkaitan dengan efek yang
ditimbulkan yang berkaitan dengan rumus biokimia oksitosin dan cara kerja yang
berkaitan dengan reseptor terutama yang berkaitan dengan kepekaan sel-sel otot
rahim terhadap oksitosin.
Pengertian Oksitosin
Oksitosin adalah suatu hormon yang diproduksi di
hipotalamus dan diangkut lewat aliran aksoplasmik ke hipofisis posterior yang
jika mendapatkan stimulasi yang tepat hormon ini akan dilepas kedalam darah.
Hormon ini di beri nama oksitosin berdasarkan efek fisiologisnya yakni
percepatan proses persalinan dengan merangsang kontraksi otot polos uterus.
Peranan fisiologik lain yang dimiliki oleh hormon ini adalah meningkatkan
ejeksi ASI dari kelenjar mammae.
Bagaimana Oksitosin dikeluarkan ?
Impuls neural yang terbentuk
dari perangsangan papilla mammae merupakan stimulus primer bagi pelepasan
oksitosin sedangkan distensi vagina dan uterus merupakan stimulus sekunder.
Estrogen akan merangsang produksi oksitosin sedangkan progesterone sebaliknya akan menghambat produksi
oksitosin. Selain di hipotalamus, oksitosin juga disintesis di kelenjar gonad,
plasenta dan uterus mulai sejak kehamilan 32 minggu dan seterusnya. Konsentrasi
oksitosin dan juga aktivitas uterus akan meningkat pada malam hari.
Pelepasan
oksitosin endogenus ditingkatkan oleh:
a. Persalinan
b. Stimulasi serviks, vagina dan payudara
c. Estrogen yang beredar dalam darah
d. Peningkatan osmolalitas/konsentrasi plasma
e. Volume cairan yang rendah dalam sirkulasi
darah
f. Stress,
stress yang disebabkan oleh tangisan bayi akan menstimulasi pengeluaran ASI
Pelepasan oksitosin disupresi oleh:
a.
Alkohol
b. Relaksin
c.
Penurunan osmolalitas/konsentrasi plasma
d. Volume
cairan yang tinggi dalam sirkulasi darah
Bagaimana Mekanisme Kerja Oksitosin ?
Pada otot polos
uterus. Mekanisme kerja dari oksitosin belum diketahui
pasti, hormon ini akan menyebabkan kontraksi otot polos uterus sehingga
digunakan dalam dosis farmakologik untuk menginduksi persalinan. Sebelum bayi
lahir pada proses persalinan yang timbul spontan ternyata rahim sangat peka
terhadap oksitosin Dengan dosis beberapa miliunit permenit intra vena, rahim
yang hamil sudah berkontraksi demikian kuat sehingga seakan-akan dapat membunuh
janin yang ada didalamnya atau merobek rahim itu sendiri atau kedua-duanya.
Kehamilan akan berlangsung
dengan jumlah hari yang sudah ditentukan untuk masing-masing spesies tetapi
faktor yang menyebabkan berakhirnya suatu kehamilan masih belum diketahui. Pengaruh hormonal
memang dicurigai tetapi masih belum terbukti. Estrogen dan progesterone
merupakan factor yang dicurigai mengingat kedua hormon ini mempengaruhi
kontraktilitas uterus. Juga terdapat bukti bahwa katekolamin turut terlibat
dalam proses induksi persalinan.
Karena oksitosin merangsang
kontraktilitas uterus maka hormon ini digunakan untuk memperlancar persalinan,
tetapi tidak akan memulai persalinan kecuali kehamilan sudah aterm. Didalam
uterus terdapat reseptor oksitosin 100 kali lebih banyak pada kehamilan aterm
dibandingkan dengan kehamilan awal. Jumlah
estrogen yang meningkat pada kehamilan aterm dapat memperbesar jumlah
reseptor oksitosin. Begitu proses persalinan dimulai serviks akan berdilatasi
sehinga memulai refleks neural yang menstimulasi pelepasan oksitosin dan kontraksi
uterus selanjutnya. Faktor mekanik seperti jumlah regangan atau gaya yang
terjadi pada otot, mungkin merupakan hal penting.
