Thursday, June 4, 2015

ANEMIA



ANEMIA

Anemia adalah penurunan jumlah massa eritrosit (sel darah merah), mulai dari hemoglobin, hematokrit dan jumlah eritrosit itu sendiri, sehingga mengganggu transpor oksigen ke jaringan perifer. Kadar hemoglobin dan eritrosit itu sendiri bervariasi pada setiap orang tergantung jenis kelamin, usia dan tempat tinggal.


1. Etiologi
Pada hakikatnya anemia disebabkan oleh:
(1) gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang
(2) kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan)
(3) hancurnya eritrosit sebelum waktunya (hemolisis)
(4) idiopatik

2. Klasifikasi
Jika darah diperiksa dengan sediaan hapus darah tepi, maka anemia dapat dibagi menjadi tiga jenis:
  1. Anemia normositik normokrom
  • Normositik berarti ukuran eritrosit normal
  • Normokrom berarti warna eritrositnya normal
  • Biasanya normositik normokrom ini ditemukan pada anemia yang diakibatkan oleh perdarahan dan hemolisis. Jadi tidak mempengaruhi morfologi eritrositnya.
  • MCV (mean corpuscular volume) dan MCH (mean corpuscular hemoglobin) masih normal. (MCV 80 – 95 fl; MCH 27 – 34 pg)
  • Anemia ini meliputi: anemia pasca perdarahan akut, anemia aplastik, anemia hemolitik, anemia akibat penyakit kronik, anemia pada gagal ginjal kronik, anemia pada sindrom mielodisplastik dan pada keganasan hematologik.

  1. Anemia mikrositik hipokrom
  • Mikrositik berarti ukuran eritrositnya kecil (lebih kecil dari limfosit kecil).
  • Hipokrom berarti warna eritrositnya lebih pudar/lebih pucat (bagian pucat eritrositnya lebih dari 1/3 diameter eritrosit).
  • Biasanya mikrositik hipokrom ini ditemukan pada anemia karena masalah pada hemoglobinnya, seperti kurang penyusunnya (Fe), rapuh strukturnya (genetik), atau karena penyakit kronis lainnya.
  • MCV dan MCH nya kurang dari normal. (MCV<80fl,mch<27pg)

  1. Anemia makrositik
  • Makrositik berarti ukuran eritrositnya besar namun belum matang
  • Biasanya karena proses pematangan eritrositnya tidak sempurna di sumsum tulang
  • Penyebabnya bisa karena bahan pematangannya tidak cukup, misalnya pada defisiensi asam folat dan vitamin B12. Atau bisa juga karena gangguan hepar, hormonal atau gangguan sumsum tulang dalam homopoiesis itu sendiri.
  • MCV nya meningkat (MCV > 95 fl).
  • Contoh: anemia megaloblastik dan anemia non-megaloblastik.

3. Patofisiologi
Jika seseorang anemia, tubuh akan mengkompensasi kehilangan darah yang diperlukan untuk mengangkut oksigen tersebut dengan cara meningkatkan produksinya di sumsum tulang, meningkatkan daya ikat besi untuk membentuk hemoglobin, dsb. Namun jika tubuh tidak mampu bahkan gagal untuk mengembalikan keseimbangan itu, maka akan terjadi anoksia organ (kekurangan oksigen pada organ perifer) sehingga tubuh menjadi lemas, lesu dan pucat.
Patofisiologi anemia normositik normokromik adalah karena pengeluaran darah / destruksi darah yang berlebih sehingga menyebabkan Sumsum tulang harus bekerja lebih keras lagi dalam eritropoiesis. Sehingga banyak eritrosit muda (retikulosit) yang terlihat pada gambaran darah tepi. Jika retikulosit tidak ditemukan, maka dicurigai adanya anemia aplastik, anemia def. besi dan B12 yang tidak diobati, terapi radiasi, masalah endokrin, kegagalan sumsum tulang, sindrom mielodisplasia, dan alkoholism.

4. Manifestasi Klinis
  1. Gejala umum. Pucat, lemah, lesu, dan jika Hb sangat rendah (<7g/dl).
  2. Gejala khas. Spesifik untuk masing2 jenis anemia. Contoh: kuku sendok (koilonychias) pada anemia defisiensi besi, ikterus pada anemia hemolitik, purpura pada anemia aplastik, dsb.
  3. Gejala penyakit dasar. Gejala dari penyebab anemia tersebut. Misal: anemia karena penyakit cacing tambang: sakit perut, dsb.

5. Pemeriksaan laboratorium
  1. Tes penyaring. Untuk memastikan adanya anemia dan morfologi anemia tersebut. Meliputi kadar hemoglobin, apusan darah tepi dan indeks eritrosit (MCV, MCH dan MCHC)
  2. Pemeriksaan rutin. Untuk melihat kelainan leukosit dan trombosit. Meliputi: laju endap darah, hitung diferensial dan retikulosit. Pemeriksaan sumsum tulang, dengan biopsy ataupun aspirasi.
  3. Pemeriksaan atas indikasi khusus. Untuk memastikan diagnosis. Misalnya tes serum iron, TIBC (total iron binding capacity), saturasi transferin dan feritin serum pada Anemia defisiensi besi; tes asam folat dan vit B12 pada anemia megaloblastik, dsb.

6. Terapi
Terapi anemia sebaiknya dilakukan setelah didapat diagnosis pastinya dan sesuai dengan indikasi yang jelas.
  1. Terapi kegawat-daruratan, apabila anemia tersebut dikhawatirkan dapat memicu payah jantung, sehingga harus ditransfusi segera dengan PRC (packed red cells)
  2. Terapi khas, khusus untuk terapi terhadap anemia jenis tertentu. Seperti ADB dengan pemberian preparat besi, anemia megaloblastik dengan memberi asam folat, dsb.
  3. Terapi untuk mengobati penyakit dasar, untuk mencegah berlangsungnya anemia berkepanjangan. Misalnya karena penyakit perdarahan haid, atasi dulu penyakit perdarahannya, atau seperti penyakit cacing tambang, atasi dulu penyakit tersebut.
  4. Terapi ex juvantivus, yakni terapi yang diberikan sebelum ditegakkan diagnosis pasti, namun dalam rangka menegakkan diagnosis tersebut. Terapi ini harus dipantau dengan ketat, misalnya pada ADB, diberi preparat besi, jika membaik berarti memang positif ADB, dsb.
 

No comments:

Post a Comment