Pada kelenjar
mammae . Fungsi fisiologik lain yang kemungkinan besar
dimiliki oleh oksitosin adalah merangsang kontraksi sel mioepitel yang
mengelilingi mammae, fungsi fisiologik ini meningkatkan gerakan ASI kedalam
duktus alveolaris dan memungkinkan terjadinya ejeksi ASI.
Reseptor membran untuk oksitosin ditemukan baik
dalam jaringan uterus maupun mammae. Jumlah reseptor ini bertambah oleh
pengaruh estrogen dan berkurang oleh pengaruh progesterone. Kenaikan kadar
estrogen yang terjadi bersamaan dengan penurunan kadar progester6n dan terlihat
sesaat sebelum persalinan mungkin bisa menjelaskan awal laktasi sebelum
persalinan. Derivat progesterone lazim digunakan untuk menghambat laktasi
postpartum pada manusia.
Pada ginjal. ADH dan oksitosin disekresikan secara terpisah kedalam darah bersama
neurofisinnya. Kedua hormon ini beredar dalam bentuk tak terikat dengan protein
dan mempunyai waktu paruh plasma yang sangat pendek yaitu berkisar 2-4 menit.
Oksitosin mempunyai struktur kimia yang sangat mirip dengan Vasopresin/ADH,
sebagaimana diperlihatkan dibawah ini:
Cys-Tyr-Phe-Gln-Asn-
Cys-Pro-Arg-Gly-NH2 : Arginin
Vasopresin
Cys-Tyr-Phe-Gln-Asn-
Cys-Pro-Lys -Gly-NH2 : Lisin Vasopresin
Cys-Tyr-Lie-Gln-Asn-
Cys-Pro-Arg-Gly-NH2 : Oksitosin
Masing-masing hormon ini merupakan senyawa nono apeptida yang
mengandung molekul sistein pada posisi 1 dan 6 yang dihubungkan oleh jembatan
S—S. Sebagian besar binatang menpunyai Arginin Vasopresin, meskipun demikian
hormon pada babi dan spesies lain yang terkait, mempunyai lisin yang
tersubtitusi pada posisi 8. Karena kemiripan structural yang erat tersebut
tidaklah mengherankan kalau
oksitosin dan ADH masing-masing
memperlihatkan sebagian efek yang sama/tumpang tindih.
Salah satu efek penting
yang tidak diingini pada oksitosin adalah anti diuresis yang terutama
disebabkan oleh reabsorbsi air. Abdul Karim dan Assali (1961) menunjukan dengan
jelas bahwa pada wanita hamil maupun tidak hamil oksitosin mempunyai aktivitas
anti diuresis. Pada wanita yang mengalami diuresis sebagai akibat pemberian
air, apabila diberikan infus dengan 20 miliunit oksitosin permenit, biasnya
akan mengakibatkan produksi air seni menurun. Kalau dosis ditingkatkan menjadi
40 miliunit permenit, produksi air seni sangat menurun. Dengan dosis yang sama
apabila diberikan dalam cairan dekstorse tanpa elektrolit dalam volume yang
besar akan dapat menimbulkan intoksikasi air. Pada umunnya kalau pemberian
oksitosin dalam dosis yang relatif tinggi dalam jangka waktu yang agak lama
maka lebih baik meningkatkan konsentrasi hormon ini dari pada menambah jumlah
cairan dengan konsentrasi hormon yang rendah . Efek anti diuresis pemberian
oksitosin intravena hilang dalam waktu beberapa menit setelah infus dihentikan.
Pemberian oksitosin im dengan dosis 5-10 unit tiap 15-30 menit juga menimbulkan
anti diuresis tetapi kemungkinan keracunan air tidak terlalu besar karena tidak
desertakan pemberian cairan tanpa elektrolit dalam jumlah besar. Oksitosin dan
hormon ADH memiliki rumus bangun yang sangat mirip , hal ini akan menjelaskan
mengapa fungsi kedua hormon ini saling tumpang tindih. Peptida ini terutama
dimetabolisme dihati, sekalipun eksresi adrenal ADH menyebabkan hilangnya
sebagian hormon ini dengan jumlah yang bermakna dari dalam darah.
Gugus kimia yang penting bagi kerja oksitosin mencakup gugus amino
primer pada sistein dengan ujung terminal –amino: gugus fenolik pada tirosin ;
gugus tiga carboksiamida pada aspa-ragin, glutamin serta glisinamida; dan
ikatan disulfida (s----s). Delesi atau subtitusi gugus ini pernah menghasilkan
sejumlah analog oksitosin. Sebagai contoh penghapusan gugus amino primer bebas
pada belahan terminal residu sistein menghasilkan desamino oksitosin yang
memiliki aktivitas anti diuretika empat hingga lima kali lebih kuat dari pada
aktivitas anti diuretika hormon oksitosin.
Pada pembuluh darah . Oksitosin bekerja pada reseptor hormon antidiuretik
(ADH) untuk menyebabkan penurunan tekanan darah khususnya diastolik karena
vasodilatasi. Secher dan kawan-kawan (1978) selalu mendapatkan adanya penurunan
tekanan darah arterial sesaat namun cukup nyata apabila pada wanita sehat
diberikan 10 unit bolus oksitosin secara intravena kemudian segera diikuti
kenaikan kardiak autput yang cepat. Mereka juga menyimpulkan bahwa perubahan henodinamik
ini dapat membahayakan jiwa seorang ibu bila sebelumnya sudah terjadi
hipovolemi atau mereka yang mempunyai penyakit jantung yang membatasi kardiak
autput atau yang mengalami komplikasi adanya hubungan pintas dari kanan kekiri.
Dengan demikian maka oksitosin sebaiknya tidak diberikan secara intravena dalam
bentuk bolus, melainkan dalam larutan yang lebih encer, dalam bentuk infus atau
diberikan suntikan intramuskular.
Oksitosin sintetik
Sekresi oksitosin endogenus tidak disupresi oleh
mekanisme umpan balik negatif, ini berarti bahwa oksitosin sintetis tidak akan
mensupresi pelepasan oksitosin endogenus. Oksitosin dapat diberikan
intramuskular, intravena, sublingual maupun intranasal. Pemakaian pompa infus
dianjurkan untuk pemberian oksitosin lewat intravena. Oksitosin bekerja satu
menit setelah pemberian intravena, peningkatan kontraksi uterus dimulai segera
setelah pemberian . Waktu paruh oksitosin diperkirakan berkisar 1-20 menit
bahkan apabila oksitosin diberikan itravena maka waktu paruhnya sangat pendek
yaitu diperkirakan 3 menit. Data terakhir menyebutkan sekitar 15 menit.
Oksitosin akan dieliminasi dalam waktu 30-40 menit setelah pemberian
Efek samping oksitosin
Bila oksitosin sintetik
diberikan, kerja fisiologis hormon ini akan meningkat sehingga dapat timbul
efek samping yang berbahaya, efek samping tersebut dapat dikelompokkan menjadi:
a. Stimulasi berlebih pada
uterus
b. Konstriksi pembuluh darah
tali pusat
c. Kerja anti diuretika
d. Kerja pada pembuluh darah (
dilatasi )
e. Mual
f. Reaksi hipersensitif
Stimulasi uterus dengan oksitosin pada persalinan hipotonik
Perlu diperhatikan dulu apakah jalan lahir cukup luas untuk ukuran kepala
janin dan apakah kepala janin juga dalam posisi fleksi yang baik, sehingga
diameter yang terkecil kepala janin yang akan menyesuaikan dengan jalan lahir (
diameter biparietal dan suboccipitobregmatika ). Suatu kesempitan panggul adalah tidak mungkin bila
semua criteria dibawah ini kita jumpai:
a.
Konjugata diagonalis normal
b. Bila
dinding lateral panggul sejajar
c. Spina
ischiadika tidak menonjol
d. Sakrum
tidak mendatar
e. Arkus
pubis tidak sempit
f. Bagian
terendah janin adalah oksiput
g.
Bila dilakukan dorongan pada fundus maka kepala janin akan turun
melewati pintu atas panggul
Jika kriteria diatas tidak dipenuhi, ,maka
pilihannya adalah seksio sesaria. Bila dipergunakan oksitosin, maka harus
dilakukan pengawasan ketat terhadap denyut jantung janin dan pola kontraksi
uterus, frekuensi, intensitas, lamanya, dan waktu relaksasi serta hubungannya
dengan denyut jantung janin diamati secara ketat. Bila denyut jantung tidak
diawasi terus menerus, maka penting sekali untuk melakukan pemeriksaan denyut
jantung janin segera setelah kontraksi uterus, dan tidak harus menunggu satu
menit atau lebih.
Teknik Pemberian Oksitosin Intravena
Sepuluh
unit oksitosin dilarutkan dalam satu liter cairan, biasanya diberikan glukosa
5% dalam air, atau lebih baik dipakai suatu larutan garam berimbang. Larutan
yang lebih encer dapat disiapkan dengan melipatkan jumlah cairan atau
mempergunakan setengah jumlah oksitosin. Meskipun oleh beberapa penulis
dinyatakan bahwa larutan yang lebih encer juga efektif, tetapi larutan ( 10 U
dalam 1 liter ) adalah mudah dipersiapkan, aman, efektif, dan mungkin paling
sedikit memberikan keraguan dalam mempersiapkan dan pemberiannya. Dengan
larutan oksitosin 10 mU/ ml, maka aliran rata-rata mudah dikalkulasi.
Dianjurkan menggunakan sistim pompa infus yang konstan, yang akan meningkatkan
ketelitian dosis yang diberikan, terutama dalam dosis rendah.
Jarum
yang mempunyai penutup-aliran dimasukkan ke dalam vena di lengan, atau lebih
baik melaui infus intravena yang sudah terpasang dan berfungsi baik, dan
tetesan mulai di berikan tidak lebih dari 1 mU tiap menit. ( Seitchik dan
Castillo, 1982 ). Untuk meningkatkan persalinan akibat murni suatu disfungsi
uterus hipotonik, jumlah oksitosin tersebut tidak akan menyebabkan tetania
uteri, walaupun pada suatu saat harus siap sewaktu-waktu menghentikan tetesan
pada keadaan dimana uterus sangat sensitive terhadap oksitosin. Aliran
dinaikkan secara sangat bertahap, dengan waktu tidak lebih dari 30 menit untuk
mendapatkan tidak lebih dari 10 mU tiap menit, seperti yang dianjurkan oleh
Seitchik dan Castillo(1981,1983a,1983b). Untuk pengobatan disfungsi uterus,
rata-rata dosis yang dibutuhkan jarang melampaui dosis tersebut. Untuk induksi
persalinan, jika diberikan dengan tetesan rata-rata 30-40 mU tiap menit tidak
dapat menimbulkan kontraksi uterus yang memuaskan, maka tetesan yang lebih
besarpun tidak mungkin akan berhasil.
Selama
infus oksitosin dilaksanakan ibu tidak boleh dibiarkan sendirian. Kontraksi
uterus diawasi terus-menerus dan tetesan segera dihentikan bila dijumpai
kontraksi uterus yang lamanya melebihi 1 menit atau bila diselerasi denyut
jantung janin yang bermakna. Bila salah satu hal tersebut terjadi, tetesan
harus segera dihentikan dan biasanya terjadi perbaikan gangguan tersebut, serta
mencegah bahaya pada ibu dan janin. Kosentrasi oksitosin dalam plasma cepat
menurun, karena waktu-paruh oksitosin rata-rata kurang dari 3 menit.
Harus selalu diingat bahwa
oksitosin mempunyai pengaruh antidiuretik yang kuat. Pada pemberian oksitosin
20 mU atau lebih tiap menit, klirens air –bebas oleh ginjal (free water
clearance) menurun secara nyata. Jika cairan mengandung air (aqueous fluids),
terutama dextrose dalam air, diberikan dalam jumlah cukup besar dan lama,
bersamaan dengan oksitosin, terdapat kemungkinan untuk terjadi intoksikasi air
yang merupakan penyebab terjadinya kejang, coma, dan malahan kematian.
Diparkland Memorial Hospital,
bila menggunakan oksitosin pada uterus yang hipotonus, maka dilaksanakan
persyaratan umum berikut :
- Wanita harus sudah menunjukkan tanda-tanda bahwa proses persalinan benar-benar telah terjadi, bukan suatu persalinan palsu atau persalinan prodromal. Satu-satunya tanda persalinan, adalah terjadinya pendataran serviks yang progresif dan pembukaan serviks. Walaupun proses itu dapat terhenti, tetapi pembukaan servik paling tidak sudah mencapai 3 cm. Salah satu kesalahan yang sering dilakukan oleh seseorang pakar obstetrik adalah mencoba melakukan perangsangan persalinan, sebelum wanita tersebut mengalami persalinan aktif.
- Harus tidak ada factor-faktor obstruksi mekanik sehingga jalannya persalinan aman.
- .Penggunaan oksitosin umumnya dihindarkan pada kasus-kasus dengan presentasi janin abnormal dan regangan uterus yang berlebihan seperti pada hidramnion, janin tunggal yang besar, atau kehamilan multiple.
- Wanita dengan paritas tinggi (lebih dari 5), pada umumnya tidak diberi oksitosin karena mudah mengalami ruptura uteri dibandingkan dengan wanita paritas rendah. Demikian pula dengan wanita dengan cacat uterus, penggunaan oksitosin ditangguhkan.
- Keadaan janin harus baik, yang dibuktikan dengan pemeriksaan denyut jantung janin dan tidak adanya mekonium yang kental dalam cairan amnion. Tentu saja pada janin yang mati tidak ada kontra indikasi untuk memberikan oksitosin, kecuali bila jelas terdapat disproporsi fetopelvik atau letak lintang.
- Ahli obstetrik harus memperhatikan kontraksi pertama setelah pemberian obat tersebut dan siap menghentikan pemberiannya bila terjadi tetania uteri. Merupakan keharusan untuk menghindarkan suatu hiperstimulasi. Frekuensi, intensitas, dan lamanya kontraksi, serta tonus uterus antara kontraksi tidak boleh melebihi seperti apa yang terjadi pada persalinan spontan yang normal.
- Pola denyut jantung janin dan kontraksi uterus dievaluasi berulang-ulang. Untuk itu dianjurkan melakukan pemantauan secara terus menerus terhadap denyut jantung janin dan kontraksi uterus.
Oksitosin merupakan obat yang
kuat, obat tersebut dapat membunuh dan membuat cacat ibu dengan terjadinya
ruptura uteri, dan malahan menyebabkan lebih banyak kematian dan cacat janin
akibat hipoksia yang disebabkan oleh kontraksi uterus yang sangat hipertonik.
Tetapi pemberian oksitosin intravena pada berbagai publikasi terbukti jelas
memberikan keuntungan, karena keefektifan maupun keamanannya. Kegagalan
mengobati disfungsi uterus menyebabkan ibu manghadapi peningkatan bahaya
terjadinya kelelahan, infeksi intrapartum, dan kelahiran operatif yang
traumatik. Disamping itu, kegagalan mengobati disfungsi uterus dapat
menghadapkan janin terhadap resiko kematian yang lebih besar, sedangkan resiko
penggunaan oksitosin intravena, bila digunakan dengan cara yang benar, dapat
diabaikan. Tetapi kecelakaan yang berat dapat terjadi pada penggunaannya bila
persyaratannya tidak diawasi dengan ketat. Ruptura uteri pada segmen bawah
uterus akibat stimulasi dengan larutan oksitosin intravena hendaknya merupakan
peringatan kepada dokter tentang pentingnya persyaratan tersebut. Dalam kasus
tersebut, oksitosin diberikan pada seorang multipara umur 38 tahun. Karena
tidak ditemukan kelainan lian, seharusnya dianggap adanya otot uterus yang
menua yang telah mengalami regangan berkali-kali pada persalinan-persalinan
sebelumnya, sehingga tidak dapat menahan beban yang ditimbulkan oleh oksitosin.
Satu sifat oksitosin intravena adalah
kenyataan bahwa bila berhasil, obat tersebut bekerja dengan segera, menyebabkan
kemajuan yang jelas dengan sedikit hambatan. Pada setiap kecepatan tetesan
infus kadar plasma mencapai plateau setelah 30 menit karena kecepatan tetesan
dan kecepatan penghancurannya oleh oksitosinase mencapai keseimbangan. Oleh
karena itu obat tersebut tidak perlu diberikan pada jangka waktu yang tak
terbatas untuk merangsang persalinan. Obat tersebut harus diberikan selama
tidak lebih dari beberapa jam (O’Driscoll dkk, 1984; Seitchik dan Castillo
1983a,1983b); bila kemudian serviks tidak mengalami perubahan yang nyata, dan
bila diramalkan tidak akan terjadi persalinan pervaginam secara mudah, maka
harus dilakukan kelahiran seksio sesarea. Sebaliknya, oksitosin tidak boleh
digunakan untuk memaksa pembukaan serviks dengan kecepatan yang melebihi
keadaaan normal (Cohen dan Friedman,1983). Kesiapan untuk melakukan seksio
sesarea dalam hal kegagalan oksitosin atau bila terdapat kontraindikasi
pemakaiannya, sangat menurunkan mortalitas dan morbiditas perinata.
Harapan
untuk semua pihak
Pada tulisan ini telah
dipaparkan tentang oksitosin, cara kerjanya pada otot polos uterus, mioepitel
kelenjar mammae, efek yang tupang tindih dengan hormon ADH, dan beberapa efek
samping yang tidak diinginkan serta yang berkaitan dengan rumus kimia oksitosin
dan juga cara pemberian dan pemakaian yang dianjurkan agar tidak terjadi atau
terhindar dari efek samping yang tidak diinginkan yang merugikan klien.
Diharapkan dengan paparan ini kepada para bidan dapat memahami atau
meningkatkan pengetahuannya tentang oksitosin
sehingga dapat menyahuti himbauan ataupun gerakan yang dicanangkan oleh
pemerintah dalam memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat
khususnya ibu hamil, ibu melahirkan dan ibu nifas.
DAFTAR PUSTAKA
Granner,
D.K. Hormon Hipopisis dan Hipotalamus. 2003. Dalam (Edisi dua lima): Biokimia Harper (Hlm : 523-538) Jakarta
: Penerbit buku Kedokteran EGC.
Murray,
R.K, D.K Granner, P.A.Mayes dan V.W. Rodwell. 2003. Terjemahan Biokimia Harper
: Hormon Hipofisis dan Hipotalamus. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Pritchard, J.A, P.C Macdonald, N.F. Gant. 1991.
Terjemahan Obstetri Williams : Pimpinan
Pada persalinan dan kelahiran normal. Airlangga University Press. (Hlm :
399-401)
Pritchard, J.A, P.C Macdonald, N.F Gant. 1991.
Terjemahan obstetric Williams (Edisi tujuh belas) : Distosia akibat kelainan tenaga pendorong (Hlm : 751-760)
Jordan. S.
Obat yang meningkatkan kontraksilitas
uterus atau oksitosin. 2004. Dalam Ester. M. (Ed) Farmakologi Kebidanan (Hlm : 143-174).
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
No comments:
Post a Comment